Laura Clarke tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis. Pertemuannya dengan Kody Cappo, pewaris tunggal kerajaan bisnis CAPPO CORP, membawanya ke dalam dunia yang penuh kemewahan dan intrik. Namun, konsekuensi dari malam yang tak terlupakan itu lebih besar dari yang ia bayangkan: ia mengandung anak sang pewaris. Terjebak di antara cinta dan kewajiban.
"kau pikir, aku akan membiarkanmu begitu saja di saat kau sedang mengandung anakku?"
"[Aku] bisa menjaga diriku dan bayi ini."
"Mari kita menikah?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bgreen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
malam yang kembali panas
Setelah Connie keluar, hanya tersisa Hugo dan wanita itu di kamar tersebut.
Wanita itu duduk bersandar di ranjang, tatapannya kosong.
Hugo, yang berniat beristirahat, mendekati ranjang dan berbaring di samping wanita itu.
Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikiran dan tubuhnya.
"Kenapa kalian tidak membunuhku?" tanya wanita itu, memecah keheningan.
"Aku akan membunuhmu nanti, setelah aku menangkap Lukas," jawab Hugo tanpa membuka mata.
Wanita itu melihat sebilah pisau buah di laci samping tempat Hugo berbaring.
Dengan gerakan cepat, meskipun tubuhnya lemah, ia meraih pisau itu. Niatnya adalah mengakhiri hidupnya sendiri.
BRAAK... BUGH...
Dengan sigap, Hugo menahan tangan wanita itu dan merebut pisau dari genggamannya.
Ia melempar pisau itu menjauh, lalu menahan tubuh wanita itu di ranjang.
Hugo berada di atasnya, kedua tangannya memegangi pergelangan tangan wanita itu, mencegahnya melakukan tindakan berbahaya.
"Sudah kubilang, aku akan membunuhmu setelah aku menangkap Lukas. Jadi, jangan coba-coba membuat masalah dengan menyakiti dirimu sendiri," ucap Hugo dengan nada serius, menatap mata wanita itu dengan intens.
Wanita itu hanya terdiam dalam kungkungan Hugo. Perlahan, Hugo melepaskan cengkeramannya dan kembali berbaring di ranjang.
Dikamar itu kembali hening, hingga wanita itu tiba-tiba berbicara, "Lukas mungkin bersembunyi di sebuah vila dekat pantai di pinggiran kota, atau di rumah peternakan di kota X. Kalian bisa mencarinya di sana," ucap wanita itu pelan, seolah memberikan informasi tentang keberadaan Lukas.
Hugo menurunkan lengannya yang menutupi mata, menoleh ke arah wanita itu yang berbaring tepat di sampingnya. "Apa yang kau katakan?"
"Itu tempat persembunyian Lukas," jawab wanita itu tanpa menoleh.
"Kau pikir aku akan percaya padamu?" tanya Hugo.
"Terserah. Kau bisa mengeceknya sendiri," balas wanita itu.
Hugo bangkit dari ranjang, menatap wanita itu yang hanya diam menatap langit-langit kamar. "Kenapa kau memberitahuku hal ini? Apa hubunganmu dengan Lukas?"
"Aku hanya ingin kalian segera membunuhku," jawab wanita itu, lalu membalikkan wajahnya menatap Hugo dengan tatapan datar.
Hugo terdiam. Tak lama, ia beranjak dari ranjang dan keluar dari kamar, menuju ruangan di mana Kody dan anak buahnya masih sibuk mencari keberadaan Lukas.
Hugo ingin memberitahukan informasi yang diberikan wanita itu dan mengecek langsung kebenarannya.
*
*
*
Malam itu, Kody kembali ke mansion dan mendapati Laura, istrinya, baru saja selesai mandi.
Uap dari kamar mandi masih memenuhi udara, membawa serta aroma sabun yang lembut.
