Rasa trauma karena mahkotanya direnggut paksa oleh sahabat sendiri membuat Khanza nekat bunuh diri. Namun, percobaannya digagalkan oleh seorang pria bernama Dipta. Pria itu jugalah yang memperkenalkannya kepada Vania, seorang dokter kandungan.
Khanza dan Vania jadi berteman baik. Vania menjadi tempat curhat bagi Khanza yang membuatnya sembuh dari rasa trauma.
Siapa sangka, pertemanan baik mereka tidak bertahan lama disebabkan oleh perasaan yang terbelenggu dalam memilih untuk pergi atau bertahan karena keduanya memiliki perasaan yang sama kepada Dipta. Akhirnya, Vania yang memilih mundur dari medan percintaan karena merasa tidak dicintai. Namun, Khanza merasa bersalah dan tidak sanggup menyakiti hati Vania yang telah baik padanya.
Khanza pun memilih pergi. Dalam pelariannya dia bertemu Ryan, lelaki durjana yang merenggut kesuciannya. Ryan ingin bertanggung jawab atas perbuatannya dahulu. Antara cinta dan tanggung jawab, siapakah yang akan Khanza pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Enam
Vania yang telah berpakaian rapi, keluar dari kamar dan langsung menuju meja makan. Dipta telah menunggu. Di meja makan telah tersedia beberapa macam sarapan yang pria itu belikan.
"Banyak banget sarapannya?" tanya Vania.
"Untuk Khanza dan bibi sekalian. Itu juga aku belikan untuk Susi dan Dewi."
"Menang tender, nih?" Kembali Vania bertanya.
"Nggak harus menunggu menang tender hanya untuk beli sarapan. Sesekali bolehlah aku beli untuk semuanya."
Vania lalu menarik kursi di samping Dipta. Dia mengambil bubur ayam kesukaannya. Sedangkan pria itu memilih lontong Medan.
Saat keduanya sedang asyik menyantap sarapan, mereka di kejutkan dengan kedatangan Khanza. Dipta memandangi wajah wanita itu tanpa kedip.
"Cantik ...," ucap Dipta tanpa disadari.
Vania yang mendengar ucapan pria itu langsung berbisik, "Cantik banget. Pasti itu salah satu penyebab dia dilecehkan. Kecantikannya membawa petaka bagi dirinya."
Dipta tersenyum ke arah Vania, malu karena ucapannya ternyata didengar sahabatnya itu. Dia lalu kembali memandangi Khanza. Tadi malam dia tak memperhatikan kali wajahnya.
"Khanza, duduklah! Sarapan sekalian," ajak Vania. Khanza menggeleng. Dia lalu berjalan menuju keluar rumah. Dipta dan Vania jadi saling pandang.
Keduanya lalu berdiri dan berjalan mengejar Khanza. Mereka takut gadis itu kabur dan kembali mencoba bunuh diri lagi.
"Khanza ... mau kemana?" tanya Vania.
"Aku mau duduk di luar," jawab Khanza dengan tersenyum.
Vania dan Dipta mengikuti langkahnya. Ketika Khanza duduk di kursi yang berada di teras, keduanya ikut berhenti.
Tiba-tiba mereka mendengar suara tangis. Tubuh Khanza sampai bergetar menahan isaknya. Dia tampak sangat menyedihkan.
Ya Allah, tolong yakinkan aku bahwa semuanya akan baik-baik saja. Genggam tanganku untuk melewati semuanya. Termasuk menerima apa yang tidak aku inginkan. Duhai Yang Maha membolak-balikkan hati, mungkin air mataku banyak menetes, tapi bukannya aku tak bisa menerima takdir. Mungkin keluhku ada Kau dengar, tapi sungguh aku tak pernah mengutuk apa yang ada. Aku tahu bahwa semua atas kendali-Mu. Tolong peluk aku di saat apa yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang aku mau.
Vania lalu mendekati Khanza. Dia meraih tangannya dan menggenggamnya.
"Khanza, apa tidak sebaiknya kamu mandi dulu. Lalu sarapan. Jika kamu ingin duduk di sini nanti bisa dilanjutkan," ucap Vania seperti dengan anak kecil saja.
Khanza menghapus air matanya. Dia lalu menatap Vania, lalu memeluknya.
"Mbak, aku boleh tinggal di sini untuk sementara. Aku akan kerjakan apa saja. Aku takut pulang. Aku hanya tinggal sendiri," ucap Khanza. Dia takut jika nanti pulang, tiba-tiba temannya datang lagi.
"Tentu saja boleh, Khanza. Kamu bisa tinggal di sini sampai kapan pun," jawab Vania.
"Terima kasih, Mbak," balas Khanza.
Khanza lalu berdiri. Dia masuk ke kamar tamu tempat dirinya kemarin tidur. Vania lalu masuk dan memberikan bajunya.
"Terima kasih, Mbak. Kamu baik banget. Aku tak tahu harus mengatakan apa selain terima kasih," ucap Khanza.
