Charlotte Hasana, wanita cantik dengan tubuh perawakan mungil, ramping dan cantik. Ayahnya menikah lagi dengan seorang wanita yang begitu materialistis. Ibu Tiri Charlotte berencana menikahkan dirinya kepada laki-laki tua kaya raya namun seorang Gay. Charlotte menentang keras keinginan Ibu tirinya. Karena itu, Charlotte berencana kabur dengan dandanan berbeda dari biasanya. Dia memoles wajahnya begitu jelek.
Namun ketika dirinya kabur, dia bertemu dengan laki-laki yang mengancam hidupnya. Hingga karena suatu alasan, Charlotte terpaksa melakukan hubungan satu malam dengan laki-laki itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nanayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 23
Charlotte terbangun dari tidurnya dikasur nan empuk di Mansion Xavier. Tubuhnya terasa ringan seolah tak ada beban sedikitpun. Charlotte mendudukkan tubuhnya dipinggir ranjang dan menatap celah jendela yang sinar mentari pagi mengintip malu-malu kepadanya. Dirinya bangkit dan berjalan mendekati tirai dengan 3 lapis kain berwarna krem dan menyibakkannya hingga terbuka lebar.
Gaun tidur miliknya berkelip memantulkan sinar mentari pagi yang menyuguhkan panorama indah tanpa awan dilangit biru. Senyum tipis nan mempesona menggetarkan hati siapun ketika melihat dirinya yang kini polos tanpa make up. Charlotte masih berpenampilan seperti wanita biasa dengan berbagai bercak cokelat hasil karyanya. Bercak yang mampu membuat orang lain merasa jijik dengannya. Karena wajah buruk rupa yang selalu ditampiilkan.
Charlotte duduk di pinggir jendela dengan kedua kakinya terangkat dan gaun tidurnya yang menggantung indah. Tubuh Charlotte termasuk kedalam body goals yang diidam-idamkan wanita lain. Jika saja, wajahnya tak sejelek saat ini, mungkin sudah ribuan laki-laki yang mengantri dibelakang demi memenangkan hatinya.
Laki-laki? Ah, dia baru teringat jika sebentar lagi dirinya akan menikah dengan seorang yang kejam dan arogan seperti Xavier. Hidupnya kini ada ditangan laki-laki itu yang akan menyandang status suaminya. Jika memikirkan hal itu, tubuh Charlotte langsung merinding. Tidak pernah sedikitpun dirinya bermimpi menikahi laki-laki yang melakukan hubungan satu malam dengannya.
Semalam saat makan malam, Charlotte begitu heran, bagaimana cara Xavier melakukan makan malam yang begitu tenang bahkan terkesan kaku. Disaat mereka makan, para pelayan berjejer rapi disampingnya dengan menunduk. Seolah bersiap-siap menerima perintah apapun dari Xavier, atau mungkin mendapat celaan? Charlotte hanya tahu jika mereka semua ketakutan.
Makan malam itu menjadi makan malam Charlotte paling membosankan yang pernah dia rasakan. Walaupun Shinta dan ibu tirinya mengjengkelkan, namun setidaknya suara berisik mereka mampu membuat hidup suasana rumah. Tapi berbeda dengan situasi ketika bersama Xavier. Senyap seperti di dalam pemakaman.
Setelah makan malam, Charlotte pikir dirinya akan diajak bicara oleh Xavier. Mengingat ini adalah rumah miliknya, mungkin saja laki-laki itu akan membuat perintah ini itu yang membosankan. Namun perkiraannya salah. Laki-laki itu justru meninggalkan dirinya di ruang makan tanpa satu kata pun terucap dibibirnya. Menuju ruang kerja yang terletak di lantai dasar bersama Dean.
Charlotte menatap keluar jendela yang masih menampakkan kabut putih di pagi hari ini. Jika dirinya terus mengingat sikap Xavier yang menyebalkan itu, dia sendiri justru akan menjadi stress dan susah mencari peluang melarikan diri. Ya, labih baik dirinya membuat rencana matang agar bisa terbebas dari laki-laki dingin itu.
Setelah mandi dipagi hari itu dan bersiap-siap berangkat kuliah, Charlotte turun ke bawah untuk melakukan sarapan. Dilihatnya Xavier sudah disana lebih awal dibanding dirinya. Ah, mungkin saja laki-laki itu ada kepentingan lain, dirinya seakan tak ingin memperdulikan urusan Xavier. Yang penting sekarang, dirinya harus mengedapankan hidupnya sendiri.
“Selamat pagi Nona.” Sapa semua maid yang sudah seperti manikin yang siap diperintah kapanpun, Mereka membungkuk hormat saat Charlotte melewati mereka.
“Hmm, pagi juga.” Balas Charlotte ramah. Charlotte hanya ingin menghargai orang lain yang juga menghargainya. Dirinya duduk didepan Xavier yang sejak tadi tak terganggu atas kedatangan Charlotte di meja makan. Laki-laki itu sibuk melihat layar ponselnya. Entah apa yang sedang laki-laki itu lakukan, dia tidak peduli.
