Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tangisnya ....
Yohan tersenyum tipis, "Aku tidak memiliki kekasih saat ini. Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Silla memandang Yohan dengan sedikit rasa penasaran, "Oh? Lalu … wanita yang waktu itu?”
Yohan menoleh ke arah Silla, "Hm? Wanita?” balasnya seraya mengingat. “Ah … yang sering bersamaku itu? Dia itu asistenku, bukannya sudah kuperkenalkan di kantor pamanmu?”
“Hm? Bukan mbak Tara. Kalau dia aku juga tahu.” Silla menyahut dengan nada sangat datar. “Yang waktu itu nonton sama kamu, yang ketemu di depan bioskop.”
Yohan kembali terdiam untuk mengingat, beberapa saat kemudian ia terbahak. “Wah! Kamu ini, apa nggak bisa lihat, jelas-jelas dia punya wajah jauh lebih tua dari wajahku, bisa-bisanya kamu mengira dia … pacarku? Hahaha!”
“Ya aku tahu itu, aku juga melihatnya!” Silla tak mengubah nada bicaranya.
“Dia itu kakakku, satu-satunya saudara yang aku punya.” Menyadari Silla yang tak bersemangat, Yohan menghentikan gelaknya, lalu kembali pada suasana hening.
Silla terdiam sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke arah lain, "Aku hanya butuh seseorang untuk mendengarkan, tanpa harus memberikan solusi atau penilaian."
Yohan mengangguk perlahan, "Baiklah! Aku hanya akan mendengarkan, tidak lebih." jawab Yohan singkat lalu berpindah ke bangku tepat dibelakang Silla dan merebahkan tubuh disana.
Menatap bebas langit malam dengan bintang bertebaran, membuat Yohan pun larut dalam pikirannya sendiri.
Silla mendengus kecil, "Bagaimana menurutmu tentang perjodohan?" ucap Silla tiba-tiba. Ada keraguan dalam pertanyaannya, namun entah kenapa Silla merasa nyaman membicarakannya dengan Yohan.
Yohan tidak bergerak dari posisinya, namun suaranya terdengar jelas, "Perjodohan? Menurutku, itu tergantung pada orangnya. Ada yang berhasil, ada yang gagal."
Silla menoleh ke belakang, melihat Yohan yang masih menatap langit, "Tapi bagaimana jika itu bukan pilihanmu? Jika orang tua yang memutuskan untukmu?"
Yohan menarik napas dalam-dalam, "Kalau itu bukan pilihanmu, maka itu akan menjadi beban. Tapi, terkadang kita harus menerima apa yang tidak kita inginkan demi orang-orang yang penting dalam hidup kita."
Silla terdiam, memikirkan kata-kata Yohan. Ada kebenaran di dalamnya, namun Silla masih merasa ragu. "Apa kamu pernah mengalami hal seperti itu?" tanya Silla, rasa ingin tahunya muncul.
Yohan tidak menjawab langsung, dan Silla berpikir bahwa Yohan tidak ingin membahasnya. Namun, setelah beberapa saat, Yohan berbicara, "Aku tahu bagaimana rasanya ketika pilihan orang lain lebih penting daripada pilihanmu sendiri."
"Aku frustasi, aku ...." Silla menjeda ucapannya, ada beban yang tak bisa ia ungkapkan dengan bebas, membuat bulir air mata menggenang di ujung pelupuknya.
"Aku tidak percaya, orang seceria kamu bisa mengalaminya ." sahut Yohan datar.
Terdengar seperti cemoohan, namun mengandung sesuatu yang membuat Silla merasa Yohan mempercayai dirinya.
Silla menoleh ke belakang, melihat Yohan yang masih terbaring di bangku, namun matanya menangkap sekilas tatapan Yohan yang tajam dan paham. "Kamu tidak tahu bagaimana rasanya," ucap Silla, suaranya bergetar sedikit.
Yohan duduk kembali dan berjalan mendekati Silla, "Aku tahu lebih dari yang kamu pikir," katanya dengan nada yang rendah dan serius. "Aku tahu bagaimana rasanya terjebak dalam ekspektasi orang lain."
Silla memandang Yohan dengan intensitas yang berbeda, mencari kebenaran di balik kata-katanya. Yohan tidak mengelak, tatapannya jujur dan terbuka. "Kamu tidak perlu menjelaskan apa-apa padaku," lanjut Yohan. "Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini untuk mendengarkan."
