Mateo Velasco, CEO muda yang tampan dan dingin, terbiasa hidup dengan kendali penuh atas segalanya termasuk reputasinya. Namun hidupnya jungkir balik saat suatu pagi ia terbangun di kamar kantornya dan mendapati seorang gadis asing tertidur telanjang di sampingnya.
Gadis itu bukan wanita glamor seperti yang biasa mengelilinginya. Ia hanyalah Livia, seorang officer girls sederhana yang bekerja di perusahaannya. Bertubuh gemuk, berpenampilan biasa, dan sama sekali bukan tipe Mateo.
Satu foto tersebar, satu skandal mencuat. Keluarganya murka. Reputasi perusahaan terancam hancur. Dan satu-satunya cara untuk memadamkan bara adalah pernikahan.
Kini, Mateo harus hidup sebagai suami dari gadis yang bahkan tidak ia kenal. Tapi di balik status sosial yang berbeda, rahasia yang belum terungkap, dan rasa malu yang mengikat keduanya sebuah cerita tak terduga mulai tumbuh di antara dua orang yang dipaksa bersama oleh takdir yang kejam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon aufaerni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MATEO TIDAK GENTAR
Toko perlengkapan bayi sore itu dipenuhi pasangan muda yang tengah memilih barang-barang lucu untuk buah hati mereka. Livia dengan senyum mengembang, tampak begitu antusias memilih pakaian bayi berwarna pink, menghampiri satu rak ke rak lainnya sambil sesekali menunjukkan baju kecil mungil ke arah Mateo.
Mateo sendiri hanya berdiri beberapa langkah darinya, memandangi istrinya penuh cinta. Melihat Livia tertawa bahagia seperti itu membuat beban di dadanya sedikit menguap.
Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama.
"Wow... ternyata benar, anak Don Velasco sedang borong perlengkapan bayi dengan... istrinya yang oversize," terdengar suara mengejek dari arah belakang.
Mateo menoleh. Sosok yang berbicara itu adalah Liam, pamannya yang paling muda, pria yang selalu merasa lebih tinggi dari siapa pun hanya karena nama belakang mereka sama. Di sebelahnya, berdiri sang istri, wanita dengan tawa nyaring yang langsung menyusul komentar Liam.
"Astaga, Liam! Dia bahkan memilih semua yang berwarna pink. Jangan-jangan... anak kalian perempuan?" ejek si wanita dengan nada menjijikkan, seperti menertawakan aib besar.
Mateo mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras.
"Jaga ucapanmu, Liam." Suaranya rendah namun tegas.
"Ayolah, Mateo." Liam tertawa kecil, menepuk-nepuk bahu keponakannya.
"Kau bisa dapat siapa pun, tampan, walau sekarang kau miskin, tapi kau mantan salah satu pewaris keluarga besar Velasco... dan kau memilih dia? Lihatlah baik-baik." Ia melirik ke arah Livia yang kini terdiam, matanya berkaca-kaca, memeluk erat gaun bayi berwarna merah muda.
Mateo menahan diri, namun nadanya tajam.
"Livia adalah istriku. Calon ibu dari anakku. Dan satu hal yang harus kau tahu, Liam... dia lebih berharga dari semua wanita munafik yang kau kenal."
Mateo segera menggenggam tangan Livia dan menariknya lembut.
"Ayo, kita pergi."
Namun langkah mereka sempat terhenti ketika istri Liam mencibir, "Sayang, kita harus cepat pulang. Aku tak sabar memberitahu Papa. Ini akan jadi kabar besar bahwa anak pertama Mateo ternyata... perempuan."
Liam tertawa sinis. "Oh iya. Kakek Juan pasti senang mendengarnya. Salah satu Pewaris Velasco? Lahir dari rahim perempuan gendut? Dunia akan tertawa."
Mateo tak menoleh lagi. Tapi tatapannya dingin, penuh amarah terpendam. Ia tahu cepat atau lambat, ia harus berdiri di hadapan keluarganya dan melawan semua tradisi busuk yang mengakar di dalamnya.
