NovelToon NovelToon
Kez & Dar With Ze

Kez & Dar With Ze

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:310
Nilai: 5
Nama Author: Elok Dwi Anjani

Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.

Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.

Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.

Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kembali

..."Aku merasakan rasa yang kurindukan hari ini. Tapi entahlah, apa selanjutnya akan ku rasakan? Atau aku akan kembali menabung rasa rindu ini"...

...•...

...•...

Zea menggandeng tangan Arden akan memasuki kereta dengan tersenyum ke arah Arfan yang mengantarkannya hanya sampai di sebrang sana, yaitu lautan manusia yang memisahkan mereka. Ia melambaikan tangannya dan tersenyum kepada Arfan yang langsung dibalas oleh pria itu.

Arfan menerawang ke depan menatap putri dan putra kecilnya yang hanya terlihat matanya saja dengan tubuhnya yang berusaha untuk melihat papanya dengan cara meloncat-loncat. Zea pun terkekeh karena tidak bisa membantu Arden untuk bisa melihat papanya sebelum memasuki kereta. "HATI-HATI!" teriak Arfan dari sana.

Zea sebenarnya tidak mendengar teriakkan Arfan, tapi ia tau dari membaca pergerakan bibir Arfan di sana. Ia menganggukkan kepalanya paham dan memberikan kedua jempolnya ke arah Arfan. Setelah itu, ia kembali menarik tangan Arden untuk memasuki kereta dan meninggalkan kota dengan lambaian tangan menuju lautan yang ia rindukan.

Setelah duduk di bangkunya, Zea langsung menyandarkan punggungnya dan meletakkan tas ranselnya di sebelahnya. Arden bersandar ke sandarannya dan ingin melanjutkan tidurnya yang sempat terganggu karena Zea yang membangunnya sore-sore untuk ke stasiun kereta. Ia hampir lupa kalau hari ini akan mengunjungi abang-abangnya dan kakak-kakaknya di pesisir pantai.

Beruntung, Arden tidak rewel dan selalu menurut kepada Zea yang membuat Zea tidak terasa terbebani dan mudah untuk mempersiapkan Arden sebelum berangkat. Zea mengeluarkan kacamata bacanya dan mulai membaca bukunya. Sesekali juga ia mencatat sesuatu di buku catatan perihal hal penting yang menurutnya harus dicatat.

Sementara itu, di kediaman keluarga Arlan. Seorang pemuda itu juga tengah belajar, padahal besok hari libur. Karena tekanan orangtuanya dan kekerasan belajarnya kepada dirinya sendiri membuat sebuah cairan merah keluar dari hidungnya dan menetes hingga mengenai bukunya.

Arlan sempat berdecak sebal karena buku catatannya menjadi merah terkena darahnya yang mengalir keluar dengan deras. Dengan langkah terbirit-birit, ia ke kamar mandi dan membiarkan darah tersebut mengalir dan menetes dari lubang hidungnya. Ia membersihkan darah tersebut di wastafel dan menatap pantulan wajahnya di cermin.

Wajah lelah, lingkaran mata dan darah tersebut yang kembali keluar dengan deras. Kepalanya pusing, dan tubuhnya lunglai di tempat. Arlan berusaha untuk menegakkan tubuhnya dengan berpegangan sisi wastafel dan membersihkan hidung. Setelah beberapa menit di sana, Arlan menyudahinya, lalu mengambil tisu untuk menyumpal hidungnya.

Meja belajar yang awalnya berserakan dengan buku-bukunya langsung Arlan rapikan dan meraih ponselnya. Ia sudah lelah dan tidak ingin melanjutkannya lagi, jika tidak, ia mungkin harus kembali ke dokter secara diam-diam tanpa sepengatahuan Gio.

Tidak ada pesan masuk ataupun notifikasi lainnya. Arlan meletakkan ponselnya di laci sebelah ranjang dan menarik selimut karena udaranya yang dingin. Ia juga sempat mengecilkan suhu ruangan alias AC agar tidak terlalu dingin. Ia sedikit kedinginan walaupun tubuhnya sudah terbalut dengan selimut tebalnya.

Variel diam-diam memasuki kamar abangnya dan menyentuh tangan Arlan yang hangat. "Bang..."

Arlan menoleh dengan wajah lesunya dan tatapan sendu menatap adik kecilnya. "Kenapa? Nggak bisa tidur?"

Variel mengangguk. Ia menaiki tempat tidur Arlan dan berbaring di samping abangnya dengan menjadikan lengan tangan Arlan sebagai bantal. "Kenapa tubuh Abang anget? Sakit?"

