Tiga tahun Arunika rela menjadi istri yang sempurna. Ia bekerja keras, mengorbankan harga diri, bahkan menahan hinaan dari ibu mertua demi menyelamatkan perusahaan suaminya. Namun di hari ulang tahun pernikahan mereka, ia justru dipaksa menyaksikan pengkhianatan paling kejam, suami yang ia cintai berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
Diusir tanpa belas kasihan, Arunika hancur. Hingga sosok dari masa lalunya muncul, Rafael, pria yang dulu pernah dijodohkan dengannya seorang mafia yang berdarah dingin namun setia. Akankah, Rafael datang dengan hati yang sama, atau tersimpan dendam karena pernah ditinggalkan di masa lalu?
Arunika menyeka air mata yang mengalir sendu di pipinya sembari berkata, "Rafael, aku tahu kamu adalah pria yang kejam, pria tanpa belas kasihan, maka dari itu ajari aku untuk bisa seperti kamu!" tatapannya tajam penuh tekad dan dendam yang membara di dalam hatinya, Rafael tersenyum simpul dan penuh makna, sembari membelai pipi Arunika yang basah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah Alfatih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8. Siapa musuh terbesar?
“Arunika!!” teriaknya lantang. Arunika yang baru saja menelusuri koridor menuju toilet, tiba-tiba tersentak saat namanya dipanggil oleh seseorang.
“Kau pikir dengan menempel pada mafia kau bisa jadi berharga? Kau tetap sama gadis miskin yang aku ambil karena kasihan!”
Shila di sampingnya berusaha menenangkan, namun Adrian terlanjur meledak. Wartawan yang tadinya duduk kini berdiri, menyambar setiap kata, setiap ekspresi. Shila, tak ingin hari ini menjadi kacau, tetapi Ardian sudah tak bisa menahan diri.
Arunika terdiam sejenak, tapi senyumnya muncul, tipis, menusuk.
“Kasihan?” suaranya datar, namun tajam. “Kalau benar kau kasihan, harusnya kau tak meniduri sahabatku di tempat tidurku sendiri. Kau hina aku, Adrian? Kau buang aku? Sekarang lihatlah, aku berdiri di samping Rafael Mahadewa, pria yang dunia tunduk padanya. Kau? Kau bahkan tak bisa tundukkan nafsumu sendiri.” Arunika balik menghina Ardian, yang membuat Ardian marah.
"Kau," Ardian melangkah cepat kehadapan Arunika.
Prang!
Suara gelas pecah yang dihantam ke lantai oleh Rafael, Pria itu bergerak maju, menatap Adrian dengan mata dingin bagaikan ujung belati.
“Satu kata lagi kau hina istriku,” ucapnya, suaranya rendah tapi bergema, “aku pastikan tubuhmu dikirim pulang dalam peti kayu.”
Shila pucat pasi, menarik lengan Adrian agar mundur. Wartawan makin heboh, blitz kamera membutakan mata. Shila, tak ingin permainannya berakhir hari ini. Shila masih butuh Ardian untuk memainkan peran yang dia tak bisa mainkan. Dan tepat saat Rafael meraih pinggang Arunika, memeluknya di depan semua orang sambil berkata lantang,
“Mulai hari ini, siapa pun yang menyentuh Arunika, berarti menyatakan perang padaku!”
Dor!
Suara tembakan membelah udara. Jeritan memenuhi ballroom. Orang-orang berhamburan, meja terbalik, gelas pecah. Arunika menjerit kecil dan spontan bersembunyi di dada Rafael. Para bodyguard Rafael langsung membentuk barisan, senjata api terangkat. Satu peluru menancap di pilar marmer tak jauh dari mereka. Asap tipis mengepul.
“Cari dia!” teriak salah satu pengawal Rafael.
Sosok pria bertopeng terlihat sekilas di pintu belakang, melarikan diri. Rafael sempat melangkah maju, tapi ia tahu mengejar bukan pilihan sekarang. Tangannya menekan kepala Arunika agar tetap menunduk, melindunginya di balik tubuhnya.
Arunika menggigil, bibirnya pucat. “Siapa … siapa itu…?”
Rafael menyipitkan mata, rahangnya mengeras. “Zhilo.”
Nama itu membuat Arunika tercekat. “Pamanku?”
Rafael menoleh, menatapnya dengan dingin. “Dia tak akan berhenti sebelum kau lenyap. Dan tembakan tadi ... itu tanda perang.”
