NovelToon NovelToon
Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Tetaplah Di Sisiku (After 10 Years)

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintamanis / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kehidupan Tentara / Romansa / Dokter / Gadis Amnesia
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Pena Fantasi

Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.

Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bincang soal pernikahan?

"Sayang, kamu gak istirahat?" tanya Haris lembut, menyongsong Nahda yang baru saja masuk rumah setelah dari taman belakang. Haris mendekat, memeluk erat kekasihnya. "Nanti kamu sakit loh... kamu pasti capek."

Nahda bersandar di pelukan Haris, kelelahan terpancar dari sorot matanya. "Tapi... kapan kita mau ke makam Ibu sama Bapak?"

Haris mengusap punggung Nahda menenangkan. "Besok kita pergi ya... nanti Nara yang antar kamu. Aku besok harus pergi buat laporan misi."

"Oh, gitu..." Nahda mengangguk lesu.

"Ayo aku antar kamu ke kamar ya... barang-barang kamu sudah aku rapikan. Kamar kamu dekat dengan adikmu."

Nahda mengangguk lagi, kali ini disertai senyum tipis. Ia berjalan menaiki anak tangga, Haris membantunya dengan memegangi bahunya. Kepalanya masih berdenyut, rasa lelah mendera. Istirahat sejenak adalah hal yang ia butuhkan.

Haris menunjukkan sebuah kamar. "Ini kamar kamu untuk sementara dulu ya... ayo masuk."

Saat memasuki kamar, mata Nahda terbelalak. Kamar itu begitu indah, bak kamar hotel mewah, dengan sentuhan estetika yang memukau.

"Kamu suka sama kamarnya, hm?" Haris memeluk Nahda dari belakang, suaranya berbisik di telinga Nahda.

"Suka sekali... kamarnya juga cantik... makasih ya," balas Nahda, senyum manis menghiasi wajahnya. Haris melepaskan pelukannya, menuntun Nahda ke kasur.

"Kamu istirahat ya... kalau butuh apa-apa bisa ke aku."

"Iya... tapi sebelum itu aku mau mandi dulu."

"Ya sudah... habis itu istirahat ya... aku ke bawah dulu."

Muachh... Muachhh...

Haris mengecup pipi kanan dan kiri Nahda penuh kasih sayang sebelum pergi, tak lupa menutup pintu kamar dengan perlahan. Nahda segera melangkah ke kamar mandi, membersihkan diri dari lengketnya perjalanan panjang.

Di ruang keluarga, Haris mendapati keluarganya berkumpul. Nara duduk di samping Ayah, keduanya fokus mengobrol.

"Ngomongin apa sih?" tanya Haris penasaran, langsung mengambil tempat di sofa samping Nara.

"Nahda mana? Sudah istirahat?" tanya Bunda.

"Sudah, Bun... dia ada di atas, kamarnya di samping kamar Nara. Oh iya, Dek, kamu besok bisa antar Kakak kamu ke makam Ibu sama Bapak? Katanya pengen ketemu."

"Boleh dong, Bang... nanti gue antar dia ke sana. Lo gak usah khawatir," jawab Nara santai, menyetujui permintaan Haris.

Haris tersenyum simpul melihat calon adik iparnya ini. Mereka kembali menyantap kue yang dihidangkan Bunda, menghabiskannya agar tidak mubazir.

"Oh iya... Bunda bilang kamu mau menikahi Nahda... kapan? Jangan lama-lama, gak baik apalagi kalian masih belum mahram," ujar Ayah, suaranya tenang namun penuh makna.

"Itu, Yah, yang Haris ingin bicarakan sama kalian semua... Haris sama Nahda sudah sepakat untuk menikah di sini. Tapi, Haris juga harus mengurus beberapa dokumen buat pengajuan nikah dulu."

"Oh iya... segera urus itu. Urusan pesta biar Ayah sama Bunda yang urus."

"Iya... secepatnya Haris bakal urus semuanya. Tapi, apa Ayah merestui kami?" Haris menatap Ayah dengan harap-harap cemas.