Ada emosi yang terpendam sejak kemarin, entah kenapa ucapan lembut Yohan membuat tangis Silla meledak begitu saja.
Aneh memang, mengingat bagaimana selama ini mereka tak saling berteman baik, tapi entah kenapa di hadapan pria asing ini, ia bahkan bisa menangis sejadi-jadinya, tangisan yang pecah seperti bendungan yang jebol.
Yohan membiarkan Silla menangis tanpa bertanya, hanya memberikan ruang untuk Silla melepaskan semua emosi yang terpendam.
Yohan melepaskan topinya dan memakaikannya di kepala Silla, Silla merasa ada rasa aman dan perlindungan yang tak terduga.
Wajah Silla tenggelam dalam topi Yohan, dan tangisannya semakin menjadi, tapi kali ini ada sedikit rasa lega di dalamnya. Yohan berdiri di sampingnya, diam dan sabar, membiarkan Silla menenangkan dirinya sendiri.
Tidak ada kata-kata yang diperlukan saat ini, hanya kehadiran Yohan yang tenang dan pengertian. Silla merasa bahwa untuk pertama kalinya dalam waktu lama, dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa perlu memikirkan apa yang orang lain pikir.
Topi Yohan menjadi pelindung bagi Silla, bukan hanya dari pandangan orang luar, tapi juga dari ekspektasi dan penilaian.
Setelah Silla semakin tenang, tangisnya mulai mereda, Yohan kembali duduk berjarak di samping Silla.
"Aku rasa kita harus kembali ke mobil," kata Yohan lembut, “Sudah malam, dan kamu pasti kedinginan."
Silla mengangguk pelan, masih merasa sedikit lemah setelah menangis. Yohan membimbingnya kembali ke mobil, dan mereka berkendara dalam diam menuju rumah Silla.
Saat mereka tiba di rumah pak Abdi, Silla merasa sedikit lebih baik. "Terima kasih, Yohan," katanya dengan suara yang masih lembut.
Yohan tersenyum dan mengangguk. "Tidak perlu berterima kasih, Silla. Aku tak melakukan apapun."
Silla dan Yohan duduk di mobil, parkir di depan rumah pamannya Silla. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suasana malam yang sunyi.
"Yohan, boleh aku bertanya sesuatu?" kata Silla dengan suara lembut.
"Tentu, apa itu?" jawab Yohan, menoleh ke arah Silla.
"Kamu bilang kamu tahu bagaimana rasanya terjebak dalam ekspektasi orang lain. Apa yang sebenarnya terjadi?" Silla bertanya dengan rasa ingin tahu yang besar.
Yohan menarik napas dalam-dalam, lalu memulai ceritanya. "Aku dulu dipaksa untuk mengambil alih bisnis keluarga, padahal aku tidak ingin menjadi pebisnis.”
Silla mendengarkan dengan saksama, matanya penuh empati. "Aku paham, rasanya pasti seperti saat ini, seperti aku yang dipaksa untuk menikah dengan seseorang yang tidak aku cintai," katanya.
Yohan menatap Silla, "Ya, rasanya sama. Kita berdua terjebak dalam situasi yang tidak kita inginkan."
Mereka berdua terdiam sejenak, lalu Silla memulai ceritanya tentang masa lalunya. "Aku memiliki hubungan yang tidak baik dengan ibuku. Dia selalu menuntut aku untuk menjadi sempurna, dan aku merasa tidak pernah bisa memenuhi ekspektasinya."
Yohan mendengarkan dengan sabar, "Aku paham, rasanya seperti aku tidak pernah bisa memenuhi ekspektasi orang tua aku juga."
Mereka berdua terus berbicara, saling berbagi cerita dan trauma masing-masing. Semakin mereka berbicara, semakin mereka merasa terhubung satu sama lain.
"Aku merasa lega bisa berbicara denganmu, Yohan," kata Silla dengan senyum lembut.
Yohan tersenyum kembali, "Aku juga, Silla. Aku merasa seperti bisa menjadi diri sendiri di hadapanmu."
Malam semakin mendekati pagi. Yohan berpamitan setelah memastikan Silla masuk ke rumah sang Paman.
“Dia manis juga,” gumam Yohan dalam perjalanan pulang.
Sedangkan Silla berdiri terpaku di depan pintu, pasalnya seseorang telah menunggu kepulangannya dengan wajah cemas..
...****************...
Bersambung ....