Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Antara Rel dan Dendam
Gavin menyalakan mesin mobil dan meninggalkan rumah Damian tanpa sepatah kata pun. Di dalam mobil, suasana terasa membeku. Tak ada suara selain deru mesin dan hembusan napas yang ditahan. Keduanya menyimpan kemarahan masing-masing, menyulut bara yang siap meledak kapan saja.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum Vanesa akhirnya angkat suara.
"Turunkan aku di depan."
Gavin tidak merespon. Masih bergeming, matanya tertuju ke jalanan, tapi pikirannya jauh lebih gelap dari langit malam.
"Gavin, turunkan aku di depan. Aku ingin ke toko," ulang Vanesa, suaranya mulai berat, menahan letih dan luka batin yang belum sempat sembuh.
Gavin akhirnya meminggirkan mobil. Ia menoleh, menatap Vanesa dengan tajam.
"Cuma itu yang mau kamu katakan?"
Vanesa menahan diri untuk tidak membalas. Energinya terkuras habis sejak di rumah Damian, menghadapi empat orang yang menyayat hatinya.
"Aku tidak punya hal lain untuk dikatakan."
Gavin tertawa miring, menyeringai seperti srigala yang menemukan mangsa lemah. Dengan kasar, ia menoyor kepala Vanesa dengan satu jari.
"Kamu masih bodoh dan lemah seperti dulu!"
Vanesa hanya menunduk. Ia tahu, melawan Gavin hanya akan memperparah keadaan. Dalam hatinya, ia ingin berteriak. Kedua pria itu—Gavin dan Gavin—sama-sama telah merobek jiwanya.
"Apa yang sudah diberikan laki-laki itu padamu sampai kamu rela bertekuk lutut?"
"Itu bukan urusanmu, Gavin," jawab Vanesa tegas namun lemah.
"Oh, begitu ya? Jadi setelah aku menyelamatkanmu dari para penjahat, kamu membalasnya begini?"
Vanesa memejamkan mata, mencoba menahan sakit hati. "Kalau kamu hanya ingin ucapan terima kasih, terima kasih, Pak Gavin. Sekarang, aku akan turun."
Tangannya bergerak ke handle pintu, tapi terkunci. Gavin menginjak pedal gas dan melaju.
"Kita mau ke mana?" tanya Vanesa, kini putus asa.
"Diam dan ikuti saja permainanku."
Mobil berhenti di sebuah rumah tua di tepi pantai Ancol. Gavin menyeret Vanesa keluar dari mobil, menyeretnya ke dalam rumah seperti menawan seorang tahanan. Ia mendorong Vanesa ke sofa dan mulai melepaskan pakaiannya dengan tergesa.
Vanesa panik. Saat bibir Gavin mencoba mencium paksa, ia menolak keras.
"Kenapa? Bukankah kamu menginginkan uang?"
Vanesa mencoba berdiri, menolak sentuhan itu dengan seluruh tenaganya.
"Aku akan mengatasinya , Gavin."
"Tidak ada yang bisa membantumu selain aku! Hanya aku yang bisa menyelamatkanmu!"
Karena emosi, Gavin mendorong tubuh Vanesa kembali ke sofa. Pinggang wanita itu terbentur keras pada pegangan sofa.
"Aahh!" Vanesa meringis, memegangi pinggangnya. Napasnya memburu, ia bahkan tak mampu berdiri.
Gavin berdiri membeku, wajahnya keras dan urat leher menegang.
"Aku benci penolakan, Danita! Dan kamu berkali-kali menolakku. Tapi, pada akhirnya kamu menjual tubuhmu.Kamu sama bodohnya dengan ayahmu!"
Vanesa tak menjawab. Ia bangkit dengan susah payah, wajahnya pucat dan tubuhnya gemetar. Ia mencoba melangkah ke arah pintu, tapi tubuhnya tumbang.
Untungnya, Gavin menangkap tubuh Vanesa tepat sebelum menyentuh lantai.
