Kisah romantis seorang aktor yang arogan bersama sang asisten tomboynya.
Seringkali habiskan waktu bersama membuat keduanya saling menyembuhkan luka masa lalu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuKa Fortuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9. Rencana Liburan
"Ada apa, Mas?" Tanya Allen perhatian, ia melangkah masuk sambil membawa segelas kopi moka dan handuk kecil. , ini kopinya,” ucapnya lembut.
Aldrich hanya mengangguk tanpa menatap pun tanpa menjawab pertanyaan Allen, tatapannya masih kosong mengarah pada potongan buah di tangannya lalu mengembalikannya ke wadah.
Allen memberanikan diri lagi untuk bertanya meski tadi tidak direspon. “Tadi aku lihat Mbak Meilin keluar dari ruangan ini. Kayaknya dia… gak terlihat baik-baik aja.”
Aldrich tersenyum tipis. “Kamu memperhatikan banyak hal rupanya.”
Allen menelan ludah, tak tahu harus menanggapi seperti apa. “Aku cuma… khawatir. Aku takut ada kesalahpahaman yang membuat suasana syuting jadi canggung.”
Aldrich tersenyum samar. “Kesalahpahaman memang mudah muncul di tempat seperti ini. Tapi, gak semua perlu dijelaskan.”
Ia menatap kembali ke naskah yang tergeletak di atas meja, memberi sinyal seolah topik itu sudah cukup. Tapi Allen masih berdiri di tempat, tak puas dengan jawaban singkat itu.
“Kalo boleh tahu…” Allen kembali bicara dengan hati-hati. “Apa Mas marah sama Mbak Meilin?”
Aldrich meletakkan naskah di meja, kini benar-benar menatap Allen. Tatapan itu tajam tapi tidak dingin, lebih seperti seseorang yang sedang menimbang sesuatu.
“Kenapa kamu pingin tahu banget?” tanyanya datar.
Allen terdiam, jantungnya berdetak cepat. “Gak, bukan gitu. Aku cuma pingin mastiin suasana kerja Mas tetap nyaman. Itu aja.”
Beberapa detik hening. Aldrich menghela napas pelan.
“Allen,” panggilnya, nada suaranya lebih lembut kali ini. “Aku lebih tertarik tahu sesuatu yang lain.”
Allen mengerutkan dahi. “Sesuatu yang lain, Maksud Mas?”
“Ya,” Aldrich mencondongkan tubuh sedikit ke depan, siku bertumpu di lutut. “Kamu tampak berbeda dari kebanyakan asisten yang pernah bekerja denganku.”
Allen menegang. “Berbeda gimana, Mas?”
“Kamu… gak seperti pria kebanyakan,” ucap Aldrich pelan tapi dalam. “Gerak-gerikmu halus, pilihan kata-katamu lembut. Dan kamu sepertinya belum begitu terbiasa dengan urusan fisik seperti pijatan atau tugas-tugas kasar.”
Allen merasa darahnya berhenti mengalir sejenak. Wajahnya memanas, tangan yang memegang handuk ikut bergetar ringan.
“Oh… m-maaf, mungkin karena aku baru di sini. Tapi aku bisa belajar dengan cepat kok, Mas.”
Aldrich mengangkat alisnya sedikit. “Begitu ya?”
Nada suaranya tidak menuduh, tapi cukup untuk membuat Allen semakin gugup.
“Tentu, Mas,” lanjut Allen terbata. “Sebelumnya aku pernah bekerja di kantor, jadi mungkin gestur ku… agak kaku.”
“Kantor apa?” sela Aldrich cepat, matanya masih mengunci pandangan pada Allen.
Allen berusaha tersenyum, tapi suaranya nyaris pecah. “Hmm… perusahaannya kecil, bidang administrasi dan, eh, dokumen gitu.”
Aldrich bersandar lagi, matanya tak lepas dari Allen. “Kamu lulusan apa, Allen?”
Pertanyaan itu membuat napas Allen tercekat. Ia berusaha menahan diri agar tidak salah sebut jurusan yang dulu jelas-jelas tidak cocok dengan identitas barunya sekarang.
“Aku… dulu kuliah di… komunikasi,” jawabnya pelan. “Tapi gak sempat lulus, Mas.”
Aldrich hanya mengangguk pelan, ekspresinya sulit ditebak. “Komunikasi ya… menarik. Pantas kamu cepat memahami situasi.”
Allen berusaha tersenyum, meski keringat dingin mulai muncul di pelipisnya. “Makasih, Mas.”
Tiba-tiba Aldrich mencondongkan tubuh sedikit lagi, suaranya lebih rendah.
“Satu hal lagi, Allen…”
Allen langsung tegak. “Ya, Mas?”
