NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 35: Psikologi di Balik Undangan

Hujan menghantam kaca depan Toyota Fortuner hitam itu bukan lagi sebagai air, melainkan seperti ribuan jarum cair yang ditembakkan dari langit yang marah.

Swish-thud. Swish-thud.

Wiper mobil bergerak dengan ritme yang menghipnotis namun sia-sia, berjuang mati-matian membersihkan pandangan ke jalanan akses Marunda yang gelap, berlubang, dan berbahaya. Setiap sapuan hanya memberi kejelasan selama sepersekian detik sebelum kaca itu kembali buram oleh tirai air.

Di dalam kabin yang dingin, atmosfernya tegang, seolah udara itu sendiri mengandung listrik statis.

Di kursi penumpang, Dr. Maya Sari memeluk tubuhnya sendiri. Bukan karena dinginnya AC yang disetel Daniel untuk mencegah embun di kaca, tapi karena dingin yang merambat dari kartu undangan hitam yang kini ia pegang erat di pangkuannya. Benda itu terasa berat, seolah terbuat dari timah, bukan kertas.

Jalanan di luar sana kosong melompong. Peradaban seolah telah berakhir beberapa kilometer di belakang. Hanya ada truk-truk kontainer raksasa yang terparkir mati di sisi jalan yang berlumpur, tampak seperti bangkai binatang purba yang membusuk di tengah hujan. Bayangan crane pelabuhan di kejauhan menjulang seperti jari-jari kerangka yang menggapai langit.

Daniel Tirtayasa mencengkeram setir dengan buku-buku jari yang memutih. Otot rahangnya mengeras, berdenyut setiap beberapa detik. Matanya, yang biasanya hangat dengan empati seorang "Gembala", kini fokus lurus ke depan dengan intensitas yang menakutkan.

Maya menatap profil wajahnya. Dia tahu wajah itu. Itu adalah wajah seorang prajurit yang sedang duduk di kapal pendarat, menghitung detik sebelum pintu terbuka dan dia harus menyerbu parit musuh.

Daniel sedang melakukan kalkulasi taktis. Maya bisa melihatnya di matanya. Dia sedang memikirkan sudut tembak. Dia sedang memetakan pintu masuk. Dia sedang mengkhawatirkan Aiptu Harun yang bersembunyi dalam diam di bagasi belakang yang sempit sebuah "Kuda Troya" manusia yang mematikan namun rentan.

Dia salah, pikir Maya, rasa takut meremas perutnya. Dia bersiap untuk perang fisik. Dia bersiap untuk tembak-menembak. Tapi dia sama sekali tidak siap untuk apa yang sebenarnya menunggunya.

Maya kembali menatap kartu undangan itu. Di bawah cahaya lampu dasbor yang remang-remang, tulisan perak itu berkilau mengejek. Dia tidak melihat kertas mahal atau tinta mewah. Sebagai seorang profiler, dia melihat sebuah diagnosa klinis.

Sebuah Perjamuan untuk Sang Gembala...

Absolusi Keempat...

Pakaian: Kejujuran Anda.

Kata-kata itu berputar di benak Maya, menyusun ulang dirinya seperti potongan puzzle, membentuk sebuah profil psikologis yang utuh dan jauh lebih mengerikan daripada sekadar "pembunuh berantai".

"Komandan," panggil Maya pelan. Suaranya terdengar kecil, nyaris tenggelam oleh deru hujan yang memukul atap mobil.

"Hmm?" Daniel tidak menoleh. Fokusnya absolut pada jalanan berlumpur di depan.

"Kita salah memandang ini," kata Maya, memaksakan suaranya agar lebih tegas. "Kita Anda melihat ini sebagai jebakan fisik. Anda pikir ini adalah ambush untuk membunuh Anda. Atau menjebak Anda agar terlihat bodoh di depan Jenderal Hartono."

