Setelah menangkap basah suaminya bersama wanita lain, Samantha Asia gelap mata, ia ugal-ugalan meniduri seorang pria yang tidak dikenalnya.
One Night Stand itu akhirnya berbuntut panjang. Di belakang hari, Samantha Asia dibuat pusing karenanya.
Tak disangka, pria asing yang menghabiskan malam panas bersamanya adalah CEO baru di perusahaan tempat dirinya berkerja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24. Takut.
"Mau apa sih pak Kiano ini?" Samantha menghentikan laju mobilnya dengan perasaan kesal. Tepat di depan moncong mobilnya Kiano sudah berdiri menghadang.
Tok! Tok! Tok!
Samantha terpaksa menurunkan kaca mobilnya karena terus di ketuk dari luar.
"Turun," perintah Kiano datar.
"Saya parkir dulu, Pak."
"Security yang parkir. Cepat turun."
"Manusia ini.... selalu saja maksa." gerutu Samantha dalam hati.
Klek.
"Akh, pak Kiano apa-apaan sih! Lepasin! Saya bisa jalan sendiri, jangan seperti ini!" Samantha memukul rusuh dada Kiano yang tiba-tiba membopongnya dengan paksa keluar dari mobil.
"Diam, jangan berisik!" Kiano mempercepat langkahnya meninggalkan mobil Samantha yang terbuka begitu saja.
Security yang mengerti, dengan sigap segera mengambil alih mobil Samantha untuk di parkir pada tempatnya, mengurai kemacetan beberapa mobil yang hendak keluar masuk area kantor.
"Pak, malu dilihat orang," wajah Samantha memelas, berharap Kiano yang tidak waras itu mau menurunkannya.
"Ini resikonya karena kamu sudah gak nurut apa kata saya dan berani-beraninya memutuskan sambungan telepon sepihak disaat saya belum selesai bicara!" ocehnya memberi alasan.
Samantha memejamkan matanya saat menyadari dirinya dan Kiano jadi bahan tontonan saat masuk ke lobi kantor.
"Oh, Tuhan.... Siapapun.... Tolonglah aku...." Samantha membatin frustrasi dalam gendongan Kiano.
Kriyuut...
"Agh!" Kiano mengerang, kaget akan sengatan gigi Samantha pada dadanya.
"Hobi banget ya kamu gigit-menggigit, dulu bibir sama lidah saya, sekarang dada!" nyaring Kiano menuju lift.
"Eheumph!" sontak para karyawan yang mendengarnya terperangah sembari membekap mulut mereka masing-masing.
"Oh, No!" Samantha ikut membekap mulut Kiano yang ia kenal memang tidak ada filternya itu.
Ting!
Lift terbuka.
"Astaga Kiano, apa yang kamu lakukan? Ini Kantor! Turunin bu Samantha!" perintah Andreas sambil keluar dari lift bersama Alina yang turut kaget melihat ulah Kiano.
"Tidak!" tolak Kiano sambil masuk ke dalam lift menggantikan ayahnya dan Alina. Kakinya naik, ujung sepatunya menyentuh tombol untuk menekan angka menuju lantai sebelas.
"Anak itu...." Andreas mendadak terserang sakit kepala.
"Alina, urus sepupumu itu sekarang juga! Kalau sampai ke tangan Paman, anak itu bisa Paman lempar lewat jendela! Bikin malu saja!"
"I-iya, Paman...." Alina bergegas meninggalkan Andreas, masuk ke lift lainnya.
"Turunin! Dasar manusia aneh! Turunin!" pekik Samantha dengan tubuh terjepit oleh dua lengan kekar Kiano.
Kiano tidak menggubris teriakan Samantha, langkahnya cepat memasuki ruang kerjanya dan pintu itu terkunci secara otomatis dibelakangnya.
Wajah Samantha merah padam, lagi-lagi dirinya di turunkan pada kasur Kiano.
"Di sini saja, kamu istirahat dulu, jangan aneh-aneh. Saya mau ke kamar mandi membersihkan diri. Saya jijik sama keringat saya sendiri." ujarnya sambil berlalu masuk ke kamar mandi.
Samantha yang masih kesal luar biasa perlahan merangkak turun dari ranjang sepeninggal Kiano.
"Rasakan ini!" Dengan tenaga penuh, tangan Samantha menekan saklar lampu kamar mandi.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaa!!!" terdengar pekikan heboh dari dalam kamar mandi.
Samantha terlonjak kaget. Bukan hanya suara teriakan histeris Kiano, tapi suara-suara rusuh jatuhan benda-benda yang menghantam lantai membuat Samantha panik bercampur cemas dibuatnya.
Ia gegas menekan saklar untuk menyalakan lampu kembali, barulah Kiano tidak berteriak lagi di dalam sana.
Masih dengan rasa cemas yang merajai hatinya, Samantha mendorong pintu kamar mandi.
"Agh! Astaga, pak Kiano bikin kaget saja!" pekik Samantha kaget, sambil memalingkan wajahnya begitu melihat Kiano dengan tubuh polosnya sudah berdiri di depan pintu dengan pandangan kosong seperti robot.
Tanpa bicara, Kiano berjalan keluar dari kamar mandi. Samantha keheranan, memperhatikan Kiano naik ke tempat tidur, kepalanya masih penuh busa, begitu pula tubuhnya.
