Dua puluh tahun setelah melarikan diri dari masa lalunya, Ayla hidup damai sebagai penyintas dan penggerak di pusat perlindungan perempuan. Hingga sebuah seminar mempertemukannya kembali dengan Bayu—mantan yang terjebak dalam pernikahan tanpa cinta.
Satu malam, satu kesalahan, dan Ayla pergi tanpa jejak. Tapi kepergiannya membawa benih kehidupan. Dilema mengungkungnya: mempertahankan bayi itu atau tidak, apalagi dengan keyakinan bahwa ia mengidap penyakit genetik langka.
Namun kenyataan berkata lain—Ayla sehat. Dan ia memilih jadi ibu tunggal.
Sementara itu, Bayu terus mencari. Di sisi lain, sang istri merahasiakan siapa sebenarnya yang pernah menyelamatkan nyawa ayah Bayu—seseorang yang mungkin bisa mengguncang semua yang telah ia perjuangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Serangan Psikis
Di sebuah ruangan rapat kecil di kantor LPA, suasana mendadak sunyi seperti kuburan. Tidak ada satu pun suara. Hanya dengung pendingin ruangan yang terdengar samar, seperti napas terakhir dari sebuah kepercayaan yang sebentar lagi akan mati.
Mata semua staf tertuju ke layar proyektor. Di sana—dalam jepretan tajam, dengan sudut-sudut yang tidak meninggalkan ruang untuk penyangkalan—terpampang sosok yang mereka hormati: Ayla.
Ia berdiri di bandara. Dipeluk. Dikecup keningnya oleh seorang pria yang wajahnya mungkin asing bagi sebagian besar dari mereka, tapi tidak bagi Ellen.
Satu foto. Dua. Tiga.
Lalu empat. Lima. Enam.
Semua menunjukkan kedekatan. Keintiman. Bukan sesekali. Bukan salah tangkap.
Satu kebenaran tak terbantahkan yang menusuk lebih dalam dari sekadar skandal.
Tak ada waktu untuk mengalihkan pandang ketika layar berubah. Seorang wanita muncul lewat panggilan video. Duduk tegak. Berpenampilan rapi, bibirnya membentuk senyum tipis yang menakutkan. Ellen.
"Aku tahu kalian semua mengagumi dia. Tapi ini... ini adalah kenyataan yang kalian tutup mata selama ini."
Tangannya mengangkat sebuah amplop putih. Pelan, nyaris teatrikal, ia mengeluarkan satu lembar kertas dan menunjukkannya pada kamera.
Hening yang menggantung runtuh ketika Ellen berkata, dengan suara dingin namun mantap:
"Nama pasien: Ayla. Usia kehamilan: 8 minggu."
Suasana ruangan seketika seperti membeku. Beberapa staf menatap Ayla. Beberapa mengalihkan pandangan, seolah mereka sendiri merasa bersalah karena sempat percaya.
Elise, yang selama ini menganggap Ayla sebagai panutan hidupnya, menunduk. Matanya mulai berkaca-kaca. Hatinya terbelah antara rasa sakit dan keinginan untuk tetap percaya.
Ellen belum selesai.
“Sebagai lembaga yang menjunjung tinggi nilai moral dan integritas,” katanya, sorot matanya tajam, “kupikir kalian berhak tahu siapa sebenarnya Ayla yang kalian sanjung-sanjung. Wanita yang memotivasi wanita lain... justru menghancurkan rumah tanggaku.”
Ia berhenti. Senyum licin terukir di bibirnya.
“Pelakor.”
Klik.
Layar mati.
Hanya kesunyian yang tertinggal. Kesunyian yang berat dan menusuk.
Ayla berdiri di sudut ruangan. Matanya tak basah, tapi dalam diamnya ada badai. Ia tidak menangis. Ia tidak membela diri. Ia hanya berdiri. Sendiri. Dikelilingi oleh tatapan yang dulunya adalah kekaguman, kini menjadi pertanyaan yang menyakitkan.
Elise berdiri kaku di sebelah Ayla, tubuhnya seolah membatu. Dunia yang ia kenal seakan bergeser. Sejak ia kecil—ketika ia masih anak korban kekerasan rumah tangga—Ayla adalah cahaya pertamanya. Perempuan yang memeluknya di hari ketika ibunya tak lagi bisa. Yang berbicara di panggung dan berkata, “Luka masa kecil bukan akhir, tapi alasan untuk bangkit.”
Dan kini…?
Elise menggigit bibir bawahnya, menolak air mata yang mulai menggenang. Tapi hatinya koyak. Bukan karena foto-foto itu. Tapi karena harapan yang selama ini ia titipkan pada sosok Ayla, tiba-tiba kehilangan pegangan.
"Kak... kenapa?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar.
Seseorang dari staf menghampiri Elise dan menyentuh pundaknya. “Mungkin ini hanya kesalahpahaman...”
Elise menggeleng pelan. “Tapi fotonya terlalu jelas.” Suaranya pecah. “Selama ini dia selalu bicara soal menjaga batas, soal martabat perempuan… dia tahu pria itu belum bercerai, tapi dia... dia tetap menerima pelukan itu.”
Ayla tetap diam. Tak ada pembelaan, tak ada air mata. Seperti selalu, saat tudingan diarahkan padanya, ia memilih membungkam dunia dengan diam. Bukan karena tak mampu berbicara—tapi karena ia percaya, kebenaran tak butuh teriakan untuk bertahan. Dan selama ini, keyakinannya itu tak pernah mengecewakannya.
Elise terduduk dengan tatapan kosong. "Duniaku ambruk," pikirnya. Bukan karena Kak Ayla mencintai seseorang. Tapi karena aku tak tahu lagi siapa yang bisa kupercaya."