“Kalo ada yang bertanya soal kehidupan pribadiku atau gosip yang beredar… jangan pernah berkomentar, meskipun hanya setengah kata.”
Allen mengangguk cepat. “Aku ngerti, Mas.”
“Bagus.” Aldrich mengambil kopi yang tadi dibawakan. “Dan tentang Meilin… jangan khawatir. Kadang orang hanya perlu waktu untuk menerima kenyataan.”
Nada kalimat terakhir itu begitu dalam, sampai Allen sempat melihat sekilas kesedihan yang nyaris tak tertutupi di balik wajah kharismatik itu.
Allen hanya menunduk. “Baik, Mas. Aku akan ingat itu.”
Aldrich mengangguk kecil, lalu menyesap kopinya tanpa menoleh lagi.
Sementara Allen berjalan keluar ruangan, jantungnya masih berdegup kencang. Ia tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat penyamarannya runtuh.
Di balik pintu yang tertutup, Aldrich masih memandangi cangkir di tangannya. Entah kenapa, setiap kali melihat Allen gugup begitu… ia justru merasa ada sesuatu yang aneh tapi familiar.
Sesuatu yang membuatnya, tanpa sadar, semakin ingin tahu siapa Allen sebenarnya.
Sore mulai turun, sinar matahari yang tersisa menembus tirai ruang istirahat aktor, menimpa wajah Aldrich yang tengah bersandar di sofa. Suara gemerisik kru di luar terdengar samar.
***
Sore itu udara di ruang produksi terasa lebih santai dari biasanya. Kru-kru tampak mulai membereskan peralatan syuting, sementara Aldrich duduk santai di kursinya, menyesap air mineral dingin. Allen berdiri di samping, mencatat sesuatu di tablet kecil, jadwal, panggilan kru, dan catatan properti yang harus dibawa pulang.
Pintu diketuk. Tak lama kemudian Manajer Liang masuk dengan ekspresi puas. “Akhirnya selesai juga adegan terakhir hari ini,” ujarnya sambil menepuk-nepuk tangan. “Kamu kerja bagus, Mas.”
Aldrich hanya mengangguk. “Kamu datang dengan wajah penuh rencana. Ada apa?”
Liang duduk tanpa diminta, meletakkan tasnya di meja. “Karena jadwal syuting ditunda dua hari untuk persiapan lokasi berikutnya, aku pikir… kita manfaatkan waktu libur ini buat bersantai sedikit.”
Aldrich menatapnya setengah malas. “Istirahat di rumah aja udah cukup bagiku.”
“Gak, gak, gak,” potong Liang cepat. “Kamu udah bertahun-tahun gak ambil cuti yang benar-benar cuti. Aku udah pesan tempat di pantai sebelah timur. Airnya jernih, sepi, dan ada spot snorkeling yang luar biasa.”
Allen yang mendengarkan dari sudut ruangan hampir menjatuhkan pena digitalnya. “P-pantai?” suaranya keluar pelan, nyaris tak terdengar.
Liang menoleh. “Ya, pantai. Kamu ikut juga, tentu aja.”
Allen membeku. “Eh, aku, Ko?!”
“Ya pasti dong!” Liang tertawa kecil. “Kamu asisten pribadi Mas Aldrich sekarang. Kalo bosmu liburan, kamu ikut. Siapa yang akan urus barang-barangnya? Atau tolong ambil foto? Kamu harus ada di sana.”
Allen tersenyum canggung, tapi dalam dadanya ada badai yang bergolak.
Pantai? Air? Baju renang? Ya Tuhan… bagaimana aku akan menyembunyikan semuanya nanti?
Aldrich memandang sekilas ke arah Allen. “Kalo dia keberatan, biarin aja di sini. Aku bisa urus diriku sendiri.”
“Emh, gak gitu juga sih, Mas,” sahut Allen buru-buru, nyaris refleks. "Aku cuma… kaget aja.”
Liang mengerling geli. “Kaget karena bisa liburan gratis ya?”
Allen memaksa tawa kecil. “He-he, iya, mungkin begitu.”
Liang berdiri sambil merentangkan tangannya. “Nah, udah diputuskan. Kita berangkat besok pagi. Aku udah urus semuanya. Mobil siap jam enam.”
Allen menatap Aldrich, seolah berharap ada penolakan dari aktor itu. Tapi Aldrich hanya mengangguk tipis. “Baiklah. Kita bertiga berangkat besok.”
Liang menepuk bahunya puas. “Akhirnya! Ini akan jadi penyegaran yang bagus buatmu. Dan jangan lupa, aku mau lihat kamu naik papan lagi. Terakhir kali kita surfing bareng itu dua tahun lalu, ingat?”
Aldrich tersenyum samar. “Kamu masih kuat melawan ombak?”
“Tentu aja kuat!” Liang terkekeh. “Kamu lihat aja nanti.”
