“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 35
Uang, rempah-rempah mahal, serta perhiasan—habis tak bersisa. Semua barang berharga yang mereka bawa dari kota, terpaksa diserahkan kepada para perampok demi menyelamatkan nyawa Sekar Arum. Bahkan cincin emas murah milik Nyai Lastri, yang sedari tadi dibelainya seperti harta karun, ditarik kasar dari jarinya oleh tangan kotor si penyamun.
“Jangan! Itu cincin baru! Pemberian dari—”
PLAK!
Sebuah tamparan membuat Nyai Lastri tersungkur ke lumpur, ia terdiam dengan pipi memanas.
Perlahan, Nyai Lastri menoleh ke arah sang suami. Tatapan matanya penuh harap, mencari perlindungan pada Juragan Karta. Ia merangkak, tubuhnya gemetar, lalu mendekat dengan suara lirih memelas.
“Kang Mas ... sakit ...,” bisiknya.
Ia menarik-narik ujung baju suaminya, seperti anak kecil yang mencari kasih.
Namun Juragan Karta hanya berdiri diam, wajahnya lelah dan muram, tak ada reaksi sedikitpun.
Nyai Lastri tak menyerah.
“Kang Mas!” pekiknya lebih keras, mengguncang lengan suaminya.
Namun, alih-alih empati, yang ia dapat justru ...
“DIAM, LASTRI!” bentak Juragan. “Jangan merengek seperti anak kecil! Jangan bikin kepala ku semakin pusing!”
Nyai Lastri terkesiap di tempatnya. Kedua matanya membelalak, bibirnya bergetar tak percaya.
“K-Kang Mas ... tak kah kau lihat? Aku baru saja ditampar! Di depan semua orang! Tak kah kau peduli lagi padaku?!” serunya lirih dan sedih.
Juragan Karta mendengus kasar. Ia memijit pelipisnya, seakan semua beban dan kegaduhan hari itu menumpuk di ubun-ubunnya.
“Lastri,” ucapnya dengan nada getir, “bukan cuma kau yang sedang menderita di sini. Tak kah kau lihat Dik Arum? Lehernya berdarah! Nyaris direnggut nyawa, tapi dia diam, tak sekalipun merengek. Sementara kau ... hanya tau mengeluh dan menyalahkan.”
Nyai Lastri terdiam, hatinya hancur—harga dirinya seolah diinjak tanpa ampun.
‘Seandainya saja aku yang disandera tadi ... Akankah Kang Mas Karta berlutut seperti tadi? Akankah dia histeris menyebut namaku?’ Nyai Lastri bermonolog di dalam hati.
Matanya berkaca—ia menatap Arum, yang kini tengah dipapah pelan oleh Junaidi dan Mbah Darsih. Leher gadis itu masih berlumur darah, tapi wajahnya tetap tenang—dan di mata Juragan, ia seperti dewi tak tergantikan.
‘Syukurlah. Tadinya, aku merasa bersalah karena harus merampok harta suami ku sendiri. Namun, melihat sikapmu padaku, hilang sudah rasa bersalah ini, Kang Mas.’
Ya, perampokan yang terjadi senja ini—merupakan ide dari Nyai Lastri. Ia memberi perintah pada Madun untuk mengatur skenario seolah-olah itu serangan perampok jalanan. Tujuannya satu : merampas segala pemberian Juragan Karta kepada Arum—dan kalau bisa, sekaligus merenggut nyawanya. Perempuan muda itu harus disingkirkan, sebelum benar-benar merebut segalanya.
Namun, yang terjadi di luar dugaan.
Perampok-perampok suruhannya hanya berani menggertak, menyisakan sedikit luka gores di leher Arum—dan kabur seperti anak anjing yang ketakutan setelah ketahuan mencuri.
‘Apa mereka takut? Dasar pengecut! Atau ... Madun tidak menjalankan rencana seperti yang ku suruh? Dia salah memberi titah pada cecunguk-cecunguk itu? Atau ... ada kekuatan lain yang melindungi perempuan itu? Larasmi melindunginya?!’
