NovelToon NovelToon
Antara Jiwa, Cinta Dan Pembebasan Malaka

Antara Jiwa, Cinta Dan Pembebasan Malaka

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Poligami / Dikelilingi wanita cantik / Perperangan / Ilmu Kanuragan
Popularitas:267
Nilai: 5
Nama Author: Dimas riyana

Pagi yang cerah di suatu pulau bagian utara Jawa, desiran ombak dan suara burung-burung pagi sudah menghiasi dermaga, beberapa nelayan yang baru pulang melaut sedang memilah-milah hasil tangkapan, seorang pemuda yang tegap dan gagah terlihat sibuk dengan perahu cadiknya.
“hoooyyy... Wahai laut, hari ini aku akan mengarungimu, aku akan menjadi penjaga laut Kesultanan, kan ku berantas semua angkara murka yang ingin menjajah tanah Jawa, bersiaplah menerima kekuatan otot dan semangatku, Hahahaha..
”Rangsam berlayar penuh semangat mengarungi lautan, walau hanya berbekal perahu cadik, tidak menurunkan semangatnya menjadi bagian dari pasukan pangeran Unus. Beberapa bulan yang lalu, datang Prajurit Kesultanan ke pulau Bawean, membawa selembar kertas besar yang berisi woro-woro tentang perekrutan pasukan Angkatan laut pangeran Unus Abdurrahman, dalam pesan itu tertulis bahwasanya pangeran akan memberantas kaum kuning yang selama ini sudah meresahkan laut Malaka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dimas riyana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

AKU RANGSAM, PRAJURIT BINTARA 7

Malam sudah mulai menyelimuti jagat, kumandang azan sudah berlalu beberapa waktu, dan sholat maghrib baru selesai di tunaikan. Prajurit-prajurit baru itu menikmati suasana malam di tepi pantai, kebetulan saat itu terang bulan, kegagahan gunung Muria nampak bak siluet biru keperakan, bermandikan cahaya bulan dibantu sinar kecil dari bintang-bintang. Rangsam baru saja menyelesaikan ayat terakhirnya, Al-quran lusuh ia cium, kemudian didekap, berharap merasuk ke dalam sanubarinya. Angin laut tanpa ragu menyapa, mengacak-acak rambut sebahunya. dinginnya air wudhu masih menjadi sensasi tersendiri, seakan sejuk, seakan meresap, seakan-akan menyejukkan raga dan membersihkan hati. Rangsam begitu merasa syahdu, berpegang teguh kepada agama adalah suatu keharusan, karena agama ibarat baju, yang harus dipakai, dicuci dan dirawat, pakaian seumur hidup yang perlu dihiasi, diberi wewangian, agar nanti saat bertemu Tuhan, sang pemilik baju dalam keadaan yang indah.

Perlahan namun pasti, sesosok bayangan hitam mulai mendekatinya, tinggi besar. perlahan bayangan itu mulai jelas, tersibak oleh cahaya obor yang tertempel di batang kelapa. rupanya sesosok pria tinggi besar, memakai jubah bermotif ramai wana coklat kemerahan, disambung dengan tudung, menambah suasana misterius dari si pemilik sosok. Suasana dingin tiba-tiba menjangkiti Rangsam dan sekitarnya, namun Rangsam tetap tenang, menunggu ia mendekat dan mengucapkan salam, dan benar saja, salam terlontar darinya.

“assalamu’alaikum”.

“waalaikumsalam kapitan”.

“boleh aku duduk di sampingmu?”.

“silahkan kapitan, dengan senang hati”.

“trimakasih”.

“adakah hajat apa yang membuat kapitan Uzglu menemui hamba?”.

“aku ingin sedikit bertanya kepadamu, soal kemampuanmu menembak, dan caramu melempar belati, sepertinya aku tidak asing, dari mana kau mempelajarinya?”.

“hamba hanyalah anak desa dari Sangkapura pulau bawean, tidak banyak guru yang mendidik hamba, hamba hanya belajar dari dua orang sahaja, ayah hamba, wiyakrakusuma dan guru hamba, syech Abdul Karim “.

“syech Abdul Karim?, apakah syech mu itu asli pulau tersebut?”.

“tidak tuanku, bliau berasal dari Minangkabau”.

“Minangkabau?, apakah itu daerah di ranah melayu?”.

“benar sekali yang tuanku katakan”.

“apakah syech mu itu memiliki luka di pipi kiri?”.

“benar sekali tuanku, bagaimana tuanku mengetahuinya”. Rangsam sedikit menggeser posisi duduk nya.

