Daisy
...😀 Terima kasih karena telah menemukan cerita ini....
...Aku harap kalian betah di sini, dan membaca cerita ini sampai akhir....
...Happy reading 💕...
...\=\=\=🎀🎀\=\=🎀🎀\=\=\=...
2018.
Lagi, dan seperti biasanya.
'Mantan napi' yang melabeli dirinya seakan tak pernah hilang meskipun ia sudah bersikap layaknya manusia.
Dua tahun sudah ia menghirup udara bebas dan di dua tahun ini pula ia begitu kesulitan mencari pekerjaan. Sebenarnya ia bisa dengan mudah mendapatkan pekerjaan, karena selama berada di balik sel, ia dibekali dengan kemampuan membuat kue dan keterampilan lainnya―yang kata mereka itu bisa digunakan untuk bertahan hidup di luar sana. Namun, katanya tidak semudah kenyataan.
Hampir semua jenis pekerjaan kelas bawah sudah dicoba. Dari mencuci piring di warung makan, menjaga warung sembako, kuli panggul di pelabuhan, jasa antar-jemput barang, hingga antar-jemput anak sekolah. Namun, sekali lagi pada kenyataannya, saat mereka tahu ia seorang mantan napi, maka di saat itu juga pekerjaannya berakhir.
Singgih duduk di bangku pinggiran jalan sambil makan gorengan. Entah berapa banyak tempe mendoan yang sudah dijejalkan hingga mulutnya kini mengilap berminyak. Matanya hilir-mudik mengawasi―mungkin terlihat seperti sedang menghitungi―jumlah kendaraan yang berlaluan di hadapannya. Dirinya seakan kehilangan arah.
"Kalau aku tetap di sini," Singgih mengambil sisa mendoan terakhir dalam plastik, "aku nggak akan dapat kerjaan." Ia kembali menjejali mulutnya dengan mendoan. "Aku harus keluar dari sini!" ujarnya bertekad.
Singgih beranjak dari duduk dengan meninggalkan bungkusan plastik bekas gorengan. Baru beberapa langkah ia memutar langkahnya kembali untuk memungut sampah yang ditinggalkannya tadi, lalu melemparkannya ke tong sampah.
Laki-laki itu sungguh tak punya tujuan. Namun, langkahnya selalu membawanya ke rumah kosong―tak berpenghuni selama tujuh tahun itu. Rumah itu terlihat seperti rumah yang muncul dalam program uji nyali di teve.
"Harusnya aku mendengarkanmu," lenguh Singgih kecewa pada dirinya sendiri. "Maaf, Noe..."
Entah berapa banyak kalimat maaf terucapkan, tetapi tak pernah kunjung dapat balasan.
Singgih menatap pintu rumah itu seraya berharap―meski kecil―pada sosok yang dinantinya muncul dari balik pintu dan tersenyum padanya.
"Sudah jam berapa, nih?" omel Singgih sambil mengetuk-etukkan jari telunjuk di jam tangannya.
"Buruan!"
"Iya. Iya." Noela mengikat rambut. Sejurus kemudian ia sudah berlari meninggalkan Singgih.
"Woi, Noe tunggu!" Singgih mengejar di belakang.
"Buruan! Hampir telat nih! Pokoknya kalau sampai aku dihukum Pak Gi―" bibir Noela merekah, "―gara-gara kamu."
Singgih berhasil mengejar Noela dan sudah mendahului beberapa langkah di depan gadis itu. Tertawa kemenangan di tengah keringat yang mulai membasahi seragam putih abu-abu.
Secuil kenangan yang selalu membayang dalam ingatannya. Yang terus berharap kenangan itu akan menjelma hadir dalam kehidupannya lagi. Ia merindukan Noela... sahabat kecilnya.
"Masih belum ada kabar?" tegur seorang bapak yang berhasil menarik lamunan Singgih dari masa lalu.
Singgih memutar tubuh ke belakang. Tersenyum pada bapak tua―tetangga depan rumah Noela. Sebenarnya ia tak mengenal bapak itu, hanya saja bapak itu selalu mengajaknya bicara tiap kali bertemu dengannya.
"Nggak sekalian ikut acara nyari orang hilang yang di teve-teve itu?" Emil menghampiri Singgih. "Siapa tahu kru-krunya bisa bantu nyariin."
Singgih tersenyum pendek. Ide bagus―bagi orang lain, tetapi tidak untuknya. Ikut acara realitas seperti itu sama saja dengan mengumumkan ke seluruh penjuru Nusantara bahwa ia seorang mantan napi.
"Sudah makan?" Emil mendengar bunyi kentungan, yang beberapa saat kemudian muncul gerobak bakso. "Bang," panggilnya pada abang penjual bakso. "Dua," mintanya.