Matanya menyipit menatap Arum yang masih dipapah perlahan. Biarpun berdarah, gadis itu tampak tetap anggun. Bahkan mungkin lebih memikat di mata Juragan setelah kejadian tadi.
“Kenapa ... selalu gagal? Padahal semuanya sudah kuatur,” gumamnya nyaris tak terdengar.
Nyai Lastri menyeringai tipis di tengah rasa perih dan marah yang membakar dadanya.
‘Tapi tak apa ... setidaknya, gundik itu kehilangan hadiahnya! Anak orang melarat seperti kau ... bermimpi memakai perhiasan yang tak layak kau sentuh itu? Dasar gundik tak tau diri!’
...****************...
Malam turun perlahan di paviliun.
Rintik hujan sore telah reda, menyisakan aroma tanah basah dan udara yang lebih dingin dari biasanya. Lentera gantung di langit-langit bergoyang pelan diterpa angin, memantulkan cahaya kuning temaram ke dinding kayu.
Di dalam kamar kecil itu, Arum duduk bersandar di dipan rotan. Lehernya masih dibebat kain tipis yang dibasahi ramuan Mbah Darsih, membuat kulitnya terasa dingin dan perih di waktu bersamaan. Napasnya tenang, tapi matanya tampak lelah.
Tak lama kemudian, pintu paviliun diketuk pelan.
Tok...
Tok...
Tok...
“Sekar Arum ...,” suara lembut terdengar dari balik pintu. “Boleh kami masuk?”
Pintu bergeser pelan, dan satu per satu gundik Juragan Karta yang berdiri di balik pintu akhirnya masuk. Lima perempuan dengan wajah bersahaja, usia mereka terpaut sepuluh tahun di atas Arum. Wajah-wajah yang tak pernah berseteru dengannya.
Ada Lia, si pendiam yang gemar merangkai bunga. Nur, perempuan lembut dengan suara menenangkan. Dillah, gundik cerdas yang sering membantu urusan dapur dan pembukuan pasar. Ruby, si ceria dan penuh canda, walau hidupnya getir. Dan Hasmi, paling tua di antara mereka, seperti kakak sekaligus ibu di lingkungan para perempuan dalam rumah besar itu.
Lia melangkah pelan mendekati tempat tidur, lalu duduk di sisi dipan, wajahnya tampak khawatir.
“Astagfirullah, Arum ... Kau nggak apa-apa? Kami baru dengar dari Mbah Darsih, katanya senja tadi kalian diserang di jalan.”
Nur menimpali dengan suara lembut, sambil menggenggam tangan Arum. “Beliau mengizinkan kami menjenguk mu. Meski kita jarang berbincang, tapi kita istilahnya tinggal di satu atap, satu nasib di rumah besar ini. Kau tidak keberatan kan kami datang beramai-ramai seperti ini?”
“Tentu aku tak keberatan, Kak Nur. Justru aku bersyukur, rasanya ... aku seperti punya keluarga lagi.” Arum tersenyum tipis, matanya sedikit berembun.
Ruby menyelipkan bunga melati kecil ke sisi bantal Arum.
“Kalau tau kau bakal dijambret begini, mending kalungnya dikasih ke aku aja dari awal, ya, Rum,” candanya, setengah bercanda, setengah prihatin.
Ruangan itu di penuhi dengan tawa pelan.
Dillah, si cerewet cerdas yang biasanya suka menyulam, mencubit pelan lengan Arum. “Kau masih bisa dikatakan beruntung, Rum. Hanya tergores sedikit, ya ... meskipun rasanya juga sakit. Tapi, selamat dari para penyamun itu—memang bisa disebut keberuntungan. Mereka terkenal ganas.”
Hasmi, yang sedari tadi diam, akhirnya ikut bersuara. Tatapannya dalam menelisik wajah Arum.