“apakah syech mu itu pernah mengajarkan dua belas kalimat, salah satunya, barang siapa tiada memegang agama, Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama , pernahkah ia mengajarkannya?”.

“semua yang tuanku tanyakan, benar-benar merujuk kepada guru hamba, syech Abdul Karim”.

Tiba-tiba kapitan Uzglu berdiri, sepertinya terkejut dengan apa yang dibenarkan oleh Rangsam, kemudian menatap Rangsam dengan tajam.

“wahai anak muda, jangan pernah sekali-kali kau membohongiku”.

“pantang manggis memiliki guratan berbeda dengan isinya wahai tuanku”.

Kapitan Uzglu kemudian berlutut menghadap Laut, seolah-olah tidak percaya, matanya menatap kosong ke arah laut, seolah ada sesuatu yang terpendam antara ia dan syech Abdul Karim, dan sepertinya, Rangsam melihat titik bercahaya dari sudut matanya, benar, kapitan Uzglu yang gagah dan dingin, menangis membelakangi Rangsam, menatap kosong ke arah laut. Rangsam hanya tersenyum, kemudian berkata.

“Tuanku, desa saya berada di arah timur laut dari tempat ini”.

Seketika kapitan Uzglu menengok wajah Rangsam, rupanya air mata sudah berderai, tanpa sepatah kata pun, kapitan Uzglu berjalan ke arah pantai, kemudian ia melompat ke dalam perahu, dengan cepat ia mendayung ke arah timur laut, sungguh cepat sekali dayungan kapitan Uzglu, Rangsam hanya bisa melihatnya ditelan kegelapan malam. sepertinya ada rindu yang begitu mendalam, ada banyak kisah yang tersimpan, dibalik sosoknya yang dingin dan misterius, terlihat sisi lain dari seorang kapitan Uzglu, kapitan pilihan dari Kesultanan adidaya, Kesultanan Utsmaniyah yang perkasa.

“Sehebat apa dirimu, sehingga dapat membuat batu menangis”.

“apa yang tuan bicarakan, aku tidak mengerti”, jawab Rangsam kepada kapitan Oerip, yang tiba-tiba muncul.

“Aku bicara tentang Uzglu, kenapa dia bisa seperti itu, seumur aku menjadi prajurit negara, dari semenjak ia menapakkan kaki di tanah Jawa, hingga saat ini, baru aku melihat ia menangis, ada apakah gerangan ”.

“tidaklah mungkin tuanku tidak mendengarnya ”.

“ouh, jadi kau mengira aku menguping pembicaraan kalian?, maaf saja, aku bukan orang yang seperti itu”.

“maafkan saya tuanku, dengan kemampuan tuan, bukanlah hal mustahil untuk menebak isi pembicaraan kami”.

“kau memang seperti Kancil, ada saja alasanmu, malam ini aku ingin menunaikan janjiku, sebelum kau menunaikan janjimu, jadi, aku lebih dulu membayar”.

“baiklah, aku sudah siap menerima pelajaran darimu”, Rangsam terlihat amat senang, karena kapitan Oerip hendak mengajarinya ilmu gaib.

Sementara itu di barak, Lodra yang sedari tadi pingsan mulai sadar, ingatannya samar-samar, ia mengingat bagaimana wajah Rangsam yang terlihat serius mengobati lukanya.

“Dimana aku, kepalaku pusing sekali”, Lodra memegangi kepalanya.

“Kamu di barak pengobatan, aku Tukul, dari bagian pengobatan, tabib sudah memberikanmu obat agar panasmu turun, alhamdulillah, berkat Rangsam nyawamu tertolong”.

“Rangsam?, si bocah tengik itu menolongku?, dimana dia sekarang?, aku belum mengucapkan terimakasih”.

“Rangsam sedang membaca Al-Quran di tepi pantai, besok saja kau berterimakasih, kondisimu belum pulih betul”.

“aarrrhgg... Kepalaku sakit sekali”.

“sebentar, aku ambilkan obat untukmu”.

Lodra merasa sangat berhutang budi kepada Rangsam, ia tidak menyangka bahwa nyawanya dapat terselamatkan oleh bocah dari sebuah pulau yang terpencil. Ia juga sedikit tidak enak karena telah mengolok-olok Rangsam dengan sebutan bocah tengik yang sombong, rupanya kesan awal yang ia tampilkan tidak benar sama sekali.

“ini, minumlah, semoga bisa meredakan sakit di kepalamu”.