Emil mengambil duduk di buk bersemen depan pagar rumahnya. Singgih pun menjejeri duduk di sebelah Emil.
"Pacarmu masih belum ada kabar?" tunjuk Emil ke rumah Noela. Diam-diam menaruh rasa ingin tahu.
"Bukan pacar. Hanya teman." Singgih menunduk kecil, menatapi sepasang sepatu kets putihnya yang kusam.
"Teman kok nyarinya sampai segitunya." Emil tak percaya. "Kamu ada salah sama dia. Nyesel, terus mau minta maaf. Tapi orangnya sudah pindah."
"Seperti itulah... kira-kira."
Emil mengangguk paham. "Kerja di mana kamu?"
"Pengangguran."
Si abang bakso mengulurkan dua mangkuk bakso. Emil dan Singgih mengambil masing-masing mangkuk di tangan.
"Sebelumnya kerja di mana?" rasa penasaran Emil sepertinya belum tuntas.
"Antar-jemput anak sekolah."
"Terus kenapa berhenti?"
"Dipecat."
"Dipecat?" beo Emil dengan mulut penuh kunyahan bakso. "Udah nyari kerja di mana lagi?"
"Nyari pun percuma." Terselip lenguh kecewa Singgih yang tak kentara. "Palingan dipecat lagi."
Emil melirik ke Singgih yang tengah menggigit pangsit goreng. "Aku ada toko kain. Kalau kamu mau, kamu bisa kerja di tempatku," tawarnya.
Ujung bibir Singgih mengembang senyum tipis. "Makasih, Pak," tolaknya langsung. "Kalau Pak Emil tahu kenyataannya, aku juga pasti akan dipecat."
"Hmm~mm." Emil menggumam yang hanya bisa dimengerti olehnya sendiri. "Kalau kinerjamu bagus mana mungkin aku memecatmu. Melihatmu dua tahun menunggu di depan rumah―" dagunya menunjuk ke rumah depannya, "aku bisa tahu kalau kamu orang yang pantang menyerah."
Haru mulai menyelimuti perasaan Singgih ketika ada seseorang yang melihatnya bukan karena ia yang―yaa, kalian tahu sendiri―bagaimana kehidupannya selama dua tahun ini. Singgih senang karena ia diperlakukan sama.
Namun, orang yang memperlakukannya sama ini adalah orang yang belum mengetahui siapa ia. Kalaupun tahu masa lalunya, pastilah, bapak ini pun akan memperlakukannya sama seperti yang lainnya.
"Dia harapanku... yang membuatku bertahan hidup hingga sekarang."
"Aku rasa dia bukan sekadar teman."
Singgih hanya mengulas senyum.
"Hm, pacarmu, kan?" tebak Emil dengan simpulan senyum jail.
"Dia orang pertama yang ingin kutemui saat aku bebas."
"Bebas dari mana?"
"Penjara."
Kunyahan pangsit dalam mulut Emil terhenti. Begitu pula dengan abang bakso yang langsung menoleh cepat ke arah Singgih.
"Penjara?" Emil memastikan tak yakin.
"Dua tahun lalu aku baru dibebaskan."
"Kasus apa? Penipuan?"
"Pembunuhan," aku Singgih. Tanpa berupaya menutupi keadaannya.
Pangsit yang belum terkunyah halus langsung ditelan mentah oleh Emil. Begitu pula dengan wajah abang bakso yang memias dan sudah berdiri di balik gerobak.
Singgih menoleh ke Emil di sebelahnya. Seketika ia melihat wajah bapak paruh baya itu menganga syok. "Makasih tawaran kerjanya, Pak."
Ia beranjak, meletakkan mangkuk di meja gerobak, lalu mengulurkan uang untuk membayar dua mangkuk.
"Berapa, Bang?"
"...pas i-ini." Cepat-cepat si abang menyahut. Ia mengambil uang yang terulur.
Singgih hanya menatap si abang bakso, tapi orang yang ditatapnya bergeming takut. Oh, ia sudah lebih dari biasa menghadapi situasi seperti ini. Seakan ia monster yang keberadaannya harus dienyahkan.
"Pak Emil―" suara panggilan Singgih tertahan saat melihat bapak yang tadinya mau traktir makan malah terdiam memaku.
Singgih melangkah pergi dengan kepala tertunduk. Setiap yang berpapasan dengannya, ia selalu merasa orang-orang sedang menghakiminya. Mengatainya bahwa ia adalah manusia paling buruk yang ada di muka bumi.
*
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments
elica
hai kak aku mampirrr🤩✨
2025-07-02
0