Ayah dan Bunda tersenyum, kebahagiaan terpancar di wajah mereka. "Ayah setuju banget kalau kamu nikah sama gadis impian kamu... Ayah gak mempermasalahkan status sosial. Bagi Ayah, kebahagiaan kamu lebih penting."

"Kalau kamu, Ra? Apa kamu merestui Abang buat nikahi kakakmu?" Bunda menatap Nara.

Nara yang sedari tadi diam ikut tersenyum, mengangguk pelan. "Gue selalu merestui Lo, Bang... karena Lo, kakak gue balik ke sini. Gak ada alasan gue buat gak merestui Lo jadi kakak ipar gue."

"Alhamdulillah... makasih ya, Ra." Haris merasa sedikit lega. Restu dari keluarga intinya sudah di tangan. Kini, tantangan selanjutnya adalah memperkenalkan Nahda pada keluarga besarnya. Ia tak ingin Nahda mengalami hal buruk lagi terkait keluarganya, namun bagaimana pun, keluarga besarnya harus tahu tentang pernikahannya.

"Yah... urusan keluarga besar gimana? Sebenarnya aku malas bahas apapun sama mereka."

"Kamu gak boleh gitu... Itu biar nanti Ayah aja yang urus. Kamu gak usah takut... fokus sama tujuan kamu."

"Nanti kita ngadain acara keluarga lagi buat bicarakan ini," imbuh Bunda.

Haris menghela napas berat, pasrah. "Sebenarnya aku gak peduli mereka ada atau tidak... tapi mau gimana lagi."

"Yeeeeeee!!! Abang mau nikah sama Kak Naaaa!! Dari dulu aku pengen Abang sama Kak Na bersatu lagi... akhirnya Kak Na bakal jadi kakak aku!!" pekik Hamzar senang, melompat-lompat kegirangan. Impiannya memiliki Kak Na sebagai kakak ipar akan segera terwujud.

Mereka semua tertawa bersama. Suasana rumah yang tadinya kaku, kini kembali hangat, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Sebuah keajaiban, seolah cahaya telah kembali hadir setelah padam begitu lama, membawa keluarga itu kembali normal seperti sedia kala.

"Eunghhhhh," lenguh Nahda saat terbangun dari tidurnya.

Tidur yang sangat nyenyak, berkat tempat tidur yang nyaman dan empuk. Ia melirik jam dinding, menunjukkan pukul 7 malam. Waktunya menyiapkan makan malam. Ia segera mencuci wajah dan mengganti baju dengan yang lebih sopan.

Setelah bersiap, Nahda perlahan membuka pintu kamarnya, mengendap-endap. Ia menoleh ke kanan dan kiri, mencari seseorang. "Rumah segede gini tapi gak ada orangnya? Pada pergi ke mana?" gumam Nahda, kebingungan melihat rumah yang sepi. Bahkan dapur pun tak ada aktivitas.

Karena tubuhnya sudah pulih, ia berinisiatif memasak makan malam untuk keluarga calon suaminya dan adik kesayangannya. Ia memeriksa bahan di kulkas, matanya terbelalak melihat isinya yang lengkap dan berkualitas. "Apa aku lancang ya? Ibu... Haris, maafin aku ya lancang buka kulkas."

Ia mengambil beberapa bahan sederhana agar cepat selesai. Menu pilihannya: sayur bayam jagung, goreng jagung, dan ayam goreng lengkuas. Setelah bahan terkumpul, ia mengikat rambutnya rapi agar tidak mengenai makanan. Kemudian, ia mulai memotong, menumis, dan menggoreng.

Alarm makan malam berbunyi. Satu per satu anggota keluarga keluar dari kamar masing-masing, tertarik oleh aroma masakan yang begitu menggugah selera. Nara yang pertama keluar, langsung menyadari siapa yang memasak malam ini. Pasti dia, batinnya. Ia segera turun ke bawah untuk memastikan. Ayah dan Bunda pun saling pandang, penasaran siapa yang memasak seharum ini. Para pekerja biasanya hanya bekerja sampai sore.