Allen berdiri diam di antara mereka, seperti bayangan yang tak tahu harus kemana. Matanya berpindah-pindah dari Aldrich ke Liang, sementara pikirannya mulai kalut.
Bagaimana aku harus berpakaian di pantai nanti? Kaos ketat? Celana pendek? Tidak mungkin. Aku bisa ketahuan.
Aldrich menoleh padanya. “Kamu gak suka laut, Allen?”
Allen terperangah. “A-apa? Oh, suka, Mas. Sangat suka. Cuma… aku belum pernah snorkeling sebelumnya.”
“Kalo gitu, ini kesempatanmu belajar,” ujar Aldrich datar. “Liang jago soal itu.”
“Benar,” tambah Liang. “Aku bahkan punya perlengkapan ekstra. Nanti kupinjamkan. Tenang aja, semuanya lengkap, dari baju selam, pelampung, sampai fin.”
Allen tertawa kaku. “Ah… makasih, Ko. Tapi aku mungkin cuma akan bantu-bantu di pinggir pantai aja. Biar kalian yang menikmati.”
Liang menyipitkan mata curiga. “Kamu gak bisa berenang?”
Allen panik. “Bisa! Bisa, kok!”
“Lalu kenapa gak mau snorkeling?”
“Eh… karena aku gampang pusing kalo di bawah air.”
Aldrich yang dari tadi memperhatikan akhirnya berbicara. “Kalo gitu biarkan dia di darat. Gak semua orang nyaman di laut.”
Liang mengangkat bahu. “Terserah. Tapi setidaknya kamu harus ikut makan malam di sana. Pantai itu punya restoran tepi laut yang luar biasa.”
Allen hanya mengangguk, berusaha tampak antusias meski hatinya berdebar hebat.
Setelah Liang pergi untuk menyiapkan keberangkatan, Allen masih berdiri di tempat. Aldrich menatapnya sekilas. “Kamu gak suka bepergian jauh, ya?”
Allen cepat menggeleng. “Bukan gitu, Mas. Cuma… aku belum terbiasa bepergian dengan orang terkenal seperti Mas. Takutnya aku bikin malu atau bahkan merepotkan.”
Aldrich menatapnya lebih lama dari biasanya. “Selama kamu tahu bagaimana bersikap, aku gak keberatan siapa pun di sekitarku.”
Allen menunduk sopan. “Makasih, Mas.”
Aldrich kemudian menambahkan, dengan nada sedikit lebih lembut, “Kamu boleh santai di sana. Aku gak suka orang yang terlalu tegang saat liburan. Tapi jangan lupa, tetap waspada dengan wartawan. Mereka suka muncul dari mana aja.”
Allen tersenyum kaku. “Baik, Mas.”
Saat Aldrich keluar ruangan, Allen menjatuhkan diri ke kursi dan menatap langit-langit.
“Ya Tuhan…” gumamnya pelan, menutup wajah dengan kedua tangan.
Dua hari di pantai? Bagaimana aku harus berpakaian? Bagaimana kalau aku harus ganti di tempat umum?
Ia memejamkan mata keras-keras, berharap bisa menemukan alasan logis untuk membatalkan perjalanan itu. Tapi sayangnya, semua alasan yang muncul justru terdengar konyol.
“Allen…” suara lembut itu kembali terdengar di belakangnya. Aldrich berdiri di ambang pintu, memandangnya dengan senyum samar.
“Jangan terlalu dipikirin. Ini cuma dua hari.”
Allen menatapnya, menelan ludah. “I-ya, Mas.”
Aldrich berbalik, meninggalkannya dengan langkah tenang. Tapi hati Allen sama sekali tak tenang.
Dua hari di pantai bersama dua pria… dan rahasia besar yang belum siap terbongkar.
.
YuKa/ 091025
aku traveling sama petrick deh ih ..masak cuma di gosok doang dah nyembur 🤣
Entah itu yang disebut cinta atau hanya simpati karena mereka menganggap mu seperti saudaranya sendiri..
Gitu loh Mas Aldrich.. 🤣🤣
makin penasaran aku jadinya
apakah Aldrich sdh tahu kebenarannya?
tapi dia pura-pura saja
berlagak tidak mengetahuinya
geregetan banget aku dibuatnya
semoga segera tiba waktunya
Aldrich membongkar penyamaran Allea
pasti kutunggu momennya
love love kak Yuka ❤❤❤
Terima kasih up nya🥰🥰🥰
tenang Len, awalnya hanya mimpi, tapi pelan tapi pasti akan jadi kenyataan
Untung aja Koko baik hati, setidaknya beban Allen sedikit ringan. Kalopun Aldrich tau semoga reaksinya kaya Koko.
Mulai seru nih.. lanjut Mak 💪😍