Arunika terdiam, tubuhnya gemetar. Namun di balik ketakutannya, api lain menyala di matanya. Ia menatap Adrian yang kini sudah ditarik Shila keluar ruangan, wajahnya panik sekaligus kesal karena momen penghinaannya justru berbalik jadi bumerang di depan publik. Rafael meraih dagu Arunika, memaksanya menatap ke arahnya.
“Dengar aku baik-baik. Dunia ini sudah kotor, dan sekarang kau berdiri di pusatnya. Kau punya dua pilihan, bersembunyi di belakangku … atau berdiri di sampingku. Mana yang kau pilih?”
Arunika menelan ludah, napasnya berat. Lalu dengan suara bergetar, ia menjawab.
“Aku … aku akan berdiri di sampingmu.”
Rafael tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri. Ia menunduk, membisikkan kata-kata yang membuat Arunika merinding.
“Bagus. Karena malam ini, Arunika … perang baru saja dimulai.” Arunika hanya mengangguk pasrah pada ucapan suaminya.
Malam itu.
Kamar hotel mewah itu hening, hanya suara detik jam dinding yang terdengar. Arunika duduk di tepi ranjang dengan tatapan kosong. Bayangan peluru yang ditembakkan di ballroom tadi terus menghantui kepalanya. Tangannya mengepal erat di atas paha, tubuhnya masih bergetar.
'Paman … kenapa kau berani menyerangku? pikirnya. Lalu ayah … kenapa tidak turun tangan? Bahkan tak pernah mencariku tiga tahun lalu saat aku lari dari rumah. Apakah aku memang hanya bidak dalam permainan mereka?'
Dia menunduk, dada terasa sesak. Yang turun tangan justru Rafael. Pria itu bukan siapa-siapa dalam darahnya, tapi kini ia yang berdiri paling depan melindunginya. Suara pintu kamar mandi terbuka. Rafael keluar dengan jubah mandi hitam, rambutnya masih basah menetes. Bau sabun bercampur aroma tubuhnya memenuhi ruangan. Dengan langkah santai, ia menghampiri ranjang, lalu menatap Arunika yang termenung.
“Apa yang kau pikirkan?” suaranya rendah, namun tajam.
Arunika terperanjat sebentar, tapi segera menguasai diri. Senyum samar tersungging di bibirnya. Ia tak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya ia bangkit perlahan, berjalan menghampiri Rafael, lalu meraih ujung jubahnya.
“Tak ada,” bisiknya lembut. “Hanya … aku sedang berpikir, betapa beruntungnya aku punya pria sepertimu.”
Matanya menatap dalam ke mata Rafael, penuh arti. Tangannya yang halus menyusuri dada bidang pria itu, lalu berhenti di lehernya. Arunika mencondongkan tubuh, seakan menggoda.
Dalam hatinya, Arunika bergolak. 'Jika Ayah bahkan bisa menjualku lewat perjanjian dengan Rafael, kalau pamanku berani menembakku di depan umum … mungkin musuh terbesarku memang keluargaku sendiri. Aku butuh Rafael. Aku harus membuatnya terus berpihak padaku. Aku harus menjadi sosok yang tak bisa dia lepaskan.'
Rafael menatapnya lekat, membaca setiap gerakannya. Senyum miring muncul di wajahnya, tangannya menangkap pinggang Arunika dan menariknya lebih dekat.
“Kau tahu, wanita berbahaya selalu berakhir di sisiku. Jangan sampai kau bermain api, Arunika.”
Arunika tersenyum samar, tanpa gentar. “Mungkin justru itu alasannya … kenapa kau memilihku.”
Udara di antara mereka menegang. Rafael menunduk, bibirnya hampir menyentuh milik Arunika. Tapi sebelum ciuman itu jatuh, ia berhenti, menatap wajah Arunika seakan ingin menelanjangi isi pikirannya.
“Kau menyembunyikan sesuatu dariku.”
Arunika tercekat, tapi cepat menutupinya dengan senyum penuh rahasia. “Mungkin, tapi bukankah itu yang membuatmu tetap ingin tahu lebih banyak tentangku?”
Rafael terkekeh rendah, lalu akhirnya menempelkan bibirnya pada bibir Arunika, panas, dalam, mendominasi. Arunika membalas dengan sengaja, menggoda, menyerahkan dirinya sepenuhnya. Dalam hati, ia tahu, setiap inci keintiman ini adalah senjata.
'Jika aku tak bisa percaya keluargaku … maka aku akan membuat Rafael jadi tamengku. Dan bukan hanya tameng, dia akan jadi pedangku.'
Salam sehat ttp semangat... 💪💪😘😘
Salam kenal Thor.. 🙏🏻
mikir nihh