Wajah Samantha cepat berbalik ke kamar mandi, ia begitu syok melihat penampakan kamar mandi serupa kapal pecah yang habis dihantam badai.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu kembali membuat Samantha kaget, ia gegas menuju sumber suara untuk membuka pintu.
Klek.
"Bu Samantha baik-baik saja?" Alina dengan raut cemasnya muncul di depan pintu, memindai penuh sosok Samantha di depannya yang tidak kalah cemas dengan dirinya.
"Iya, saya baik-baik saja, Bu Alina.... Tapi, pak Kiano...." Samantha bingung menjelaskannya.
"Pak Kiano? Kenapa?" Alina menatap penuh tanya.
"Ayo masuk, lihat sendiri..." Samantha buru-buru menarik pergelangan tangan Alina.
"Lihat itu...." Samantha menunjuk kamar mandi yang berantakan dan porak-poranda.
Gelas kaca yang pernah Samantha gunakan menampung air untuk menggosok gigi pecah berserakan disela-sela pot-pot keramik bunga yang ikut pecah di lantai basah, belum lagi cairan shampoo dan sabun tercecer dimana-mana, juga shower tergeletak dilantai dengan airnya yang masih mengalir tergulung bersama handuk juga pakaian kerja Kiano yang terseret hingga di lantai depan pintu kamar mandi.
"Apa yang terjadi, kenapa sampai jadi begini?" kaget Alina, sorot matanya berbicara minta penjelasan.
"Tadinya.... Karena kesal, saya mematikan saklar lampu saat pak Kiano ada di dalam kamar mandi," jawab Samantha, sembari menunjuk saklar, juga Kiano yang berbaring tak bergerak di atas ranjang.
"Oh, pantasan...." Alina bergumam pelan, langsung mengerti mendengar pengakuan singkat Samantha. "Pak Kiano, sejak kecil takut gelap," lanjutnya.
"Takut gelap?" Samantha memicing, mengikuti pergerakan Alina yang naik ke tempat tidur, mendekati Kiano yang meringkuk bersembunyi dibalik selimut.
Mendadak ia merasa lucu sendiri. Pria besar bertubuh atletis, hobi maksa dan suka semena-mena pada dirinya, takut sama kegelapan? Sulit dipercaya, batinnya mengejek.
"Jangan dibuka!" spontan Samantha berteriak, saat tangan Alina ingin menyingkap selimut.
"Kenapa?" Alina yang kaget menghentikan pergerakannya, menoleh pada Samantha.
"Aaaa--, itu... Pak Kiano... belum pake baju," Samantha salah tingkah sendiri mengatakannya.
Alina mengulum senyum. "Jadi, bu Samantha udah lihat semuanya ya," goda Alina dengan senyum tersungging, kembali melanjutkan niat awalnya, menyingkap selimut bagian kepala Kiano.
"Saya hanya ingin memeriksa suhu tubuh pak Kiano saja kok," ungkapnya.
"Tuh, bener 'kan, Pak Kianonya deman," Alina merasakan suhu panas tinggi pada punggung tangannya yang menempel di dahi lalu berpindah pada beberapa bagian tubuh Kiano.
"Langsung deman?" heran Samantha. Ia turut mendekat, tanpa segan menelusupkan tangannya masuk ke selimut, menyentuh telapak kaki Kiano.
"Iya bener, pak Kiano deman," Samantha bergumam sendiri, memandangi tubuh Kiano yang sedikit gemetar terlihat dari permukaan selimut yang menutupi tubuh laki-laki itu.
Sementara itu, Alina dengan sigap langsung menelpon dokter keluarga.
"Dulu, pak Kiano pernah mengalami pengalaman buruk saat berusia sembilan tahun," Alina merangkak turun, mendekati Samantha yang berdiri di sisi tempat tidur.
"Oleh dokter, Kiano dinyatakan tidak tertolong karena penyakit malaria yang menyerangnya hanya dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam." Alina mendesah pelan.
Dirinya yang seusia dengan Kiano tidak pernah lupa kejadian naas itu, saat semua keluarga sudah menangis histeris kehilangan sepupunya itu.
"Saat berdoa untuk memberangkatkan jenazah ke pemakaman, Kiano yang ada dalam peti jenazah berteriak-teriak disertai tangis kencangnya. Butuh waktu yang cukup lama untuk membuka peti yang sudah terpaku, ditambah Kiano yang tidak bisa diam di dalam sana. Juga seluruh keluarga ikut menangis karena kasihan akan nasib Kiano."
Samantha ikut merasa sesak, membayangkan bagaimana Kiano kecil ada dalam peti mati yang gelap, kedap suara, dan tanpa udara.
"Begitu berhasil dibuka, semua memeluk Kiano yang berwajah pucat, pandangannya kosong seperti robot hidup. Keajaiban itu membuat semua orang menangis disertai rasa syukur, Kiano tidak jadi dikebumikan."
Samantha menelan salivanya, hal yang sama ia lihat, saat Kiano keluar dari kamar mandi tadi. Perasaan bersalah menghinggapinya, karena tanpa sengaja mengingatkan pria itu pada trauma masa kecilnya.
Bersambung✍️