Punya tetangga duda mapan itu biasa.
Tapi kalau tetangganya hobi gombal norak ala bapak-bapak, bikin satu kontrakan heboh, dan malah jadi bahan gosip se-RT… itu baru masalah.
Naya cuma ingin hidup tenang, tapi Arga si om genit jelas nggak kasih dia kesempatan.
Pertanyaannya: sampai kapan Naya bisa bertahan menghadapi gangguan tetangga absurd itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aurora Lune, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arga, Pria Tanpa Ekpresi
Rapat baru saja selesai, tapi kepala Arga masih penuh dengan data dan strategi. Ia berjalan keluar ruang meeting tanpa banyak bicara, hanya diikuti oleh suara sepatu kulitnya yang berderap mantap di lantai marmer kantor. Tangannya memegang tablet, dan wajahnya tetap datar tenang seperti biasanya, meski matanya menyiratkan kelelahan yang tersembunyi di balik sorot tajamnya.
"Pak, semua laporan rapat sudah saya kirim ke email Anda," ucap Selina, yang berjalan sedikit di belakangnya sambil membawa map dan tablet.
Arga hanya mengangguk kecil. "Baik. Setelah ini jangan ganggu saya selama satu jam."
Selina melirik ke arah Arga. Pria itu tampak sempurna dalam jas hitamnya tenang, berwibawa, tapi sulit didekati. Ia menghela napas kecil. Andai saja sekali saja dia tersenyum bukan karena urusan kerja... mungkin jantung gue langsung berhenti berdetak, batinnya sambil tersenyum tipis.
Sesampainya di depan pintu ruangannya, Arga membuka pintu dengan satu tangan, tanpa menduga siapa yang ada di dalam. Tapi begitu pintu terbuka, langkahnya langsung terhenti.
Di sana, di atas sofa kulit abu-abu, duduk dua sosok yang sangat ia kenal.
"Arga!" seru suara lembut penuh kerinduan.
Wanita elegan bergaun pastel itu berdiri dan langsung menghampiri Arga. Wajahnya berbinar, matanya berkaca-kaca.
"Mama kangen banget sama kamu, Nak..." ucapnya sambil meraih tangan Arga.
Arga sempat tertegun, menatap wajah ibunya. Senyum kecil akhirnya muncul di sudut bibirnya senyum yang jarang sekali terlihat.
"Kenapa nggak bilang mau datang, Ma?" suaranya rendah, tapi hangat.
"Biar jadi kejutan," jawab sang mama dengan tawa kecil yang lembut.
Sementara itu, di sofa, ayah Arga masih duduk dengan tenang, menatap mereka berdua sambil menyilangkan kaki dan berkata dengan nada khasnya, "Kamu sibuk banget, Ar. Kalau nggak Papa yang datang, kapan lagi bisa lihat anak Papa sendiri?"
Arga menatap ayahnya dan sedikit mengangguk hormat. "Aku memang sibuk, Pa. Tapi bukan berarti lupa."
Nada suaranya tetap dingin, tapi di baliknya ada sedikit rasa bersalah.
Selina yang masih berdiri di belakang, menatap pemandangan itu dengan senyum kikuk. Dalam hati, ia tidak menyangka bisa melihat sisi lain dari Arga lebih manusiawi, lebih hangat. Ternyata dia bisa juga lembut kalau sama keluarganya, pikirnya, matanya tak lepas dari sosok pria itu.
Ia melirik Selina yang masih berdiri di pintu. "Selina, tolong bawakan minuman untuk mereka."
"Baik, Pak," jawab Selina cepat, lalu melangkah pergi dengan langkah anggun, rok pensilnya berayun pelan mengikuti langkahnya. Tapi sebelum pintu tertutup, Selina sempat menoleh lagi ke arah Arga pandangan itu penuh rasa kagum dan... sedikit perasaan yang tak terucap.
Di dalam ruangan, Arga menatap kedua orang tuanya dengan ekspresi yang sulit diterjemahkan campuran antara rindu, tanggung jawab, dan sedikit jarak yang selama ini ia bangun sendiri.
Dan untuk pertama kalinya hari itu, dinding dingin bernama Arga sedikit retak.
"Mama kangen banget sama kamu, Nak," ucap Melati sambil memeluk Arga erat. Aroma parfum lembut dari mamanya membuat Arga sedikit menutup mata kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Setelah beberapa detik, ia melepaskan pelukan itu perlahan. "Mama kelihatan capek. Duduk aja, Ma," katanya tenang.
Suaranya datar, tapi tetap sopan khas Arga yang jarang menunjukkan emosi di wajahnya.
Sang mama menatap anaknya lembut, lalu tersenyum. "Mama kangen banget sama kamu... dan Raka. Raka mana sekarang?"
"Sekolah," jawab Arga singkat sambil berjalan ke arah meja kerjanya, menyalakan laptop seolah ingin mengalihkan perhatian. "Nanti siang baru pulang."
Melati mengangguk pelan, senyum di bibirnya masih bertahan meski matanya terlihat sedikit kecewa karena tidak bisa langsung bertemu cucunya.
"Raka pasti udah besar, ya? Mama terakhir lihat dia udah hampir setahun lalu."
Arga berhenti sejenak, jemarinya mengetuk meja pelan. "Iya. Dia tambah tinggi, dan ganteng," katanya datar.
Sementara itu, sang papa yang sejak tadi duduk diam akhirnya angkat bicara.
"Gimana sama perusahaan, Ar?" tanyanya dengan nada serius tapi tenang.