Dalam perjalanan pulang, Mateo memegang erat kemudi mobil, rahangnya mengeras, tatapannya kosong ke depan. Di sisi lain, Livia hanya diam. Tapi ia tahu suaminya sedang marah, terluka, dan muak.
Begitu mereka sampai di apartemen, Mateo langsung melempar kunci ke meja dan berdiri termenung di dekat jendela, menatap langit senja yang mulai memudar.
“Bajingan itu menghancurkan momen bahagia kita...” gumamnya lirih, nyaris seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Livia mendekat, meletakkan belanjaan mereka di sofa, lalu menghampiri Mateo dan menyentuh lengannya dengan lembut.
“Tenanglah, tidak apa,” bisiknya, mencoba menenangkan. Meski hatinya sendiri remuk oleh ucapan Liam dan istrinya tadi, Livia memilih menahan air mata. Ia tidak ingin menambah beban di bahu suaminya.
Mateo menoleh, matanya merah karena amarah yang ia telan mentah-mentah sejak tadi.
“Aku minta maaf...” ucapnya pelan. “Maaf karena kau harus menjalani semua ini, hidup di antara keluarga dengan tradisi tolol yang memuja kesempurnaan semu... yang mengukur nilai seseorang dari jenis kelaminnya atau bentuk tubuhnya.”
Ia menarik napas panjang, lalu bersandar ke dinding.
“Aku membenci keluarga Velasco, Livia. Aku membenci setiap aturan, setiap kalimat yang tertulis di buku silsilah kami. Tapi aku tak bisa berbuat banyak... Aku bahkan tak yakin bisa melindungimu dari semuanya.”
Livia menatapnya dalam. Tanpa berkata-kata, ia langsung memeluk tubuh Mateo, erat. Membungkus tubuh suaminya yang besar dengan kehangatan sederhana dari hatinya yang tulus.
“Aku tahu kau berjuang,” bisik Livia pelan. “Dan itu sudah cukup bagiku.”
Mateo mengusap punggung istrinya. Hatinya tercekat. Ia tak pernah merasa seaman ini, seutuh ini.
Ia tahu, cinta seperti ini tak akan pernah ditemukan di silsilah Velasco. Tapi ada di pelukan seorang wanita yang hari ini dihina, namun tetap memilih untuk bertahan.
Dan itulah alasan ia akan melindungi Livia dan anak mereka... sampai akhir.
Keesokan harinya pada waktu sore, Mateo datang ke rumah besar keluarga Velasco. Begitu ia masuk ke ruang utama, atmosfer tegang langsung menyergapnya.
Juan Carlos Velasco duduk di kursi kebesarannya, wajahnya dingin dan berwibawa. Di sisi lain, Liam dan istrinya tampak puas, seolah menikmati pertunjukan yang akan segera dimulai.
Don berdiri dengan tangan terlipat, sementara Ariana, ibu Mateo, duduk anggun namun bersikap dingin, wajahnya tidak menunjukkan sedikit pun kehangatan.
"Duduk, Mateo," perintah sang kakek.
Mateo tetap berdiri. "Tak perlu. Aku lebih nyaman berdiri saat dikelilingi orang-orang yang merasa berhak atas hidupku."
"Kami sudah dengar," Juan Carlos memulai, "Anak dalam kandungan istrimu adalah perempuan?"
"Benar," jawab Mateo tanpa ragu. "Dan aku sangat bersyukur akan hal itu."
"Kau tahu aturan kita, Mateo," ujar Liam ikut campur. "Anak perempuan tidak tercatat sebagai bagian keluarga Velasco. Terlebih kalau ia anak pertama."
"Dia tetap anakku!" tegas Mateo. "Kalian bisa abaikan dia dari buku silsilah keluarga, tapi kalian tidak bisa menghapus darah Velasco yang mengalir dalam dirinya!"
Ariana akhirnya angkat bicara, nada suaranya tetap tenang tapi penuh penilaian.
"Anak perempuan tidak membawa kehormatan apa pun, Mateo. Terutama jika lahir dari perempuan seperti istrimu."
Mateo menatap ibunya tak percaya. "Mama membenci anak perempuan, sedangkan mama sendiri adalah seorang perempuan. Lucu sekali keluarga ini."