Ia pernah begitu mengagumi keputusan Ayla—membesarkan anaknya seorang diri tanpa pernah menuntut pertanggungjawaban dari siapa pun. Bagi Elise, itu adalah puncak ketegaran. Keteguhan seorang perempuan yang memilih martabat di atas segala rasa sakit.
Tapi kini, kenyataan di hadapannya terlalu pahit untuk ditelan. Foto-foto itu… pelukan di ruang publik… pria yang jelas-jelas masih berstatus suami orang.
Ayla, sosok yang selalu bicara tentang batas dan harga diri, justru melanggar garis yang ia sendiri pernah tegaskan harus dijaga.
Jari-jarinya mulai gemetar.
Elise ingin marah. Ingin berteriak. Ingin bertanya “Kenapa?”
Tapi lebih dari segalanya… ia ingin percaya ini semua tidak nyata.
Sayangnya, kebenaran terlalu telanjang untuk disangkal.
Elise terduduk. Tatapannya kosong, seperti melihat reruntuhan rumah yang pernah ia anggap aman.
"Duniaku ambruk," bisiknya dalam hati.
Bukan karena Ayla mencintai seseorang.
Tapi karena orang yang selama ini ia yakini sebagai panutan... ternyata bisa mengecewakan juga.
Dan dari tempat lain, jauh dari ruangan rapat yang kini sunyi, Ellen menutup laptopnya dengan senyum penuh kemenangan.
Karena dia tahu…
Serangan paling mematikan bukanlah tamparan keras di wajah, tapi pengkhianatan dari seseorang yang kau jadikan pedoman hidup.
Langit siang itu kelabu, seperti tahu ada hati yang sedang runtuh di dalam gedung itu.
Ayla berdiri di tengah ruangan kantor LPA, dikelilingi tatapan yang tak lagi hangat seperti dulu. Meja tempat ia biasa duduk kini terasa asing. Dinding yang dulu memajang foto-fotonya bersama anak-anak korban kini seperti menatapnya dengan kekecewaan.
Seorang anggota dewan pengurus—Pak Smit, pria paruh baya yang dulu selalu membela Ayla habis-habisan—berdiri di hadapannya, suara beratnya menggema.
“Kami tidak ingin mempercayai ini, Ayla. Tapi… semua bukti yang beredar terlalu kuat. Sementara reputasi lembaga ini harus kami jaga.”
Ayla tidak menjawab.
“Kami memutuskan untuk membekukan semua aktivitasmu di LPA, sampai waktu yang tidak ditentukan. Kami berharap… kau mengerti.”
Ia masih diam.
Elise berdiri di pojok ruangan, matanya berkaca-kaca, seakan ingin berkata sesuatu. Tapi Ayla hanya menatapnya sebentar, lalu menunduk pelan. Tak ada kemarahan. Tak ada air mata.
Hanya perasaan ditanggalkan dari rumah yang ia bangun sendiri.
Akhirnya, Ayla menarik napas panjang. Langkahnya ringan menuju pintu, namun setiap derapnya seakan menoreh luka di lantai yang ia tinggalkan.
Saat tangannya menyentuh gagang pintu, ia berhenti. Menoleh sekali. Senyum kecil tersungging di bibirnya—bukan senyum ikhlas, bukan pula getir, tapi semacam ketegaran yang terpaksa.
“Aku tak perlu menjelaskan apa pun,” katanya pelan, namun cukup jelas untuk semua mendengar. “Suatu hari… kebenaran akan terbukti.”
Tak ada yang berani membalas.
Lalu ia pergi.
Langkah Ayla menjauh, meninggalkan ruang yang dulu ia sebut rumah, namun hari itu berubah menjadi ruang penghakiman. Tak satu pun tangan yang mencoba menahan, tak satu pun suara yang memanggil.
Dan di luar, hujan mulai turun.
Langit ikut menangis untuk seorang perempuan yang memilih diam, karena ia tahu—kebenaran tak butuh teriakan, hanya waktu.
Bayu menatap layar laptop di meja kerjanya, tapi pikirannya melayang jauh. Sejak Ayla kembali ke Swiss, ada sesuatu yang mengganggu batinnya. Ia tak bisa menemani dan menjaga Ayla yang saat ini mengandung benihnya.
Ponselnya bergetar. Nama Rendra muncul di layar. Orang kepercayaannya selama dua puluh tahun. Bayu segera menjawab.
“Ada kabar?”
“Saya baru saja menerima info, Tuan. Dari kontak kita di LPA…”
Bayu menegakkan tubuhnya, mata tajamnya menajam.
“LPA membekukan Ayla dari semua aktivitas. Tidak ada pernyataan resmi, tapi saya dengar ada penyebaran foto yang memicu kontroversi. Foto Nyonya Ayla… dan Anda.”
Bayu membeku.
“Laras tidak bilang apa pun tentang ini.” Suaranya berat, seperti menahan badai.
“Sepertinya nyonya memilih menanggung semuanya sendiri, Tuan.”
Bayu mengepal. Ia mengatur napas, menahan gejolak marah yang tiba-tiba menggelegak di dadanya. "Temukan siapa yang ada di balik semua ini, Rendra. Segera."
"Baik, Tuan."
Namun sebelum Rendra bisa bergerak lebih jauh, ponsel Bayu kembali bergetar. Kali ini bukan dari Rendra. Sebuah pesan masuk. Pengirimnya membuat rahangnya mengeras.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
jangan takut Ayla semoga ayah Bayu mau menerima kamu dan cucunya.
semangat kak ditunggu kelanjutannya makin seru nih,aku suka aku sukaaaaa