Arga menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptopnya. "Aman, Pa. Semua masih berjalan sesuai rencana. Proyek baru juga udah mulai tahap negosiasi."
Jawabannya singkat, tapi penuh keyakinan.
"Bagus kalau begitu," ujar sang papa, bersandar santai di sofa. "Papa tahu kamu kerja keras. Tapi jangan lupa, kamu bukan mesin, Arga."
Arga tersenyum tipis, tanpa benar-benar menatap ayahnya. "Aku tahu batas aku, Pa."
"Tapi kamu selalu kerja sampai malam," potong sang mama lembut. "Mama khawatir kamu terlalu keras sama diri kamu sendiri. Kamu udah nggak muda lagi, Nak."
Arga menatap kaca besar di samping meja kerjanya, bayangan dirinya terlihat jelas di sana jas rapi, ekspresi datar, mata tajam.
"Mama nggak perlu khawatir. Aku baik-baik saja," ucapnya dengan nada dingin, tapi sopan.
Selina, yang baru kembali membawa nampan berisi minuman, sempat melirik Arga sekilas sebelum meletakkan gelas di meja tamu. Ia bisa merasakan suasana di ruangan itu hangat, tapi berat. Ada jarak antara Arga dan kedua orang tuanya yang tak mudah dijembatani oleh kata-kata.
"Silakan, Bu, Pak," ucap Selina sopan sambil menunduk sedikit.
"Terima kasih, Nak," jawab Melati ramah, lalu menatap Selina dengan pandangan lembut.
"Selina, ya?"
"Iya, Bu."
"Kamu sekertaris Arga?"
Selina tersenyum kecil. "Iya, Bu. Sudah hampir 3 tahun."
"Wah, pasti susah, ya, ngurus bos kamu yang dingin ini," canda sang Melati sambil melirik Arga.
Selina nyaris tersedak udara, tapi buru-buru tersenyum sopan. "Pak Arga orangnya... profesional, Bu."
Arga hanya menghela napas pelan, tidak menanggapi.
Sang papa tertawa kecil melihat ekspresi kaku anaknya. "Masih sama aja, Arga. Dulu waktu kecil juga gitu. Dingin, nggak banyak ngomong, tapi selalu serius."
"Lebih baik dingin daripada banyak bicara tapi nggak ada hasil, Pa," jawab Arga kalem, menatap ayahnya sekilas dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
Melati hanya menggeleng sambil tersenyum kecil. "Kadang Mama lupa, di balik wajah dingin kamu itu, masih ada anak kecil yang dulu suka rebutan es krim sama Papa."
Arga membuang pandang ke arah jendela, menahan senyum yang hampir muncul.
"Sekarang udah nggak sempat rebutan, Ma. Dunia bisnis lebih keras dari es krim."
Suasana ruangan kembali hangat, walau tetap ada jarak tipis yang tak kasat mata. Arga tetap seperti biasanya tenang, dingin, tapi karismatik.
Dan di sudut ruangan, Selina hanya bisa menatapnya diam-diam, kagum sekaligus penasaran.
Baginya, Arga bukan sekadar atasan. Ia adalah misteri yang setiap hari ingin ia pecahkan, sedikit demi sedikit.
Selina melirik jam di pergelangan tangannya yang ramping, lalu menatap Arga yang kini sudah berdiri di depan jendela besar ruangannya. Ia menatap pemandangan kota yang ramai, seolah seluruh dunia di luar sana hanyalah sekumpulan hal yang tak perlu ia pedulikan.
"Kalo gitu, saya permisi, Pak," ucap Selina dengan suara lembut dan sopan.
Arga tidak langsung menoleh. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya ia berucap, "Hmm."
Hanya satu gumaman pendek tanpa tatapan, tanpa senyum. Tapi Selina sudah terbiasa.
Ia menarik napas pelan, menahan senyum kecil di bibirnya. Dingin banget sih, Pak Arga ini. Tapi justru itu yang bikin susah dilupain... pikirnya sambil menegakkan tubuh.
Selina lalu merapikan map yang tadi sempat ia bawa, memastikan tidak ada yang tertinggal di meja. Gerakannya anggun, terlatih seperti seorang sekretaris profesional sekaligus wanita berkelas yang tahu betul bagaimana menjaga wibawanya.
Sebelum benar-benar keluar, ia sempat melirik Arga sekali lagi. Pria itu masih berdiri tegap, tangan di saku celana, menatap jauh ke luar jendela dengan ekspresi datar.
Kemeja putihnya tampak rapi sempurna, lengan digulung sedikit, menonjolkan urat halus di lengannya. Aura dingin dan berwibawa itu seperti dinding tak kasat mata yang membuat siapa pun berpikir dua kali untuk mendekat.
"Pak..."
Arga akhirnya menoleh pelan. Tatapannya tajam, tapi tenang. "Ada lagi?"
Selina sempat terdiam sepersekian detik sebelum menggeleng. "Nggak, Pak. Cuma mau pamit aja. Ada rapat tim HR jam satu."
Arga mengangguk kecil. "Baik. Tutup pintunya."
Selina tersenyum kecil senyum yang disembunyikan di balik formalitas. "Siap, Pak."
Ia lalu berjalan keluar dengan langkah anggun, sepatu hak tingginya berbunyi ritmis di lantai marmer.
Begitu pintu tertutup, Arga kembali menatap ke luar jendela. Hening. Hanya suara jam dinding dan hembusan AC yang terdengar.
Lalu, tanpa sadar, ia menatap pantulan dirinya di kaca.