“trimakasih kang Tukul”.

“sama-sama, sudah tugasku, tidak perlu berterimakasih, oh iya, kudengar, kau ini putranya Sora kumbara ya?”.

“iya, dari mana kang Tukul tau?”.

“nampaknya kau lupa kepadaku”.

“lupa?, apakah kita pernah bertemu sebelumnya?, mohon maaf kang, mungkin karena imbas dari racun yang merasuki tubuhku, aku betul-betul minta maaf”.

“sudahlah, jangan kau pikirkan, itu sudah lama sekali, saat itupun aku masih menjadi prajurit remaja, aku adalah saksi dimana kau menyelamatkan tuan menteri, sungguh mengagumkan, seorang bocah yang mendapatkan tanda jasa di usia sangat muda”.

“oh benarkah, kang Tukul ada di sana waktu itu?, aku tidak menyangka bisa bertemu denganmu kang, dan sialnya aku tidak mengenalimu”.

“wajar kau tidak mengenaliku, karena saat itu akupun tidak memperkenalkan diri, namun kehebatanmu menjadi buah bibir di kalangan prajurit istana”.

“itu hanya kebetulan saja kang”.

“kebetulan ataupun tidak, keberanianmu patut dipuji”.

“lantas, kenapa kakang sekarang menjadi prajurit ketabiban?”.

“aku menyukai dunia pengobatan, dan aku juga ingin mengabdikan diri pada negara, jadi keputusanku untuk ambil bagian di sini sudah tepat”.

“kamu hebat sekali kakang, patut menjadi contoh bagi prajurit muda seperti saya”.

“sudahlah, sekarang kamu istirahat, agar cepat pulih, agar bisa membela tanah air lebih baik lagi”.

Rangsam dan kapitan Oerip masih di tepian pantai, bukan latihan, mereka hanya duduk sila berhadapan, Rangsam terlihat menunduk, hikmat mendengar apa yang disampaikan oleh kapitan Oerip, Rangsam hanya mengangguk sesekali, entah apa yang sedang disampaikan oleh kapitan Oerip. Mungkin untuk belajar ilmu dari kapitan Oerip, diperlukan pemahaman yang mendasar, karena bukan sembarangan ilmu, sebuah ilmu yang mungkin akan berguna di medan pertempuran kelak. Kapitan Oerip memang sudah lama ingin menurunkan ilmunya kepada prajurit lain, namun ia rasa belum ada yang cocok dan pantas, semenjak kejadian tadi siang, dan apa yang ia lihat dan dengar percakapan Rangsam dengan kapitan Uzglu, kapitan Oerip menjadi semakin mantap, bahwasanya Rangsam lah orangnya, yang pantas mewarisi keilmuan langka ini.

Apalagi kapitan Oerip merasakan sendiri, bahwa Rangsam bukanlah orang sembarangan, ia merasakan aura yang luar biasa besar, seperti aura para raja, namun masih ia tepis, mana mungkin seorang prajurit rendah memiliki aura sebesar itu, jika kecuali ia memiliki trah dari raja-raja Kerajaan terdahulu, semua itu bisa masuk akal, namun, semua keturunan dari Kerajaan terdahulu juga menjadi pejabat dan pemegang posisi penting di Kesultanan, bahkan Sultan sendiri adalah keturunan dari raja terakhir Kerajaan terdahulu, akal sehat dan kenyataan yang ia rasakan sangat berbanding terbalik.

Namun kapitan Oerip masih penasaran dengan ayah Rangsam, Wiyakrakusuma, apakah benar, Wiyakrakusuma ayah Rangsam adalah Wiyakrakusuma yang ia maksud. Tapi bukankah Wiyakrakusuma yang ia maksud sudah mati ditelan ombak, dan Oerip sendiri yang menyaksikannya. Saat itu adalah ekspedisi Bintara untuk menaklukkan wilayah dayak, belum sampai di tanah dayak, badai besar menghantam armada laut Bintara, hanya beberapa orang saja yang selamat, termasuk kapitan Oerip, yang saat itu masih menjadi pengawal pangeran Bintara.

“Baiklah, wejangan malam ini sudah cukup, kuharap kau mengerti apa yang aku sampaikan”.

“baiklah tuanku, trimakasih atas semua yang tuanku berikan”.

“sama-sama, sekarang kau beristirahatlah, besok kau harus melanjutkan latihan dengan kapitan Keker”.

“trimakasih kapitan, hamba pamit undur diri”.

“silahkan”.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!