Maya menggelengkan kepalanya, meskipun Daniel tidak melihatnya. "Itu terlalu sederhana untuk Samuel. Itu terlalu... banal. Itu terlalu 'preman' untuk seseorang yang mengutip filsafat Jerman."

Daniel meliriknya sekilas, matanya tajam. "Dia membunuh tiga orang, Dok. Dia memotong lidah dan tangan. Dia monster. Dan monster membunuh ancamannya. Aku adalah ancamannya. Aku yang memburunya."

"Tidak," koreksi Maya cepat. "Itu kesalahan fatal. Bagi seorang narsisis dengan 'God Complex' dan delusi keagungan seperti dia, Anda bukan ancaman, Daniel. Di matanya, Anda tidak selevel dengannya untuk menjadi ancaman."

"Lalu apa aku ini?" tanya Daniel kasar, membanting setir untuk menghindari lubang besar yang tergenang air. Mobil berguncang hebat. Harun di belakang pasti terlempar, tapi tidak ada suara keluhan.

"Anda adalah validasi," jawab Maya.

Dia menyalakan lampu baca kecil di atasnya. Cahaya kuning menyorot kartu undangan hitam itu, membuatnya tampak seperti artefak okultisme.

"Pikirkan kata-katanya, Daniel. Lihat ini," Maya menunjuk baris demi baris. "'Saksi utama'. 'Menantang untuk mengintervensi'. 'Pakaian: Kejujuran Anda'."

Maya menoleh sepenuhnya ke arah Daniel, mengabaikan jalanan yang gelap. "Dia tidak ingin Anda mati malam ini. Setidaknya, itu bukan tujuan utamanya. Jika dia hanya ingin Anda mati, dia bisa meledakkan mobil ini sekarang dengan bom jarak jauh. Dia bisa menembak Anda dari jarak 500 meter saat Anda keluar dari kantor. Dia punya kemampuan itu."

"Lalu apa maunya, Maya?" tanya Daniel, nada frustrasi dan ketegangan mulai meretakkan topeng prajuritnya.

"Dia ingin Anda berubah," jawab Maya.

Satu kata itu menggantung di udara yang pengap dan dingin di dalam mobil.

"Maksudmu?"

Maya menarik napas dalam-dalam. Dia harus membuat Daniel mengerti sebelum mereka sampai di gerbang neraka itu. Ini adalah pelindung terpenting yang bisa dia berikan lebih kuat dari rompi kevlar, lebih penting dari pistol Glock di pinggang Daniel.

"Samuel Adhinata," Maya memulai analisisnya dengan nada klinis namun mendesak, "adalah pria yang sangat cerdas, tapi juga sangat, sangat kesepian. Bukan kesepian sosial dia punya karir, dia punya kolega, dia dihormati. Tapi dia mengalami kesepian ideologis."

Maya melanjutkan, matanya menatap tajam ke sisi wajah Daniel. "Dia percaya dia telah menemukan 'Kebenaran' yang absolut. Bahwa dunia ini rusak, sistem hukum kita cacat, pengampunan adalah kebohongan yang memanjakan, dan hanya pemusnahan 'koreksi' yang bisa membersihkannya. Dia merasa dia berdiri di puncak gunung, moralitas sendirian, melihat apa yang domba-domba bodoh tidak bisa lihat."

"Dia gila," potong Daniel, mencengkeram setir lebih erat.

"Ya. Secara klinis, dia psikopat dengan delusi grandeur. Tapi orang gila pun butuh teman," kata Maya. "Atau lebih tepatnya... dia butuh teman sejawat (peer)."

Maya menunjuk dada Daniel.

"Dan dia memilihmu. Sang Gembala. Kenapa? Karena dia melihat potensi dalam diri Anda. Dia melihat keretakan pada iman Anda. Dia melihat Anda ragu. Dia melihat Anda mulai mempertanyakan keadilan Tuhan setelah melihat korban-korban seperti Bu Tarsih."

Maya mencondongkan tubuhnya. "Saat makan siang itu... saat dia bertanya tentang 'orang jahat yang bebas' dan 'kemalasan spiritual'... dia tidak sedang mengejek. Dia sedang mengulurkan tangan."

Daniel terdiam, tapi otot di rahangnya berkedut.

"Undangan ini, Daniel... eksekusi Erica Wijaya nanti... itu bukan ancaman," desak Maya. "Itu adalah presentasi. Itu adalah sidang tesis doktoralnya. Dia ingin mempertunjukkan 'karyanya' di depan Anda. Dia ingin Anda melihat betapa 'busuk'-nya Erica, wanita yang Anda kira simbol Nafsu itu dan betapa 'bersih'-nya pisau bedah yang dia gunakan."

Suara Maya melembut menjadi bisikan yang mengerikan. "Dia ingin Anda mengakui bahwa dia benar, Pak. Itu kemenangan tertingginya. Bukan membunuh tubuh Anda, tapi membunuh iman Anda. Dia ingin Anda keluar dari gudang itu nanti bukan sebagai polisi yang menangkapnya, tapi sebagai murid yang berkata, 'Kau benar, Samuel. Tuhan sudah mati. Dunia ini butuh dibersihkan oleh tangan kita.'"

Cengkeraman Daniel di setir mengendur sedikit, lalu mengeras lagi, seolah menahan ledakan.

"Dia ingin mengkorupsi saya," kata Daniel pelan, suaranya penuh horor.

"Dia ingin membebaskan Anda," koreksi Maya, menggunakan istilah yang pasti ada di kepala Samuel. "Membebaskan Anda dari apa yang dia sebut 'Kemalasan Spiritual'. Dia ingin Anda berhenti menunggu Tuhan, dan mulai mengambil alih pedang itu sendiri."

Daniel terdiam lama. Hanya suara hujan yang mengisi kekosongan itu, menciptakan irama kematian yang monoton.

Analisis Maya masuk akal. Sangat masuk akal. Itu menjelaskan segalanya.

Itu menjelaskan kenapa Samuel memberinya buku filsafat The Scales of Nemesis.

Itu menjelaskan kenapa Samuel tidak membunuhnya saat punya kesempatan.

Itu menjelaskan kenapa Samuel mengirim video Nadia bukan untuk membunuh Nadia, tapi untuk membuat Daniel merasakan ketidakberdayaan yang membenarkan tindakan main hakim sendiri. Samuel sedang melatihnya. Membentuknya.

"Jadi," kata Daniel akhirnya, suaranya berat dan serak. "Jika aku menembaknya malam ini... jika aku membunuhnya dalam amarah karena dia mengancam Nadia atau menyakiti wanita itu... aku membuktikan bahwa dia benar."

"Tepat," kata Maya tegas. "Jika Anda membunuhnya karena dendam, Anda menjadi dia. Anda mengadopsi metodenya. Anda menjadi 'Sang Hakim' yang baru. Dan dalam logika sakitnya, itu adalah warisan yang sempurna. Dia menang bahkan jika dia mati."

Daniel menelan ludah yang terasa pahit.

"Tapi jika aku menangkapnya?" tanya Daniel. "Jika aku menyeretnya ke pengadilan? Jika aku membacakan hak-haknya?"

Maya tersenyum sedih namun bangga. "Itu yang paling dia benci. Karena itu berarti Anda menolak 'kebenaran'-nya. Itu berarti Anda memilih sistem yang dia anggap cacat dan bodoh. Itu berarti Anda memilih menjadi 'lemah' daripada menjadi 'monster'. Itu akan menghancurkan egonya lebih dari peluru mana pun."

Maya meletakkan tangannya di lengan Daniel. Sebuah sentuhan manusiawi yang hangat di tengah kegelapan yang dingin.