Laura hanya mengenakan handuk kecil yang melilit tubuhnya, memperlihatkan kaki jenjangnya yang basah.
Perutnya sedikit menonjol, tanda kehamilan yang sudah hampir lima bulan.
Kulitnya yang masih basah berkilauan diterpa cahaya lampu kamar, membuatnya tampak semakin memesona di mata Kody.
"Kau pulang lebih awal?" tanya Laura, suaranya sedikit bergetar. Ia berusaha menutupi kegugupannya dengan senyuman tipis.
Meski Kody sudah sering melihat tubuhnya, Laura tak bisa menyembunyikan rasa canggung dan gugup di hadapan suaminya.
Jantungnya berdebar lebih kencang setiap kali Kody menatapnya dengan intens.
"Hmm... aku merindukanmu, jadi aku pulang lebih awal," jawab Kody, langkahnya mantap mendekati Laura.
Matanya tak lepas dari wajah istrinya, seolah ingin menelanjangi setiap inci tubuhnya dengan tatapan.
Nafsu Kody bergejolak. Ia ingin segera merengkuh Laura ke dalam pelukannya, melumat bibir seksinya, dan membawanya ke ranjang untuk bercinta. Sentuhan lembut Laura selalu berhasil membuatnya kehilangan kendali.
Namun, tangannya terhenti di udara. Ia terdiam sejenak, menelan ludahnya dengan susah payah. Bayangan wajah lelah Laura menghantuinya.
"Aku akan mandi dulu," ucap Kody akhirnya, mengurungkan niatnya untuk bercinta. Ia tak ingin Laura kelelahan karena ulahnya.
Pelayan melaporkan bahwa Laura sering bangun kesiangan dan terlihat kelelahan.
Hal itu membuat Kody semakin khawatir dan berusaha menahan diri untuk tidak terlalu sering mengajak Laura bercinta.
Ia ingin memastikan istrinya mendapatkan istirahat yang cukup dan kehamilannya berjalan lancar.
*
*
Setelah Kody masuk ke kamar mandi, Laura merasa bingung. Biasanya, Kody akan menciumnya atau sekadar menyapa dengan hangat.
Namun, malam ini, Kody seolah menghindarinya. Perasaan aneh mulai menyelimuti hatinya.
"Ada apa dengannya? Apa dia sudah bosan denganku?" pikir Laura sambil berjalan menuju walk-in closet untuk memilih pakaian.
Bayangan-bayangan negatif mulai menghantuinya. Ia membayangkan Kody yang mungkin sudah tidak tertarik lagi padanya karena perubahan tubuhnya akibat kehamilan.
Pikiran-pikiran itu terus berputar di benaknya hingga tanpa sadar Kody sudah selesai mandi dan masuk ke dalam walk-in closet.
Uap dari tubuh Kody yang baru keluar dari kamar mandi memenuhi ruangan, bercampur dengan aroma sabun yang segar.
"Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau masih belum memakai bajumu?" tanya Kody, suaranya membuyarkan lamunan Laura.
Laura tersentak kaget mendengar suara Kody. Ia langsung menoleh dan tiba-tiba saja air matanya mengalir begitu saja.
Ia sendiri tidak tahu mengapa air mata itu keluar begitu saja. Mungkin karena hormon kehamilannya yang sedang tidak stabil.
"Apa yang terjadi? Kenapa kau menangis? Apa ada yang sakit?" ucap Kody khawatir saat melihat Laura menangis. Ia mendekat dan mencoba meraih tangan Laura, namun Laura menghindar.
"Tidak," jawab Laura sambil menggelengkan kepalanya. Tangisnya mulai terisak dan terdengar menyayat hati Kody.
"Kenapa kau menangis?" ucap Kody dengan nada panik. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang sedang terjadi pada istrinya.
"Kau tak menciumku tadi. Biasanya kau menciumku saat pulang," ucap Laura dalam tangisannya.