"Harum banget, Bang... Bunda masak apa ya kali ini?" tanya Hamzar pada Haris.

"Gak tahu Abang juga... ayo turun."

Nara yang sudah lebih dulu di dapur, tersenyum lebar. Ia melihat wanita muda sibuk memasak. Tak salah lagi, itu adalah masakan kakaknya yang sudah lama ia rindukan. Naluri seorang adik tak pernah bohong.

"Kak? Lo masak?"

Nahda menoleh. "Eh... kamu dari mana? Kok tadi gak ada?"

"Dari kamar, Kak... sini gue bantu ya."

Nahda memasak, sementara Nara menyiapkan peralatan makan di meja makan. Tak lama, yang lain pun ikut turun ke dapur. Mereka melihat dua orang sibuk mempersiapkan makan malam, namun fokus utama mereka tertuju pada sosok yang memasak.

"Sayang?"

Nahda dan Nara menoleh ke arah keluarga Haris. Nahda hanya tersenyum, lalu melanjutkan masaknya.

"Jadi kamu yang masak? Ya ampun... sudah lama Bunda gak nyium masakan kamu," ujar Bunda, wajahnya berseri-seri. "Kalian bertiga duduk aja... biar Bunda yang beresin semuanya..." Bunda ikut membantu Nahda menyelesaikan masakannya.

"Kamu masak apa, Sayang?" tanya Bunda.

"Eumm... S-sayur bayam, goreng jagung sama ayam lengkuas... itu aja."

"Waahh, enak tuh... sini Bunda bantu buat bareng jagungnya."

"I-iya." Nahda masih merasa gugup, canggung di depan keluarga kekasihnya. Mungkin karena sudah lama tidak bertemu.

Sementara itu, para pria memperhatikan kedua wanita itu memasak. Ayah menyenggol bahu Haris, tersenyum jahil. "Calon istri idaman, hehe."

"Iya dong... Haris gitu loh... gak pernah salah pilih," bisik Haris membalas Ayah.

Hampir satu jam berlalu, semua hidangan sudah tersaji di meja makan. Semua orang sudah duduk di kursi masing-masing, kecuali Nahda yang masih berdiri, bingung harus duduk di mana.

"Sayang... sini samping aku."

"Kak Na... samping aku aja."

"Lo deket gue sini."

Ketiga pria beda usia itu berebut untuk bisa duduk di samping Nahda. Ada rasa bahagia di hati Nahda karena keberadaannya diakui. Ia memilih duduk di samping Haris. Kedua pria lainnya mendengus kesal karena tidak dipilih.

Mereka mulai menyantap hidangan. Nara yang baru saja memasukkan makanan ke dalam mulutnya, tiba-tiba terdiam. Ia mengunyah perlahan, menikmati setiap sensasi masakan kakaknya. Jujur, ia bisa saja menangis lagi karena akhirnya bisa merasakan masakan sang Kakak kembali.

"Wahhh, kaya mimpi aja bisa makan masakan Kak Na lagi... udah lama banget ya, Bun," ujar Hamzar jujur.

"Iya, benar..."

Mereka kembali fokus makan malam, hanya terdengar suara sendok dan garpu beradu. Saat makan, Bunda melihat raut wajah Nahda seolah tertekan. Apakah ia tidak nyaman dengan suasana di rumah ini?

"Nahda, Sayang... kamu kenapa?" tanya Bunda lembut.

Nahda hanya menggeleng, tersenyum tipis tanpa suara.

"Jangan canggung, Nak... kami di sini keluarga kamu. Dulu kamu sering ke sini, ya kan, Bang? Masak bareng Bunda... ngobrol sama Ayah... Bunda harap kamu bisa kembali menerima keadaan di sini ya, Sayang."

"I-iya, Bun...da..."

"Aku sudah selesai!" seru Hamzar.

"Cuci langsung piringnya... jangan didiamin doang," seru Bunda.