Arlan menggeleng dan memilih untuk memeluk Variel mencari kehangatan dari adik kecilnya. Variel terus-menerus bergerak karena risih dengan abangnya yang suka memeluknya. Ia tidak sedang ingin dipeluk karena nanti kepanasan. Suhu kamar Arlan sangat hangat, ditambah lagi tubuh Arlan yang hangat pula.

"Diem, Riel. Kalau kamu terus gerak Abang nggak bisa tidur," pinta Arlan.

"Aku juga nggak bisa tidur kalau kepanasan," balasnya.

Arlan meraih remote AC nya untuk menurunkan suhu agar lebih sejuk. Setelah itu, ia kembali memeluk Variel kedalam dekapannya.

...••••...

Angin-angin dingin di pagi-pagi buta di stasiun karena baru saja aja sampai membuat Zea merapatkan jaketnya dan menggandeng tangan Arden untuk mencari kendaraan. Sangat lama mereka duduk di halte menunggu bus, bahkan hampir setengah jam mereka duduk di sana dengan melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan raya.

Arden meniup-niup tangannya yang kedinginan dan menggosoknya. Terlihat jelas di aspal jalan yang basah karena hujan deras saat tengah malam, tapi hanya sebentar. Namun, jika hujan di malam hari itu membuat paginya sangat dingin hingga terdapat kabut yang tebal di langit-langit.

Sebuah bus berhenti hanya dengan mengeluarkan beberapa penumpang yang jumlahnya bisa dihitung karena sedikit. Zea menggandeng tangan Arden memasuki bus dan duduk di paling belakang. Bus pun berjalan dengan jumlah penumpang 2 orang saja dan seorang pengemudi di depan.

Zea tersenyum menatap keluar jendela kaca bus yang baru saja menampilkan pepohonan yang di pagari besi dari sisi jalan raya dan menampakkan laut di belakangnya. Tidak lama kemudian, pohon-pohon itu dilewati dan memperlihatkan pantai di sana. Matahari perlahan naik dengan warna mencolok elegannya dan dengan sinarnya yang sangat indah, seolah-seolah bangun dari tidurnya di dalam air laut.

Arden juga menatap keluar dengan menyandarkan kepalanya di tubuh kakaknya. Secara refleks, Zea memeluk bahu Arden dan menikmati pemandangan yang mereka rindukan. Setelah 15 menit perjalanan, mereka memasuki daerah pantai yang biasanya mereka kunjungi dulunya. Bahkan, Zea dapat melihat gazebo penyimpan kenangan serta penjual es kelapa langganan Kezia yang hanya gerobaknya saja, karena belum waktunya buka.

Bus pun berhenti di sebuah halte yang berhadapan dengan pantai dan menurunkan Zea dan Arden. Zea menghirup udara segar dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya secara perlahan-lahan. Sementara itu, Zea dan Arden memilih untuk duduk di halte menikmati matahari terbit di sana dengan merasakan kehangatan kembali setelah sinarnya keluar sempurna.

Seorang gadis berjoging di tepi pantai dengan earphone di telinganya dan pakaian berwarna biru mudah sedang melintas, lalu duduk di gazebo. Zea menyipitkan matanya sebelum membulatkannya. Apa benar itu Kezia? Ia sempat mengucek matanya dan menyipitkannya kembali agar percaya apa yang sedang ia lihat.

"Itu kak Kezia, kak!" Tunjuk Arden ke seorang gadis yang duduk di gazebo dengan meminum air putih setelah berjoging.

Arden menarik tangan Zea menuju Kezia di gazebo dengan langkah terburu-buru. Setelah menginjak pasir pantai, Arden melepaskan tangan Zea dan berlari menuju Kezia di sana. Ia menyunggingkan senyumnya saat benar dugaannya dan melangkah lebih cepat.

Kezia menoleh ke belakang saat merasakan ada yang ada aneh dan langsung kaget melihat Arden berlarian kecil menuju ke arahnya. Ia langsung turun dan menghampiri Arden. Setelah dekat, Kezia menekuk lututnya dan merentangkan kedua tangannya menyambut pelukan hangat dari Arden.

Sebuah senyuman terbit dari wajah keduanya dan pelukan erat. Arden memeluk leher Kezia dengan tersenyum sumringah, begitupun Kezia. Zea berjalan semakin dekat dan berdiri di samping Arden. Setelah melepaskan pelukan Arden, Kezia tersenyum ke arah Zea dan memeluk kakaknya yang sangat ia rindukan.

Zea menyambut pelukan Kezia dan mengelus rambut gadis manis tersebut. Wajah Kezia pagi ini sangat segar dengan pakaian santai. "Abis selesai joging?"