*
Vanesa pingsan dan masuk ke dalam mimpi yang indah. Masa kecil yang indah, diamana dirinya di perlakukan bak seorang puti raja, oleh keluarganya.
"Vanesa! Sayang, bangunlah, putri cantikku!"
Dalam mimpinya, suara ayahnya terdengar hangat dan lembut.
"Papi, kita mau ke mana?" tanya Vanesa kecil.
"Papi akan mewujudkan semua keinginanmu. Katakan saja. Baju baru? Liburan? Semua untuk princess Papi."
Vanesa kecil tertawa dan memeluk ayahnya.
Namun saat ia membuka mata, kenyataan pahit menyeruak. Ia terbangun di ranjang asing. Wajah dingin dan tajam milik Gavin menatapnya.
'Andai saja ini hanya mimpi buruk,' batinnya. Ia berkedip tiga kali, berharap wajah Gavin menghilang. Tapi pria itu tetap di sana.
Sakit di punggung menyerangnya seperti badai. Ia meringis, mencoba bangun.
"Jangan bangun kalau kamu masih ingin hidup. Kalau kamu ingin mati, silakan," ujar Gavin, dingin seperti es.
Vanesa bukan ingin mati, hanya saja... ada yang lebih penting dari rasa sakitnya. Nyawa ayahnya terancam. Waktu yang diberikan penjahat itu tinggal dua jam.
Ia memaksa duduk. Keringat dingin membasahi dahinya. Tangan kirinya meraba pinggang—bengkak.
"Tinggallah di sini. Aku akan membantumu," ucap Gavin.
Vanesa menatap pria itu tajam.
"Tidak perlu."
"Kamu bisa apa? Mau meniru ibumu? Menjual tubuhmu pada pria asing, demi uang?"
Hinaan itu seperti pisau yang mengoyak dadanya. Vanesa menunduk, tak sanggup membalas. Tenaganya habis.
"Tawaran ini tidak berlaku dua kali. Kalau kamu keluar dari pintu itu, jangan pernah minta bantuanku lagi," Gavin memperingatkan, suaranya tajam.
Vanesa memilih keluar. Tatapan penuh benci Gavin mengiringi langkah tertatihnya.
*
Ia menghentikan sebuah taksi.
"Ke rumah ayah saya, Pak. Cepat."
Di dalam taksi, sebuah pesan masuk.
[Waktu kamu tinggal satu jam. Jika uang belum ada, pria ini mati.]
Vanesa menahan napas. Foto adiknya yang terikat di kursi muncul di layar.
Lalu pesan kedua datang.
[Adikmu yang pertama. Kalau sampai besok uang belum masuk, ayahmu giliran kedua.]
Disertai foto ayahnya yang terbaring di rumah sakit. Jantungnya berdetak tak karuan, tangannya gemetar.
"Mbak, nggak apa-apa?" tanya sopir taksi.
"Pinggang saya sakit, Pak. Terjatuh tadi."
Supir menawarkan ke rumah sakit, tapi Vanesa menolak.
"Antar saya ke rumah ayah."
Setibanya di sana, malam semakin pekat. Kuncinya tertinggal. Ia tak bisa masuk.
Ia terduduk di teras, memeluk lutut, menenggelamkan wajahnya. Tangisnya pecah.
'Aku akan kehilangan Papi dan adikku... lebih baik aku yang pergi duluan.'
Rel kereta api tak jauh dari rumah ayahnya. Tanpa pikir panjang, Vanesa melangkah ke sana.
"Kalau mereka mati... aku tidak punya alasan untuk hidup."
Lampu kereta terlihat dari kejauhan. Suara roda besi menghantam rel menggema.
"Awas! Minggir!" teriak orang-orang dari kejauhan.
Vanesa berdiri diam, seperti patung.
Braaak!
“Kalau mereka mati... aku tidak punya alasan untuk hidup.”
bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini