Ratu Ani Saraswani yang dihidupkan kembali dari kematian telah menjadi "manusia abadi" dan dianugerahi gelar Ratu Sejagad Bintang oleh guru ayahnya.
Aninda Serunai, mantan Ratu Kerajaan Siluman yang dilenyapkan kesaktiannya oleh Prabu Dira yang merupakan kakaknya sendiri, kini menyandang gelar Ratu Abadi setelah Pendekar Tanpa Nyawa mengangkatnya menjadi murid.
Baik Ratu Sejagad Bintang dan Ratu Abadi memendam dendam kesumat terhadap Prabu Dira. Namun, sasaran pertama dari dendam mereka adalah Ratu Yuo Kai yang menguasai tahta Kerajaan Pasir Langit. Ratu Yuo Kai adalah istri pertama Prabu Dira.
Apa yang akan terjadi jika ketiga ratu sakti itu bertemu? Jawabannya hanya ada di novel Sanggana ke-9 ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rudi Hendrik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Panglima Injek Roso
Komandan Remuk Gula ingat ketika Hari Tumbal Pantai yang diadakan dua tahun lalu oleh Istana Pasir Langit, yang saat itu rajanya masih Prabu Galang Digdaya.
Hari Tumbal Pantai adalah ritual Kerajaan yang dilakukan setiap tahun di Pantai Segadis sebagai ritual syukur kepada Penguasa Laut, meski tidak satu pun orang yang pernah tahu tentang Penguasa Laut itu.
Ritual tahunan itu wajib melarungkan sepuluh tumbal ke tengah laut yang termasuk wilayah perairan kekuasaan Kerajaan Pasir Langit. Namun, tumbalnya bukan manusia, tetapi tiga ekor sapi dan tujuh domba terbaik.
Pada Hari Tumbal Pantai, biasanya seluruh anggota Keluarga Kerajaan akan hadir, demikian pula para pejabat di Istana dan Ibu Kota.
Dua tahun lalu, sebelum Remuk Gula naik pangkat menjadi komandan, dia yang hadir pada acara tahunan itu sempat melihat sosok dan paras Ani Saraswani yang masih berstatus seorang putri.
Jadi, jika prajurit jaga di pos pemeriksaan melaporkan kedatangan Ratu Ani Saraswani, pastinya Komandan Remuk Gula akan mengenali sang ratu.
Maka, dengan perasaan berdebar dan wajah terlihat sangat jelas diliputi ketegangan, Komandan Remuk Gula segera pergi ke jalanan dengan setengah berlari. Prajurit yang melapor juga ikut berlari mengikuti.
Tindakan Komandan Remuk Gula itu menarik perhatian para prajurit yang bertugas. Untuk sementara mereka juga memandang kepada kedatangan rombongan berkuda yang datang dari arah wilayah Kerajaan Teluk Busung.
Setibanya di jalanan pos pemeriksaan, Remuk Gula bisa dengan jelas melihat paras cantik jelita Ani Saraswani. Maka terkejutlah dia. Meski dia melihat ada yang berubah pada paras Ani Saraswani, tetapi itu adalah wajah yang pernah dia lihat dua tahun yang lalu. Kecantikan Ani Saraswani sangat membekas diingatan Remuk Gula, meski sudah dua tahun berlalu.
“Pasukaaan!” teriak Remuk Gula keras.
Teriakan keras itu jelas membuat semua prajurit yang sedang bertugas maupun yang tidak, sontak menengok melihat kepada pemimpinnya yang sudah berhadapan dengan rombongan kuda Ani Saraswani.
“Sembah hormat hamba, Gusti Ratu!” seru Komandan Remuk Gula kencang, tapi tidak sekencang tadi. Dia segera turun berlutut, lalu bersujud di tanah.
Mendengar ucapan dan melihat tindakan Komandan Remuk Gula, para prajurit jadi terkejut dan segera berlarian datang ke titik pertemuan, seperti mendapat panggilan untuk pembagian kaos kampanye pemilu.
Dalam waktu cepat, semua prajurit berkumpul dan berlomba-lomba turun bersujud.
“Sembah hormat hamba, Gusti Ratu! Sembah hormat hamba, Gusti Ratu! Sembah hormat hamba, Gusti Ratu!” seru para prajurit yang susul-menyusul karena ritme ketibaan mereka tidak bersamaan.
Sementara itu di Lembah Kumaha. Tidak lama setelah ketibaan rombongan Ani Saraswani di perbatasan.
Drap drap drap…!
Seorang prajurit yang membawa bendera kecil warna kuning di punggungnya, melesat kencang dengan menunggang seekor kuda. Bendera mini yang dibawanya bukan tanda adanya kematian, tetapi warna bendera seorang utusan memang kuning semanis buah pisang.
Kuda itu terus berlari dan masuk ke lingkungan kompleks militer yang juga memiliki sebatang bendera Kerajaan Pasir Langit dan panji kain cokelat segitiga.
Prajurit dan kuda terus berlari kencang melewati prajurit jaga tanpa kata permisi lagi. Para prajurit jaga dan yang lainnya sangat tahu bahwa prajurit pembawa pesan memiliki hak khusus untuk diberi jalan selapang-lapangnya.
“Pesaaan!” teriak si prajurit berkuda kencang sekencang lari kudanya.
Beberapa prajurit yang sedang lalu dan lalang di jalanan kompleks markas militer itu, buru-buru menepi agar tidak ditabrak kuda. Jika ada yang sampai tertabrak kuda prajurit utusan, maka yang tersalah adalah prajurit yang ditabrak, meski faktanya sudah menepi di pinggir jalan. Memang seperti itu hukum yang berlaku di dunia kemiliteran Kerajaan Pasir Langit.
Drap drap drap…!
“Pesaaan!” teriak prajurit itu lagi sambil mendatangi sebuah bangunan kayu yang memiliki banyak hiasan dan dijaga oleh empat prajurit berseragam dan bersenjata lengkap.
“Tigaaa!” sahut salah satu prajurit jaga sambil menunjuk ke arah barat. Maksudnya bukan “pesan tiga”, tetapi maksudnya “Panglima ada di Lapangan Tiga.”
Prajurit pembawa pesan segera mengerem tajam, lalu membelokkan kepala kuda ke kiri, sehingga si kuda pun belok kiri lalu kembali berlari kencang seiring gebahan si prajurit.
“Pesaaan!” teriak si prajurit berkuda lagi agar jalan di depannya dikosongkan oleh prajurit yang sedang melintas.
“Pesan apa?” tanya seorang prajurit kepada rekannya sambil sama-sama menepi.
“Pesan jengkol kukus,” jawab rekannya sambil tersenyum lebar.
Di saat kedua prajurit itu mengejek, prajurit pembawa pesan terus berlalu karena memang dia tidak akan mendengar ejekan yang bernada pelan itu. Memang, kedua prajurit itu sukan menjadikan teriakan “pesan” sebagai bahan candaan.
Lapangan Satu yang diisi oleh pasukan infanteri sedang berlatih dilewati. Lapangan Dua yang sedang kosong dari aktivitas juga dilewati oleh prajurit pembawa pesan. Dia harus berkuda lebih jauh ke dalam kompleks markas militer itu.
“Hiaaat!”
Teng!
Brak! Bdugk!
Sebanyak ratusan prajurit di Lapangan Tiga berteriak sambil menusukkan ujung tombaknya kepada prajurit pasangan latihannya.
Ratusan prajurit sebagai pihak yang ditusuk kompak menangkis dengan perisai besarnya. Lalu dilanjutkan gerakan serentak pula yang memainkan perisai sehingga menghantam batang tombak, lalu melakukan gerakan susulan yang menghantam tubuh prajurit bertombak dengan perisai juga.
Hantaman itu membuat para prajurit bertombak berjatuhan. Itu tidak sakit, karena mereka dilindungi oleh perlengkapan pengaman yang tebal, sehingga hantaman pada tubuh mereka tidak begitu sakit.
Setelah adegan itu, para prajurit yang jatuh kembali bangun memasang kuda-kuda seperti sebelumnya. Para prajurit tameng pun kembali ke posisinya semula. Adegan seperti tadi akan diulang kembali. Jangan ditanya berapa kali ulang!
Di salah satu sisi lapangan ada sebuah panggung kayu sederhana, lengkap dengan bendera kerajaan dan panji. Di atasnya berdiri seorang perwira berusia separuh baya yang didampingi oleh tangan kanannya.
Perwira berkumis segaris itu memiliki perawakan tubuh yang sedang, tapi terlihat keras oleh otot-otot besar yang menonjol. Sebagian badannya terbuka dan sebagian lagi tertutupi oleh kain selempangan warna perak. Dia Panglima Perbatasan Selatan yang bernama Injek Roso.
Perwira yang pangkatnya lebih rendah yang menjadi tangan kanannya bernama Semoro Udang. Jika mendampingi sang panglima, dia selalu membawa sebuah tombak besi yang matanya selalu dibungkus oleh kaih warna merah. Tombak itu bukan milik Semoro Udang, tetapi itu tombak pusaka sang panglima.
Semoro Udang adalah seorang pemuda yang sudah kawin. Hebatnya, dia sudah tiga kali kawin dengan satu orang wanita. Itu karena dia menikah di tengah-tengah masa tugas. Sementara Panglima Injek Roso hanya mengizinkannya pulang selama lima hari.
Semoro Udang menggunakan lima hari itu dengan rincian satu setengah hari perjalanan pulang, satu hari acara pernikahan, satu hari bulan madu di kamar mertua, dan satu setengah hari perjalanan pulang ke barak. Demikianlah prestasi asmaranya.
Drap drap drap…!
“Pesaaan!” teriak prajurit pembawa pesan dengan tatapan sudah tertuju kepada Panglima Injek Roso.
Teriakan yang kencang itu tidak hanya menarik perhatian Panglima Injek Roso dan Semoro Udang, tetapi juga semua prajurit yang sedang berlatih di Lapangan Tiga.
Prajurit pembawa pesan akhirnya tiba di dekat panggung. Dia mengerem kudanya dengan tajam laksana seorang pahlawan bergitar. Lompatannya dari punggung kuda ke tanah pun terlihat mantap memesona.
Dak dak dak…!
Prajurit itu berlari kencang naik ke atas panggung. Panglima dan tangan kanannya sudah menunggu.
“Lapor, Gusti Panglima! Pesan dari Komandan Remuk Gula. Gusti Ratu Ani Saraswani sedang menuju ke sini!”
“Apa?!” pekik kedua perwira beda level itu.
Laporan itu sukses memberi kejutan, meski tujuannya hanya sekedar melapor, tidak bermaksud mengejutkan.
Keterkejutan Panglima Injek Roso dengan cepat berubah menjadi raut kemarahan. Tatapannya tajam kepada si prajurit yang menunduk.
“Lancang kau, Prajurit! Kau pikir aku sudah pikun? Gusti Ratu Ani Saraswani sudah mati dan sekarang Ratu Pasir Langit adalah Ratu Yuo Kai!”
“Ampun, Gusti Panglima! Hamba hanya menyampaikan pesan!” teriak si prajurit pula sambil menjura hormat dan menunduk lebih rendah. Nada suaranya keras tapi bernada takut. Takut dihukum.
Terdiam Panglima Injek Roso memikirkan pesan yang disampaikan si prajurit. Dia memandang kepada Semoro Udang, seolah-olah minta komentar. Namun, Semoro Udang yang juga tahu bahwa Ratu Ani Saraswani telah mati, tidak bisa berkata-kata. Dia juga bingung. (RH)
asik lagi keren
tapi kalau Om belum juga berniat menyudahi perkara lubang ini, tolong keinginan Bg@😎 ȥҽɳƙαɱʂιԃҽɾ 😎 Om penuhi dengan memberi nama Lubang Kenikmatan untuk satu tokoh baru🤦😭🤣