“Wahh, bukankah ini terlalu banyak untuk makanan dua orang?” tanya Charlotte pada maid. Matanya melirik pada Xavier sekilas. Dirinya berniat mencari sedikit hiburan dipagi ini.
Salah satu Maid yang sepertinya kepala disana mendekati Charlotte dengan wajah menunduk. “Maaf Nona. Ini semua menu yang sudah disiapkan oleh Tuan Muda setiap hari.”
“Oh, begitu ya. Kalau menurutku sih, ini terlalu banyak. Ada kucing disini?” tanya Charlotte antusias.
“Kucing? Untuk apa Nona?” tanya Maid itu bingung.
“Habisin sisa makanan ini dong, masak harus kuberikan pada Tuan Mudamu ini? Gak mungkin kan?” ucap Charlotte seraya menyeringai jahat. Namun Xavier masih bergeming ditempatnya. Seolah tak terpengaruh sindiran Charlotte.
Maid itu hanya diam dengan menundukkan kepala. “Jika hal itu membingungkan Nona, saya akan meminta pelayan disini untuk membersihkan sisa makanan dengan baik.”
“Oke. Lakukan apa yang kau mau. Lagipula semua makanannya terlihat enak. Akan kuhabiskan jika aku bisa.”
“Terima kasih banyak Nona. Tapi tolong jangan memaksakan diri Anda.” Ucap Maid itu.
Charlotte tiba-tiba tersenyum smirk, lalu dengan sengaja salah satu kakinya terangkat keatas. Hingga para pelayan terkejut dibuatnya. Charlotte seakan tak peduli dan mulai mengambil makanan yang ia sukai. Dengan mengangkat satu kakinya di kursi seperti sekarang, Xavier masih saja sibuk dengan benda persegi ditangannya. Charlotte heran sendiri. Tidak ada earphone atau penutup mata yang melekat dikepalanya, namun bagaimana bisa laki-laki tak terusik dengan sikapnya yang menyebalkan itu?
Charlotte yang merasa diabaikan langsung makan sebanyak-banyak. Berulang kali dirinya berulah dengan memerintah ini itu pada pelayan. Mengeraskan suara decapan saat dirinya makan, semua itu dilakukan hanya untuk membuat Xavier kesal kepadanya. Kalau marah pun, dia akan lebih senang. Dengan begitu, dirinya tak perlu susah-susah memicu pertengkaran bukan. Charlotte pikir, dengan sikapnya yang tidak sopan itu akan bisa membuat Xavier malu didepan para pelayan-pelayannya. Memiliki calon istri yang jelek sekaligu tak punya adat sopan santun. Sempurna bukan. Dengan begitu, Xavier pasti dengan mudah memutuskan perjodohannya dengannya. Xavier tak akan menyesal begitupun dengannya.
Namun sekeras apapun yang dialkukan saat ini, laki-laki itu tetap tak terusik ditempatnya. Dia begitu sok sibuk dengan benda ditangannya, sesekali meneguk kopi dimeja. Melihat itu Charlotte menggeram pelan, tak menyangka jika Xavier bisa setenang itu. Laki-laki itu begitu anteng dengan kesibukannya sendiri. Dasar gila kerja emang!!
20 menit berlalu, Charlotte sudah menyelesaikan sarapannya dan bergegas pergi. Berniat mengacuhkan Xavier yang tetap tenang seperti air tak beriak. Charlotte ingin berangkat ke kampus.
“Tunggu sebentar.” Suara barington namun pelan menghentikan langkah Charlotte yang hampir sampai dipintu. Wanita itu memutar tubuhnya 180 derajat menghadap Xavier. Alisnya terangkat keatas.
“Apa??”
Xavier menutup ponselnya dan menaruhnya dimeja. Ditengah duduknya, kaki kirinya disilangkan dengan santai. Pandangannya datar tertuju lurus pada Charlotte.
“Mulai besok, aku ingin kau belajar menjadi seorang istri yang baik. Mereka semua yang ada disini akan membantumu. Sarapanmu hari ini adalah sarapan terakhir yang akan dibuatkan mereka untukmu. Besok, aku harus makan masakan buatanmu. Mengerti?” titah Xavier.
“Ap-apa kau bilang barusan?? Aku tidak salah dengar huh??” Charlotte berjalan mendekat dan berusaha mendengar sejelas mungkin. Perintah Xavier masih belum dipahaminya.
“Besok, mulai melakukan tugas sebagai istri yang baik dan penurut. Tidak ada penolakan.”
“Cihh, kau pikir aku akan menurutimu? Jangan harap.” Tolak Charlotte acuh. Tidak menggubris ucapan Xavier sama sekali.
“Terserah. Tapi Jika kau menolak aku bisa melakukan hal yang akan menyulitkanmu. Lebih rumit dari sekedar hal sepele ini. Mengerti, Nona Charlotte Hasana?”