"Sudah, kamu tak perlu mengatakan apa pun. Aku tulus dan ikhlas melakukan semua ini. Sekarang kamu mandi. Aku tunggu di ruang makan," balas Vania.
Khanza lalu masuk ke kamar mandi. Vania masih menunggu dengan duduk di tepi ranjang. Sepertinya dia masih takut jika wanita itu melakukan hal yang tak diinginkan.
Setelah beberapa saat, Khanza keluar dari kamar mandi. Dia telah memakai baju yang Vania berikan.
"Kamu cantik banget, Khanza." Vania mengatakan sambil tersenyum dengan ucapan yang tulus.
"Mbak Vania juga sangat cantik. Baik lagi," jawab khanza. Dia sepertinya sudah mulai bisa melupakan kejadian kemarin.
"Kamu bisa aja. Di meja rias itu ada sisir, bedak dan lipstik. Kamu bisa gunakan. Semua baru kok, bukan bekas aku pakai," kata Vania.
"Bekas Mbak pakai juga tak apa" balas Khanza.
Khanza menyisir rambutnya. Setelah itu menyapu pipinya dengan bedak tipis. Tak lupa mengoleskan lipstik sedikit di bibirnya yang memang telah berwarna ranum.
Setelah rapi, Vania lalu mengajak Khanza menuju meja makan. Tampak Dipta telah menunggu mereka di meja makan.
Vania lalu meletakan sepiring bubur ayam ke hadapan Khanza. Gadis itu menyantapnya dengan pelan. Sesekali tampak Dipta mencuri pandang.
"Khanza ...," panggil Vania dengan lembutnya.
"Iya, Mbak," jawab Khanza.
"Ini Dipta. Dia yang telah membawa kamu kesini."
Khanza melirik sekilas ke arah Dipta. Dia tersenyum dan kembali menunduk. Dia sepertinya agak takut. Mungkin karena dia baru saja dilecehkan seorang pria, sehingga melihat pria mana pun masih agak takut. Vania yang melihat itu lalu meneruskan ucapannya.
"Kamu tak usah takut. Dipta ini orangnya baik. Aku mengenalnya sudah sangat lama. Kami teman kecil. Aku bisa menjamin jika dia tak akan melakukan sesuatu yang tidak diinginkan," ucap Vania.
Khanza menjawab dengan menganggukan kepalanya. Setelah itu Vania mengajak Khanza mengobrol apa saja. Semua dia lakukan agar wanita itu tak canggung lagi. Suasana yang sudah mulai terlihat akrab, terganggu dengan suara seseorang memanggil nama Vania. Dua orang tenaga bidan yang membantunya sedang pergi ke pasar.
"Bu Dokter, Bu ...," panggil seseorang dari luar rumah.
"Sepertinya ada yang memanggil. Mungkin pasien ku. Kamu di sini saja dengan Dipta," ucap Vania.
Vania lalu berjalan menuju keluar ruangan. Membuka pintu dan mempersilakan pasiennya masuk.
"Apa Mbak Vania seorang dokter?" Khanza bertanya masih dengan kepala menunduk. Tak berani menatap langsung.
"Ya, dokter kandungan. Vania itu anak tunggal. Dari dulu dia menginginkan seorang adek, tapi ibunya tak bisa mengabulkan. Dia juga menyukai anak kecil, sehingga saat kuliah mengambil dokter kandungan," jawab Dipta.
Khanza hanya mengangguk sebagai tanda menanggapi ucapan Dipta. Setelah itu keduanya saling diam. Hingga wanita itu selesai sarapan. Dia lalu bertanya sesuatu.
"Maaf, Mas. Apakah benar Mas yang mencegah aku kemarin untuk mengakhiri hidupku?" tanya Khanza. Dia masih terus menunduk. Merasa malu karena sempat ingin mengakhiri hidupnya.
"Ya ... ada apa?" Dipta balik bertanya.
"Apakah Mas ada menemukan tas dan dompetku. Uangnya tak seberapa, hanya sedikit. Tapi di sana ada kartu identitas milikku."
"Di simpan Vania. Aku yang menitipkan dengannya," balas Dipta. Mata pria itu terus saja mencuri pandang ke arah Khanza.
"Oh, jadi di simpan Mbak Vania. Mas, terima kasih," ucap Khanza.
"Terima kasih untuk apa?"
"Terima kasih karena telah menolongku," ucap Khanza dengan malu-malu.
"Khanza, jangan pernah berpikir untuk bunuh diri lagi. Hidup ini indah, jangan biarkan siapa pun menghancurkan keindahan yang kamu miliki. Buktikan pada dunia, jika kamu tak akan hancur karena perbuatan orang-orang yang tak bertanggung jawab itu!"
***
Selamat Pagi. Mama minta dukungannya ya, setiap habis baca tinggalkan jejak berupa tekan like dan beri komentarnya. Terima kasih. Lope-lope sekebon jeruk untuk semuanya.
Semoga kalean selalu dalam lindungan Alloh SWT dan selalu di jaga oleh mama Reni 🤗🤗😍😍