"Jika memang kamu menginginkan anak dari rahim ku, maka harganya bukan cuma uang. Tapi juga nama belakang suami mu."
.... Hania Ghaishani .....
Ketika hadirnya seorang anak menjadi sebuah tuntutan dalam rumah tangga. Apakah mengambil seorang "madu" bisa menjadi jawabannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Milikku
Aku yang Tak Bisa Memberi Tapi Tak Rela Kehilangan
-Audy Maheswara-
Ruangan itu begitu sunyi. Tirai belum dibuka. Udara pagi mengendap seperti luka yang enggan sembuh.
Audy duduk di ranjang, punggungnya disangga bantal tebal, selimut menutupi kakinya. Pucat. Mata bengkak. Tapi masih… cantik. Cantik yang menyakitkan. Seperti mawar putih yang kehilangan ronanya.
Di tangan menggenggam udara kosong, tangan yang tadi ia gunakan untuk memegang tespek milik Hania.
“Dua garis itu… bukan dari punyaku.” Suara Audy nyaris tak terdengar. Ia tak sedang berbicara pada siapa pun. Ia hanya melampiaskan pada udara kosong. Pada sunyi. Pada luka yang tertanam dalam rahimnya yang kosong… dan tak bisa lagi memberi kehidupan.
Ivana diam, dia seperti bayangan yang setia, berdiri di sisi ranjang. Tubuhnya tegap. Mata tajamnya tak pernah meninggalkan wajah Audy, siap menangkap kapan saja wanita itu tumbang. Dia akan selalu ada di sana,di sisi sang Nyonya.
“Ivana… kenapa aku merasa benci sekali pada Hania?A-aku tahu, aku yang memintanya dia ada di sini. Aku yang membutuhkan dia. Tapi aku juga benci semua ini…”
Audy menatap langit-langit. Nafasnya mulai berat.
“Kenapa sekarang rasanya seperti… dia mencuri sesuatu dariku."
Tangan Audy mulai mengepal, sorot mata yang tadinya sendu kini mengelap. Ketidakrelaan dan rasa kecewa pada dirinya sendiri, berubah menjadi amarah yang menelan Audy.
“Dia mencuri… harapanku. Cinta Brivan.... Hakku!”
Suara Audy pelan, tapi giginya menggertak. Tubuhnya gemetar.
Ivana duduk di sisi ranjang, menggenggam tangannya.
“Itu wajar, Nyonya. Sangat wajar Anda marah karena Hania mengandung keturunan Maheswara, yang seharusnya ada di rahim Anda. Tapi semua itu karena keadaan Nyonya, itu bukan salah Anda. Itu luka yang tak seorang pun tahu dalamnya, kecuali Anda sendiri.”
Audy terdiam.
Lalu pelan-pelan ia bergerak, berusaha bangkit. Tapi tubuhnya terlalu lemas. Keringat dingin mulai membasahi pelipis. Tangannya menggigil, tapi tetap mencoba membuka selimut dan berdiri.
Ivana langsung menahan.
“Jangan banyak bergerak dulu, Nyonya. Anda belum kuat.”
“Aku harus menemui dia. Aku ingin bicara padanya. Aku harus…”
Audy meringis menahan sakit yang mulai menjalar, tapi dia berusaha abai.
“Dia tidak boleh lupa .... Aku adalah ibu dari anak itu. Aku, bukan dia. ..."
Napas Audy mulai tak beraturan. Matanya mengabur. Tapi suaranya tetap tajam—dingin seperti belati, menusuk setiap kata.
“Aku tidak mau anakku lebih dulu mengenal suara wanita lain, sentuhan wanita lain. Aku tidak mau… dia tumbuh dan memanggil orang lain ibu. Tidak ..... Aku tidak rela. Ivana…”
Audy semakin meringis. Tangannya menggenggam kuat lengan Ivana. Napasnya mencengkeram. Rasa nyeri dibagian bawah perutnya. Terasa semakin menusuk. Panas, seperti api yang menjilat tiap syarafnya. Selimut menutupi kakinya basah. Darah hangat yang mengalir cepat di antara pahanya, seketika ranjang itu penuh dengan cairan merah pekat beraroma amis itu.
“Iv—Ivana…”
Wajah Ivana langsung pucat. Ia merengkuh Audy cepat.
“Nyonya! Anda pendarahan—!”
Audy menggigit bibir, matanya membelalak, tangan gemetar mencengkeram ranjang.
“Sakit… sekali…”
Ivana langsung meraih ponsel dan menekan tombol cepat.
“Mario, cepat ke kamar Nyonya Audy! Sekarang!”
Ivana meletakan ponselnya sembarangan, lalu membantu sang Nyonya berbaring perlahan.
"Nyonya tolong bertahan," bisik Ivana pada Audy yang hampir tak sadarkan diri.
Hanya butuh waktu kurang dari dua menit. Pintu dibuka dengan kasar. Mario masuk terburu-buru, keringat di dahinya mengalir deras meski udara di mansion dingin. Fira mengikuti dibelakang, nafasnya tak kalah ngos-ngosan. Ivana menoleh sekilas, dia masih terus mengenggam tangan Audy dengan gelisah.
“Apa yang terjadi?!” Mario segera mendekat, mengarahkan stetoskop pada dada Audy.
“Nyonya ... Dia pendarahan lagi. Dia tadi memaksa bangun.”
Mario berjongkok di sisi ranjang, memeriksa menekan pergelangan tangan Audy, memasakan denyut nadi yang melemah.
“Tekanannya drop. Suhunya turun. Ini bisa fatal.” Ada kemarahan yang terpancar di wajah pria berkacamata itu.
“Bersihkan darahnya. Panggil tim medis. Siapkan stabilisasi segera.”
Fira mengangguk dan segera berlari keluar kamar, sedangkan Ivana mulai membereskan selimut terkena darah. Wajah Mario panik. Dokter yang dingin itu kini kehilangan kendali.
“Kalau sampai rahimnya rusak lebih parah… dia bisa…” lirihnya nyaris tak terdengar. Mario tak melanjutkan. Matanya menatap Audy yang menggigil dan merintih lemah.
“Mario… kenapa semua harus begini .... Kenapa aku…”
Tangan Audy terulur lemah, menggenggam lengan baju Mario.
“Bayi itu punyaku … dia tidak boleh mencintai anakku melebihi aku, Mario…"
“Aku… aku ibunya…”
Mario menunduk, matanya memejam sejenak. Mengalihkan tangan dingin wanita itu dalam genggamannya.
“Kita akan lakukan apa pun agar kau tetap jadi ibunya, Audy. Tapi kau harus bertahan dulu. Kumohon…” tangan besar Mario mengerat, memegang harap agar Audy bisa lebih kuat.
emak nya brivan bakalan pulang. dan si nenek tapasya pasti gak bisa bergerak sesuka hati nya setelah ini
Oh nggak bisa, yang mengandung anak brivan itu hania, jadi Audy gak ada hak emm
kapan aja,, Brivan pasti bisa bangun melawan bius yang kau ciptakan !!
apa ibunya Brivan ga tau ya klu Audy sdh keguguran dan anaknya lagi terbaring sakit.
Ibunya Brivan akan datang,, berharap bgt dia akan bisa membawa Brivan pergi bersamanya,jika Brivan menjauh dr Mario,itu artinya Brivan akan bisa segera sadar,,,
nah loh ibunya brivan mau ke indo jenguk brivan gimana ya nanti reaksinya kalau tau Audy udah ga mengandung lagi
dan untuk mu ibu briv semoga segera menengok ya. putra mu tidak berdaya