"Daniel, dengarkan saya baik-baik. Saat Anda masuk ke sana nanti... dia akan memprovokasi Anda. Dia akan melakukan hal-hal mengerikan pada wanita itu di depan mata Anda. Dia akan menghina Tuhan Anda. Dia akan mengejek keluarga Anda. Tujuannya hanya satu: memancing amarah purba Anda. Membuat Anda menarik pelatuk."

"Jangan beri dia kepuasan itu," desak Maya, meremas lengan Daniel. "Lawan dia dengan borgol, bukan dengan peluru. Lawan dia dengan hukum, bukan dengan hukuman. Itu satu-satunya cara kita menang malam ini."

Daniel menatap jalanan gelap di depan. Dia mengangguk pelan. "Aku mengerti."

Dia kembali fokus ke jalan, tapi Maya bisa melihat perubahan di matanya. Tatapan "prajurit" yang haus darah telah berubah. Itu kini adalah tatapan "penjaga" yang waspada. Tatapan seorang Gembala yang sadar bahwa dia tidak hanya melindungi dombanya, tapi juga melindungi jiwanya sendiri dari menjadi serigala.

Mobil mulai melambat. Guncangan menjadi kasar.

Jalan aspal yang mulus telah habis, berganti menjadi jalan tanah berlumpur yang tidak rata. Roda mobil tergelincir sedikit di lumpur basah sebelum traksi 4x4 mengambil alih. Di bagasi, Harun pasti sedang berpegangan erat.

"Kita hampir sampai," kata Daniel. Dia mematikan lampu depan mobil untuk menjaga kerahasiaan.

Dunia tiba-tiba menjadi hitam pekat.

Mobil meluncur dalam kegelapan, hanya dipandu oleh insting Daniel dan cahaya bulan samar yang sesekali menembus awan badai.

Maya menempelkan wajahnya ke jendela yang dingin. Di kejauhan, di tengah rawa-rawa ilalang yang tinggi yang bergoyang ditiup angin kencang, siluet sebuah bangunan pabrik tua menjulang.

Itu tampak seperti kerangka raksasa besi yang ditinggalkan zaman. Gelap. Sunyi. Mati. Tidak ada cahaya yang terlihat dari luar—Samuel pasti menutup semua celah dengan sempurna.

Tapi Maya tahu, di dalamnya, panggung telah disiapkan. Lampu sorot 5600 Kelvin itu sedang menyala. Kamera-kamera sedang merekam. Dan Samuel sedang menunggu audiens-nya.

Jantung Maya berdebar kencang di dadanya. Analisis psikologisnya sudah selesai. Kata-kata sudah habis. Sekarang, realitas fisik akan mengambil alih.

"Turunkan aku di sini," bisik Maya saat mereka melihat bayangan pos satpam yang runtuh sekitar 300 meter dari gerbang utama. "Ini batas aman."

Daniel menghentikan mobil dengan perlahan agar tidak menimbulkan suara rem. Dia menatap Maya sejenak. Ada rasa terima kasih yang mendalam di matanya.

"Jaga dirimu, Dok," kata Daniel. "Tunggu sinyalnya. Dan terima kasih... untuk peringatannya."

"Bawa dia hidup-hidup, Daniel," pesan Maya sekali lagi, suaranya bergetar. "Jangan biarkan dia menang di dalam kepalamu."

Maya membuka pintu. Angin kencang dan hujan deras langsung menyerbunya. Dia melompat keluar, sepatu boots-nya tenggelam di lumpur. Dia berlari kecil, membungkuk, menuju reruntuhan pos satpam, menghilang ke dalam kegelapan malam seperti hantu.

Daniel menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara dingin dan lembap. Dia sendirian sekarang di kabin depan.

Tapi di belakang, dia punya Harun.

Dan di kepalanya, dia punya peringatan Maya.

Dia menyalakan kembali mesin, membiarkannya menderu pelan, dan melaju menuju gerbang utama yang menganga seperti mulut monster.

Menuju Altar.

Ujian terakhir Sang Gembala telah dimulai.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Slow respon: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!