Setelah makan malam, mereka semua mencuci piring masing-masing agar tidak memberatkan satu orang saja. Kemudian, mereka kembali berkumpul di ruang tengah, namun hanya Ayah, Bunda, Haris, dan Nahda. Nara dan Hamzar kembali ke atas untuk mengerjakan tugas.

"Na... Bunda mau nanya sama kamu, boleh?"

"Boleh, Bunda..."

"Kamu serius ingin menikah dengan Haris?"

Nahda terdiam sejenak, lalu menganggukkan kepala. "Iya, Bun..."

"Kamu tahu kan kalau Haris itu seorang tentara? Kalau misal kamu menikah, apa kamu sanggup kalau Haris sering bepergian misi dalam waktu yang lama?" Bunda menatap Nahda lekat.

Nahda menghela napas panjang. "Insyaallah aku sanggup, Bun... aku bakal tetap bertahan selama Haris tidak melakukan yang membuatku harus melepaskannya."

Mendengar jawaban Nahda yang tulus dan bersungguh-sungguh, Bunda tersenyum lebar. "Bunda makin sayang sama kamu... pokoknya nanti Bunda bakal buat pesta yang meriah untuk kalian berdua, anak-anak Bunda."

Haris dan Nahda saling berpandangan, seolah ada yang ingin mereka bicarakan. "Eum... Bun... aku gak bermaksud nolak buat adain pesta meriah... tapi, Haris ingin mengurusnya sendiri pakai uangku sendiri... ini sudah disepakati sama kita berdua..." Haris berbicara hati-hati agar tidak menyakiti perasaan ibunya.

Namun, reaksi Bunda justru sebaliknya. Bunda tersenyum lebar mendengar penuturan anaknya itu. "Baiklah, Bang... tapi kalau kamu butuh bantuan jangan sungkan ya."

"Iya, Bun..."

"Sudah... hari ini cukup segini aja dulu ya... kamu cepat urus pengajuan nikah ya... nanti kita bicarakan lagi sama kakek nenek kamu juga... sekalian kenalin Nahda ke keluarga besar kita," ujar Ayah.

"Baik, Yah..."

Setelah berbincang, mereka pun berpencar, kembali ke kamar masing-masing. Walaupun belum terlalu malam, suasana malam itu tampak sangat sepi. Meskipun sudah berada di satu atap, tak menutup kemungkinan Haris merindukan kekasihnya. Ia hanya bisa bersabar menunggu sampai Nahda jadi istri sahnya.

Sementara di kamar Nahda, ia sedang membereskan tempat tidurnya. Karena sudah tidur dari siang, agak sulit baginya untuk tidur kembali. Ia mengisi waktu dengan merapikan kamarnya. Terdengar ketukan pelan di pintu kamarnya.

"Kak... gue boleh masuk?"

Itu suara adiknya, Nara.

Kreeeekkk...

Pintu terbuka, menampilkan pemuda tampan dengan rambut sedikit acak-acakan, mendekati kakaknya.

"Ada apa?"

"Eumm... gue boleh tidur di sini? Pengen tiduran sambil dielus kepala kaya dulu Lo sering lakuin ke gue, Kak... pleaseee," pinta Nara, memohon.

Nahda tersenyum, mengangguk pelan menyetujui permintaan adiknya. "Boleh... tidur aja dulu."

Pintu kembali tertutup, namun tidak dikunci. Nara sudah naik ke atas ranjang kakaknya, langsung merebahkan tubuhnya di paha Nahda, dibalut selimut. Nahda mulai mengelus rambut adiknya dengan lembut sambil bersenandung. Suara itu membuat Nara semakin tenang. Tak lama kemudian, matanya tak bisa menahan beban, dan ia tertidur pulas.

Nahda merasakan adiknya telah tertidur. Ia memperhatikan wajah adiknya yang sudah beranjak dewasa itu, mengelus rahang tegas Nara dengan sayang. "Tidur yang nyenyak ya."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!