NovelToon NovelToon
Istri Pengganti untuk Om Penyelamat

Istri Pengganti untuk Om Penyelamat

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Pengantin Pengganti / Crazy Rich/Konglomerat / Beda Usia / Cinta Seiring Waktu / Dark Romance
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: Ladies_kocak

(Tidak disarankan untuk bocil)

Seharusnya, besok adalah hari bahagianya. Namun, Alfred Dario Garfield harus menelan pil pahit saat sang kekasih kabur, mengungkap rahasia kelam di balik wajahnya—luka mengerikan yang selama ini disembunyikan di balik krim.

Demi menyelamatkan harga diri, Alfred dihadapkan pada pilihan tak terduga: menikahi Michelle, sepupu sang mantan yang masih duduk di bangku SMA. Siapa sangka, Michelle adalah gadis kecil yang dua tahun lalu pernah diselamatkan Alfred dari bahaya.

Kini, takdir mempertemukan mereka kembali, bukan sebagai penyelamat dan yang diselamatkan, melainkan sebagai suami dan istri dalam pernikahan pengganti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ladies_kocak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kesalahpahaman Michelle

Michelle mengerjap pelan, menahan kantuk saat matanya mulai terbuka. Ia menatap langit-langit kamar yang sunyi. Namun, pandangannya tiba-tiba melebar saat menyadari dirinya berada di kamar sendiri—bukan di kamar baby Serena seperti yang ia ingat sebelum tidur.

Dengan gugup, Michelle terduduk sambil menyandarkan punggungnya di kepala ranjang, rambutnya yang semalam terurai kini tampak seperti singa liar, kusut dan berantakan. Ia mengusap wajahnya, mengacak-acak rambutnya sendiri, membuatnya semakin kusut. “Apa aku jalan dalam tidur sampai ke kamar sendiri?”

Michelle menoleh cepat ke arah pintu yang terbuka, matanya membesar saat sosok di ambang pintu itu muncul. Alfred berdiri dengan alis terangkat, menatap gadis yang menjadi istrinya—rambutnya kusut seperti singa yang lepas, wajahnya bantal dan penuh kantung, jelas baru bangun tidur.

“Om Al...?” gumam Michelle.

Tanpa kata, Alfred melangkah pasti mendekat, tangannya meraih ke sisi ranjang tempat ponselnya tergeletak. Semalam ponselnya tertinggal di kamar ini. Sebelum subuh, ia bangun, menyelinap agar Michelle tak tahu bahwa semalam ia tidur di sampingnya.

“Kenapa ponsel om ada di kamarku?” tanya Michelle, sambil mengamati gerak-gerik suaminya yang menatapnya dengan tajam.

Alfred tersenyum tipis, menyelipkan candaan dingin, “Kau mencuri ponselku.”

“Hah?! Aku? Mana mungkin aku mencuri ponsel om!” Michelle segera berdiri di atas ranjang, napasnya tersengal. Ia mengacak-ngacak pinggangnya, merasa dicurigai tanpa alasan.

"Lalu, mana mungkin ponselku bisa berjalan sendiri kalau bukan kau yang mengambilnya?" suara Alfred terdengar santai, tapi tajam menusuk, menggoda istri kecilnya.

Michelle tiba-tiba gelagapan, menggaruk-garuk kepala yang tak gatal, jari-jarinya mengurai rambut yang berantakan parah. Wajahnya merona merah, dari pipi sampai ke telinga, malu.

Dadanya berdetak cepat saat menyadari satu hal—dia berdiri tepat di atas ranjang!

Pelan, dengan langkah gontai, ia turun dan mendekat ke arah Alfred yang berdiri tegap, menyembunyikan senyum tipis di balik ekspresi dinginnya.

"Maaf, Om... Aku tidak sengaja berdiri di atas ranjang," ucap Michelle, suaranya hampir tertelan oleh gugup saat ia menunduk, jemarinya meremas.