“Benar kata Dillah, Rum. Selama ini ... hampir tak ada yang benar-benar selamat kalau sudah berurusan dengan penyamun-penyamun itu. Apa yang kau alami bukan hal sepele,” tuturnya lembut.
Arum tersenyum tipis, sorot matanya teduh meski lelah masih membekas.
“Mungkin Tuhan masih melindungi ku, Kak Hasmi. Memberiku satu kesempatan lagi ... entah untuk berbuat baik, atau mungkin—untuk menuntaskan sesuatu yang belum selesai.”
Mereka duduk mengelilinginya, obrolan kecil mulai terdengar—tentang keseharian, kebun belakang, tentang anak ayam yang tak sengaja menetas di lemari pakaian Ruby. Semua itu tak penting, tapi cukup menghangatkan ruang yang dingin dan mengganti isak dengan tawa ringan.
Ruby yang sedari tadi melontarkan candaan, tiba-tiba memasang mimik serius. Ia melontarkan sebuah pertanyaan.
“Tapi, Rum, tidakkah engkau menaruh curiga pada Nyai Lastri? Sikapnya sekarang ... terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja dirampok. Tak seperti biasanya. Apalagi, kerugian kalian—besar sekali.” Ruby bertanya dengan perasaan was-was. Takut kalau ada orang Nyai Lastri yang mendengar.
Arum menoleh pelan ke arah Ruby. Senyumnya tenang, tapi sorot matanya menyiratkan bahwa ia tidak sepenuhnya lengah.
“Kecurigaan itu ... pasti ada, Kak Ruby. Tapi, kita tidak bisa menuduh tanpa bukti. Biarkan waktu yang membuktikan.”
Ia menegakkan duduknya, lalu melanjutkan dengan nada pelan namun tegas. “Lagipula, Kang Mas Karta sedang menyelidikinya secara diam-diam. Beliau tak mungkin membiarkan kejadian sebesar ini berlalu tanpa penelusuran—apalagi, aku yang jadi korbannya. Kita tunggu saja ... siapa yang nantinya akan terkuak.”
Lia berbisik lirih, “Berarti ... Nyai Lastri memang dalam pengawasan?”
Arum hanya mengangguk kecil, lalu menatap jendela yang tertutup tirai. Kemudian, perlahan sorot matanya berpindah ke arah pintu kamar. Pandangannya tajam, menusuk, seperti menembus kayu tebal yang memisahkan dunia dalam dan luar ruang itu.
Sementara itu, di balik pintu kamar Arum, telinga seseorang menempel diam-diam di permukaan kayu yang sudah mulai lapuk dimakan usia. Nafasnya ditahan, tubuhnya menyatu dengan bayang-bayang gelap lorong rumah besar.
Siapa lagi kalau bukan Yuyun.
Gundik bermulut manis itu memang dikenal pandai mencari celah dan kabar—terutama jika bisa menghasilkan upah dari Nyai Lastri. Matanya melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada yang lewat.
‘Jadi benar ... mereka mencurigai Nyai,’ batinnya.
Sudut bibir Yuyun terangkat tipis. Ia tak perlu tahu semua detail, cukup satu potong kabar yang ia anggap “emas.” Dan malam ini, ia sudah mendapatkannya.
Dengan langkah sehalus bayangan, Yuyun hendak pergi, membaur kembali dalam lorong yang temaram. Namun, tubuhnya mendadak menegang saat suara berderit dari engsel pintu terdengar di belakangnya.
Pintu kamar Arum terbuka perlahan, dan dari balik cahaya lilin yang menggantung di dinding, tampak sosok Arum berdiri diam—hanya berkain tidur, dengan perban melilit lehernya. Matanya mendelik murka, bibirnya menyeringai.
“Kau, yang baru saja menguping di kamarku ... kemarilah.”
*
*
*
hilang sudah yg bikin enak2 ya yun
mampus beneran kan yun mana bisa kau dpt uang lagi
nikmati saja nnti tiba kok giliran mu asli swer tak kewer2