Kata-kata itu terlontar begitu saja, mengungkapkan perasaan kecewa yang selama ini ia pendam.
"Haaah..." Kody menghela napas saat mendengar ucapan Laura. Ia merasa bersalah karena telah membuat istrinya merasa tidak nyaman.
"Kau sudah bosan denganku, karena perutku yang semakin membesar," ucap Laura masih terisak. Ia merasa tidak percaya diri dengan penampilannya saat ini.
"Kenapa kau berpikir begitu?" ucap Kody dengan nada lembut. Ia mencoba meyakinkan Laura bahwa ia tidak pernah berpikir seperti itu.
"Maafkan aku. Aku seharusnya tak perlu seperti ini padamu. Lupakan saja. Aku baik-baik saja," ucap Laura yang merasa dirinya terlalu terbawa emosi hanya karena hal sepele. Ia berusaha menenangkan dirinya sendiri.
Laura berbalik dan hendak mengambil pakaiannya untuk dikenakan
Ia ingin segera mengakhiri percakapan ini dan melupakan semua pikiran negatifnya.
Namun, Kody langsung memeluknya dari belakang. Ia mendekap tubuh Laura erat-erat, seolah tidak ingin melepaskannya.
"Kau benar-benar pandai membuatku gila, Laura," ucap Kody pelan, napasnya mengenai punggung belakang Laura. Sentuhan napas Kody membuat bulu kuduk Laura meremang.
Kody melepaskan handuk yang melilit tubuh Laura dengan perlahan dan mulai membelai salah satu bukit kembar Laura yang sedikit membesar. Sentuhan itu membuat Laura semakin merinding.
"Hmph... Kody," desah Laura. Ia tidak bisa menahan desahannya saat Kody menyentuh bagian sensitifnya.
Kody menciumi leher Laura dan juga menggigit pelan telinganya. Sentuhan itu membuat Laura semakin bergairah.
"Jangan menangis. Aku tak pernah bosan denganmu," bisik Kody di telinga Laura. Kata-kata itu membuat hati Laura menghangat.
Kody membalikkan tubuh Laura menghadap padanya, dengan perlahan ia melumat bibir seksi Laura yang tadi ia tahan.
Ciuman itu terasa begitu lembut dan penuh cinta.
Namun, pertahanannya runtuh karena Laura juga menginginkan sentuhan darinya. Ia membalas ciuman Kody dengan penuh gairah.
"Aaarh... hmph... umph..." desah Laura mendapatkan ciuman bergairah dari Kody dan sentuhan lembut tangan Kody di tubuh polosnya. Ia merasa seperti melayang di udara.
Kody lalu menggendong tubuh Laura dan berjalan menuju ke ranjang. Ia ingin memanjakan istrinya malam ini.
Ia meletakkan Laura di ranjang dengan pelan, ia pun membuka lilitan handuk yang melingkar di pinggangnya. Kini, keduanya benar-benar telanjang di atas ranjang.
Laura yang sudah sering melihat tubuh Kody pun masih terkagum-kagum dan gugup.
Tubuh pria yang ada di hadapannya saat ini begitu menggoda dan aroma tubuhnya begitu menghanyutkan bagi Laura.
Entah karena pengaruh dirinya yang sedang hamil, hingga hormonnya begitu bergairah setiap melihat Kody, Laura tak bisa mengendalikan nafsu berahinya saat bersama dengan Kody. Ia merasa seperti remaja yang sedang jatuh cinta.
Dengan lembut Laura melingkarkan kedua lengannya di leher Kody dan mulai melumat bibir suaminya itu dengan liar dan dalam. Ia ingin merasakan setiap sentuhan dari Kody.
Kody bisa merasakan gairah Laura malam ini begitu berbeda. Ciuman yang begitu bergairah dan menuntut membuat Kody semakin terangsang dengan sentuhan dari Laura. Ia merasa seperti terbakar oleh gairah Laura.