Ariana tersentak, namun tetap menjaga ekspresinya.
"Mama lebih memilih tunduk pada tradisi yang merendahkan dirinya sendiri. Apakah mama lupa, tanpa seorang perempuan, takkan pernah ada generasi Velasco?" ujar Mateo geram.
Ariana menatapnya tajam. "Jangan bersikap emosional. Ini bukan soal benci atau tidak. Ini soal aturan. Dan kau tahu, aturan keluarga ini tidak dibuat untuk dilanggar."
"Aturan tolol yang sudah membusuk tapi tetap dipuja-puja seolah suci," balas Mateo.
Don mencoba menyela, "Sudah cukup..."
"Tidak, Pa," potong Mateo, suaranya meninggi. "Aku sudah cukup bersabar. Jika kalian semua tidak bisa menerima anak perempuanku, maka aku tidak ingin menjadi bagian dari keluarga ini!"
Juan Carlos berdiri.
"Beraninya kau membangkang."
"Aku tidak membangkang, aku melindungi," jawab Mateo mantap. "Putriku akan tumbuh dengan cinta dan kebebasan, bukan tekanan dan penghinaan seperti yang selama ini terjadi di rumah ini."
Tanpa menunggu reaksi lagi, Mateo berbalik dan keluar dari ruangan itu. Pundaknya tegang, tapi langkahnya mantap. Ia tahu, hari itu ia bukan hanya memilih berpihak pada Livia dan anak mereka tapi juga memutus rantai warisan luka yang diwariskan oleh nama besar Velasco.
Sementara itu pada malam hari didalam ruangan kerja megah bergaya klasik itu, ketiga orang duduk dalam suasana penuh ketegangan. Tirai berat ditutup rapat, menyisakan cahaya lampu gantung yang menggantung mewah di langit-langit. Juan Carlos Velasco duduk di balik meja besar berlapis kayu mahoni. Di depannya, Don berdiri tegar, sementara Ariana duduk dengan tangan terlipat di dada, wajahnya penuh amarah dingin.
"Putra kalian benar-benar mencoreng nama besar keluarga Velasco," ucap Juan Carlos dengan suara berat dan tajam. "Menentang langsung di hadapan semua orang, dan sekarang membanggakan anak perempuan yang bahkan belum lahir."
"Sudah waktunya kita tinggalkan tradisi ini, Papa," ujar Don mencoba tenang namun tegas. "Zaman berubah. Kita tak bisa terus bertahan dengan aturan yang menindas seperti ini."
Juan Carlos menatap tajam putranya. "Dan kau menyebut itu kemajuan? Membiarkan pewaris keluarga membawa aib ke dalam garis darah kita?"
Ariana menyela dengan nada tinggi,
"Jangan salahkan tradisi, Don! Lihat saja perempuan itu, Livia! Ia bukan bagian dari kita! Wanita gendut, tak berkelas, dan sekarang dia mengandung anak yang akan menghancurkan masa depan Mateo!"
Don menoleh pada istrinya dengan tatapan tak percaya. "Ariana, dia istri putra kita. Dan calon ibu dari cucu kita."
"Aku menyayangi Mateo, Don," kata Ariana geram, suaranya bergetar karena emosi. "Justru karena aku menyayanginya, aku tidak ingin dia terjebak dalam hidup menyedihkan bersama perempuan sial itu, dan calon anak perempuan yang jelas-jelas tak pantas menjadi bagian dari Velasco!"
Don membalas dingin,
"Kau tidak menyayangi Mateo. Kau hanya mencintai nama keluarga ini dan gengsimu sendiri."
Ariana membalas cepat,
"Dan kau terlalu lemah untuk menjadi kepala keluarga! Kau biarkan Mateo tumbuh menjadi pria yang menghancurkan kehormatan kita!"
"Cukup!" bentak Juan Carlos, menghentikan perdebatan mereka. "Jika Mateo ingin memilih jalan sendiri, maka kita harus siap menghadapi konsekuensinya. Tapi aku tidak akan mengakui anak perempuan itu sebagai Velasco. Titik."