Alfred mengetuk lembut dahi istrinya, tatapannya tak terlepas dari wajah malu yang makin memerah. "Kalau begitu, bagaimana kau bertanggung jawab atas ponselku? Karena kau, aku terlambat ke kantor."

Mata Michelle melebar ketika matanya tertuju pada jam dinding. Pukul delapan lewat!

Sekolahnya sudah terlambat dimulai. Jantungnya berdebar, terhanyut dalam kekacauan pagi.

“A… a… Aku terlambat ke sekolah!” Michelle tergagap, napasnya tercekat saat langkahnya tergesa menuju kamar mandi. Namun, tiba-tiba tangan besar Alfred menghentikan gerakannya, mencekal lengan kurus itu.

“Om, tolong lepaskan aku! Aku harus ke sekolah sekarang juga!” Wajah Michelle dipenuhi harap, matanya melembut memohon.

“Sekolah? Mana ada sekolah buka sekarang? Kau benar-benar terlambat.”

“Aku bisa membujuk Pak Satpam untuk membukakan gerbang.”

Alfred menarik napas dalam-dalam dan berkata dengan senyum sinis yang menusuk, saat Michelle memutar gagang pintu kamar mandi, “Kalau aku tak salah, hari ini hari libur sedunia.”

Kepala Michelle seketika menunduk, bibir bawahnya tergigit kuat, dua pipinya merona merah, karena malu.

“Kalau aku tidak bilang, kau sudah ditertawakan seisi rumah ini,” tambah Alfred berdiri tepat di belakangnya, menepuk kepalanya dengan nada seakan mengejek.

Tubuh Michelle membeku, jantungnya berdegup kencang, merasakan dinginnya tangan suaminya menyentuh kulit kepalanya—hal yang tak pernah Michelle rasakan selama ini.

Alfred menghembuskan nafas panjang, matanya tajam menatap Michelle yang masih terdiam di tempat. "Urusan kita belum selesai," suaranya berat menusuk. "Kau masih punya hutang penjelasan—kenapa ponselku bisa ada di kamarmu?"

Pintu kamar tertutup rapat, Michelle terduduk lemas, tubuhnya ambruk menempel di pintu kamar mandi. Mulutnya terbuka, pikiran kacau antara syok dan malu. "Mama... anakmu memalukan!"

"Aku kenapa bisa sering lupa? Kenapa selalu ceroboh seperti ini?"

"Micky... kau sungguh memalukan."

Tubuhnya menegang karena rasa nyeri di dadanya, tanda ASI yang menumpuk menuntut untuk dilepaskan. Ia harus bersiap-siap agar ASI nya bisa di minum oleh Baby Serena.

.

.

Michelle segera membuka pintu kamar bayi Serena. Di sana, Melly tampak berjuang menenangkan tangisan yang tak henti-hentinya dari bayi kecil itu. Hati Michelle tercekat. Tanpa ragu, ia mengambil alih Serena ke pelukannya, mencoba menenangkan putri kecil itu yang kini mulai meronta kecil di gendongannya.

"Mbak Melly, sejak kapan dia menangis?" tanya Michelle dengan suara bergetar, sambil menimang lembut Serena.

"Tadi, Nona. Tiba-tiba saja dia terbangun dan menangis keras," jawab Melly dengan nada khawatir.

Michelle memicingkan mata. "Mungkin dia haus?"

Melly menggeleng cepat. "Tidak, Nona. Baru saja saya beri ASI yang semalam Nona simpan di kulkas. Dia sudah kenyang."

Michelle menatap Serena yang mulai mereda. "Mungkinkah dia merindukan papanya? Apa Om Al pernah menggendongnya?"

Melly mengangkat alisnya, bingung dengan pertanyaan itu, tapi menjawab jujur, "Sejak Nona Serena pindah ke sini, Tuan tidak pernah menggendong Nona kecil."

Michelle mengerjap matanya, tak percaya dengan apa yang baru didengarnya. "Benarkah...? Sungguh tega, Om Al... masa anaknya sendiri sampai tak dipedulikan?"