Kezia mengangguk dengan memegangi kedua tangan Zea. "Aku kira datangnya nanti siang, ternyata pagi-pagi gini. Padahal aku mau masakin kakak sesuatu dan cobain resep Papa di rumah."

Zea tersenyum mendengarnya. "Iya kah? Gimana kalau kita masak bareng?" Zea melirik Arden di sampingnya. "Setuju nggak?"

"Setuju!" jawab Arden dan Kezia bersamaan dengan suara tawa kecil di sana.

Mereka bertiga berjalan beriringan menuju rumah Kezia dengan sedikit gurauan dan cerita Arden yang membuat Kezia tertawa kecil dan sesekali menarik hidung mungilnya. Arden hanya bisa terkekeh dan menggandeng kedua kakaknya sambil menggoyangkan nya ke depan-belakang.

Setelah memasuki rumah, mata Zea menyapu seluruh penjuru rumah yang tidak ada bedanya saat terakhir kali ia lihat. Sesekali juga Kezia memberikan pap kepada Zea saat sedang membersihkan rumah membantu bi Mina daripada harus mencari pembantu lagi saat ia berjauhan dengan kakaknya.

Arden duduk di sofa ruang keluarga dan menghela nafasnya. Kenangannya bersama Ezra dan Zayan seakan-akan berputar kembali saat bermain di sini dan memakan es krim dengan canda guraunya. Ia melirik fotonya dan Ezra di gazebo pantai yang membuat ia merindukan laki-laki tersebut.

Walaupun terkesan tidak peduli, tapi Ezra sangat peduli dengan Arden dan selalu membuatnya nyaman. Terkadang juga membuatnya kesal dengan keusilannya. Aroma masakan Zayan yang semerbak seolah-olah telah hilang dan tergantikan dengan kedinginan yang menggantikan hangatnya.

Zea dan Kezia duduk di sisi Arden dengan tersenyum melihat arah tuju padangan Arden. Foto itu menghangatkan hati Zea dan membuat masa lalunya kembali hidup dengan sedikit terngiang-ngiang suara tawa Ezra dan Zayan di sana. Sekarang, hanya bisa sebuah senyuman yang mengekspresikan mereka sebelum adanya sebuah candaan.

Terkadang, mereka akan tersenyum dan tertawa jika mendengar, melihat, atau mengingat sesuatu yang menyenangkan dan membahagiakan. Namun, jika sesuatu itu telah lenyap. Hanya terdapat seutas kilasan masa lalu dalam sebuah kenangan saja yang bercampur aduk.

"Kenapa?" Suara Kezia membuat lamunan Arden buyar kala itu.

"Nggak apa-apa." Arden tersenyum menatap Kezia, "katanya mau masak? Ayo!"

Kezia dan Zea saling menatap kalau tersenyum. Mereka akhirnya melihat buku resep di dapur yang selalu Zayan gunakan dulu dan memilih masakan apa yang akan mereka buat.

Tidak lama kemudian, Kezia memilih untuk membuat ayam geprek yang pedas biasa dan yang super pedas. Zea pun menganggukkan kepalanya dan melirik Arden. "Mau?"

Arden mengangguk. "Mau! Tapi nggak pake sambel"

"Biasa aja?"

"Iya, tapi tepungnya yang banyak biar makin krispi." Zea menutup bukunya dan berdiri bersama Kezia.

Keduanya mengambil celemek dan menyiapkan bahan-bahan terlebih dahulu dengan sedikit mengacak-acak isi kulkas. Sementara itu, Arden duduk manis di kursi meja makan dengan menatap kakak-kakaknya yang sedang serius membuat makanan di depannya. Ia menompang dagu dan menyaksikan gadis-gadis tersebut dan mengambil ponsel Zea.

"Aku boleh telpon kak Sheila nggak?" tanya Arden.

Zea mengangguk dengan meletakkan ayam utuh yang sudah dibersihkan dengan sebuah wadah besar sebagai tempatnya. Arden pun dengan lincah menekan-nekan ponsel Zea mencari nomor Sheila dan menghubungi gadis tersebut, serta memberikan kabarnya saat ini.

Begitu sibuk mereka di dapur. Zea dengan ayamnya, Kezia yang menyiapkan bumbu-bumbunya dan Arden yang sibuk dengan ponsel Zea. Setelah lama tidak diangkat-angkat Sheila, akhirnya diangkat juga dengan suara Sheila yang seperti baru bangun tidur.

"Ha? Siapa?" tanya Sheila yang mengelap bibirnya setelah duduk tegap di atas kasur dan melakukan sedikit peregangan.

"Kak Sheila!"

...••••...

...TBC....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!