Don mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. Ia tahu, pertempuran ini belum berakhir. Tapi hari itu, ia bersumpah dalam hati bahwa ia tak akan membiarkan cucunya anak perempuan Mateo dan Livia dibuang begitu saja oleh keluarga yang seharusnya melindunginya.
Matanya memandangi Juan Carlos dan Ariana yang masih duduk membeku dengan wajah penuh penghakiman. Nafasnya memburu menahan amarah.
"Persetan dengan aturan!" hardik Don, suaranya menggema di seluruh ruangan. "Aku muak dengan semua aturan kolot ini!"
Juan Carlos mendongak, menatap putranya dengan wajah mengeras.
"Jaga ucapanmu, Don."
"Aku sudah cukup menjaga semuanya selama ini, Pa!" balas Don tajam. "Menahan diri, mengikuti kehendakmu, mengorbankan kebahagiaanku demi harga diri keluarga ini. Tapi tidak lagi, aku tidak akan membiarkan Mateo kehilangan keluarganya karena aturan tolol yang dibuat ratusan tahun lalu!"
Ariana berdiri, wajahnya memerah karena emosi.
"Don! Kau bicara seolah-olah kita adalah penjahat. Padahal kita hanya ingin yang terbaik untuk..."
"Yang terbaik menurut siapa? Menurutmu? Menurut Papa?" Don menunjuk ke arah ayahnya. "Tidak, Ariana. Yang terbaik untuk anak kita adalah membiarkannya memilih jalan hidupnya sendiri. Termasuk mencintai istrinya dan menerima anak mereka baik laki-laki ataupun perempuan!"
Don berbalik, melangkah keluar dari ruangan dengan langkah cepat dan penuh tekad. Sebelum menutup pintu dengan keras, ia menoleh dan berkata dingin,
"Jika keluarga ini lebih peduli pada nama besar daripada darah dagingnya sendiri, maka aku tak punya alasan untuk terus diam."
Brak!
Pintu tertutup keras, meninggalkan keheningan menyesakkan di dalam ruangan itu.
"Suami dan anakmu sungguh bodoh, Ariana," desisnya tajam tanpa menoleh.
Ariana hanya diam. Wajahnya kaku, tak membantah. Ia sendiri diliputi amarah bukan hanya kepada Mateo, tapi kini juga kepada Don, suaminya, yang memilih berdiri di sisi anak mereka dan menentang tradisi keluarga.
"Aku mempersiapkan Mateo sebagai kandidat utama untuk meneruskan kerajaan bisnis Velasco," lanjut Juan Carlos, suaranya naik turun penuh tekanan. "Dari semua cucuku dan bahkan putraku, termasuk Liam yang hanya bisa berlagak dari harta warisan, hanya Mateo yang punya otak dan nyali untuk memimpin. Aku bahkan menutup mata pada kegagalannya dulu pada kebangkrutan bisnis yang seharusnya jadi tonggak keberhasilan Don."
Ia berbalik menatap Ariana dengan sorot mata penuh kekecewaan.
"Tapi sekarang lihatlah... jiwa pembangkangnya kambuh lagi. Dan lebih parah, suamimu ikut-ikutan seperti tak punya pendirian!"
Ariana menunduk perlahan. "Maafkan suami dan putraku, Papa," ucapnya pelan, mencoba menurunkan bara kemarahan sang ayah mertua.
Namun Juan Carlos mengibaskan tangan. "Cukup. Pergilah. Aku sakit kepala melihat carut-marut keluarga ini!"
Ariana berdiri, wajahnya tetap tenang tapi dalam hatinya berkecamuk. Ia melangkah keluar ruangan dengan langkah pelan, sementara Juan Carlos kembali membelakangi pintu, menatap langit malam yang gelap merasa pengkhianatan datang dari dalam rumahnya sendiri.
dan suka juga niii cerita nya, langsung satset gak pake lama cerita penelurusan Alana nya 👍👍😁🤩🤩
hmm jd gak kuat baca nya..
gak sanggup terlalu banyak kekejaman..
tp mau tahu endingnya..
lanjut kak
jangan kecewakan endingny ya kak/Facepalm/