"Serena pasti ingin digendong oleh papanya, kan, Sayang?" tanya Michelle dengan lembut sambil mencoba mengusap kepala bayi itu.

Melly terdiam dalam diam. Dia terkejut, hatinya bergolak karena istri tuannya benar-benar menganggap bahwa Baby Serena adalah anak kandung Tuan Alfred—padahal kenyataannya sangat berbeda.

"Nona..." Melly berusaha buka suara, ingin memberi tahu kebenaran, tapi langsung di potong oleh Michelle.

"Mbak Melly, tolong, gendong dulu Baby Serena sebentar, aku mau memompa ASI," pinta Michelle.

Melly patuh tanpa pilihan, namun pikirannya berkecamuk. “Nona, Anda benar-benar polos... bisa-bisanya menganggap bayi ini anak Tuan Alfred,” batin Melly sambil tersenyum pahit.

.

.

Michelle melangkah pelan membawa Serena di pelukannya. Di depan pintu ruang kerja yang besar, ia mengetuk dengan lembut, suara rendah menyapa dari dalam, "Masuk." Suara Alfred terdengar jelas.

Ketika pintu terbuka, Michelle mengintip masuk, matanya menyapu seluruh ruangan luas yang dipenuhi tumpukan berkas dan layar komputer yang menyala, serta banyak buku tersusun rapi di rak raksasa di dalam sana.

Di sudut ruangan, di atas sofa kulit hitam, Alfred tampak serius menatap tablet serta Vino, asistennya, yang duduk di lantai dengan dokumen-dokumen berserakan di sekelilingnya.

Alfred menengok, raut wajahnya berubah dari serius menjadi heran saat melihat Michelle menggendong Serena. "Kenapa kau membawanya ke sini?"

Michelle menghela napas pelan, menahan gugup. "Sepertinya dia merindukan papanya,"

Michelle duduk dengan hati-hati di samping Alfred, tubuh kecil baby Serena yang hangat diserahkan perlahan ke hadapan lelaki itu. Matanya menatap Alfred penuh harap,"Sepertinya baby Serena merindukanmu, Om. Dia ingin sekali digendong papanya." Wajah Michelle begitu memohon, seakan mengharap Alfred menggendong Baby Serena.

Alfred menatap bayi itu dengan raut bingung dan sedikit kaku, tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Diamnya membuat Michelle cemas, lalu ia menambahkan dengan suara lembut, "Tolong gendong dia, Om. Pasti dia akan tenang jika Om yang menggendongnya."

"Seriously? Gadis ini menganggapku, ayahnya Serena?"

Ia menarik napas panjang, menatap bayi mungil yang menoleh ke arahnya dengan mata bulat penuh kepercayaan. Lambat tapi pasti, Alfred mengulurkan tangannya, menggendongnya.

“Om harus tetap menyisihkan waktu untuk anak om, sesibuk apa pun. Karena seorang anak butuh kasih sayang dari papanya,” kata Michelle dengan nada polos.

"Meski aku tak tahu kapan Kak Elena hamil dan melahirkan baby Serena. Namun ia tetap buah hati kalian. Walaupun Baby Serena tidak mirip kalian berdua .”

Kata-kata itu menghantam Alfred seperti petir di siang bolong. Matanya melebar, terperangah. Bahkan sang asisten, Vino, merasakan hal yang sama.

Michelle kembali menepuk lembut rambut halus bayi dalam gendongan Alfred, senyumnya tetap polos. “Jika suatu saat Kak Elena kembali, baby Serena pasti bahagia. Akhirnya punya keluarga yang lengkap.”

1
partini
lanjut thor 👍👍👍👍
partini
hemmm moga pergi biar kamu kelabakan
Mericy Setyaningrum
alfred riedel kaya pelatih Timnas dulu ehhe
ladies_kocak: oh ya? baru tahu 😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!