NovelToon NovelToon
Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Cinta Dalam Sandiwara: Pengantin Pengganti

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Pengantin Pengganti / Cinta Paksa / Angst / Dijodohkan Orang Tua / Suami amnesia
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Piscisirius

Dunianya seakan runtuh dalam satu malam. Bagaimana tidak, Nerissa secara tiba-tiba diminta menjadi pengantin pengganti untuk kakak angkatnya. Nerissa terpaksa harus menikah dengan pria yang sehari-harinya tahu bahwa yang dicintainya adalah sang kakak.

Soraya, kakak angkatnya itu mengalami kecelakaan bersama Darius—tunangannya, tepat ketika mendekati acara pernikahan akan dilangsungkan. Soraya dinyatakan tewas ditempat, sementara Darius mengalami luka parah yang membuatnya kehilangan ingatan sementara.

Karena sebetulnya pernikahan itu didasari oleh perjanjian antar keluarga, mau tak mau pernikahan tetap dilakukan. Nerissa harus menanggung semuanya, termasuk menjalani peran sebagai Soraya.

Sebab kenyataan paling menyedihkan dari semua itu adalah Darius yang memandang dan beranggapan bahwa sosok Nerissa adalah Soraya—sebagai sosok perempuan yang akan menjadi istrinya. Di lain sisi, Nerissa sendiri sudah memiliki kekasih.

Lantas, bagaimana jika semua kebenaran itu terungkap?

***

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 35 - Silakan Pergi!

Aku mengangguk buru-buru ke dapur, membuka laci kecil di mana aku menyembunyikan satu butir obat yang sempat kucuri diam-diam. Lalu kuserahkan padanya.

Dokter Alvin memeriksanya dengan cermat. Tidak ada merek tertera, hanya kode angka kecil dan bentuk kapsul putih kusam. Tapi tentu saja, itu cukup disebut sebagai obat yang mencurigakan.

“Saya tidak bisa pastikan kandungannya sekarang juga,” katanya, nada suaranya mulai berat. “Tapi dari kode ini dan bentuk kapsulnya … saya punya dugaan.”

Keningku langsung mengerut, sedikit membeku. “Dugaan seperti apa, Dok?”

“Ini bukan suplemen biasa, ataupun vitamin. Saya pernah menangani kasus serupa. Ini jenis senyawa yang digunakan untuk menekan memori aktif pasien—sering kali diberikan dalam konteks eksperimen atau terapi agresif. Tapi kalau diberikan tanpa pemantauan dan dalam kondisi pasien yang belum stabil, bisa memicu efek samping serius. Termasuk halusinasi ringan, demam tinggi, mual, bahkan hilangnya fragmen ingatan.”

Aku termangu sejenak, dugaanku ternyata tidak meleset. “Jadi itu artinya ... Ibu Mas Darius sengaja melakukan ini?”

Dokter menatapku dengan ragu, seolah menimbang seberapa banyak kebenaran yang harus kuketahui. “Saya tidak bisa menyimpulkan motif seseorang. Tapi kalau ini benar obat yang saya pikirkan, maka ada yang salah. Saya akan bawa sampel ini untuk diuji lebih lanjut.”

Aku menatap pintu kamar dengan perasaan menggelegak di dalam dada. Ada yang tidak beres sejak awal. Dan kini, setelah tahu apa sebenarnya, Darius mungkin mulai merasakan dampaknya secara nyata.

Motifnya sudah bisa kucium, bahwa memang Bu Mariana tidak ingin putranya segera pulih. Tidak ingin ingatannya kembali. Jadi dia pasti sengaja melakukan ini.

Dokter Alvin menyimpan obat itu ke dalam kotak kecil. “Sementara, jangan biarkan dia konsumsi ini lagi. Dan awasi kondisinya. Kalau demamnya naik atau dia mulai bicara melantur, segera hubungi saya.”

Aku mengangguk paham. “Baik, Dok. Terima kasih banyak.”

Selanjutnya Dokter Alvin meresepkan obat untuk Darius dan mengatakan bahwa jadwal terapi kali ini mesti ditunda lagi, sebab kondisi Darius yang masih belum memungkinkan.

Sementara Dokter Alvin berpamitan pergi, aku hendak kembali masuk ke kamar. Tetapi derit pintu yang tertahan tanpa disusul langkah Dokter Alvin, membuatku spontan menoleh ke belakang.

Entah kebetulan atau bagaimana, sosok itu ada di sana. Bu Mariana dengan ekspresi datar itu berada di depan pintu yang terbuka, seketika berhadapan dengan Dokter Alvin yang seharusnya siap melangkah pergi.

“Bu Mariana?” Aku menyapa sambil berjalan ke arah pintu.

“Ada yang ingin saya bicarakan denganmu, dengan kalian,” ungkap Bu Mariana, seakan mengabaikan seseorang dihadapannya saat ini.

“Mas Darius sedang sakit,” balasku kemudian.

Dokter Alvin melirik ke arahku sekilas, lalu kembali menjatuhkan pandangannya pada Bu Mariana. “Maaf, Bu. Saya perlu bicara empat mata dengan anda.”

Bu Mariana menoleh tajam, seakan menyadari ada yang tak beres di sini. “Memangnya anda siapa?”

Dokter Alvin tersenyum singkat, mengulurkan tangan. “Mungkin anda lupa, Bu Mariana? Saya Alvin, dokter terapis atau psikiater yang membantu kondisi Darius, anak Ibu, pasca kecelakaan.”

Tapi uluran tangan itu tak disambut oleh Bu Mariana, dia masih melemparkan tatapan sinis.

Dengan begitu, Dokter Alvin mengangguk samar dengan mempertahankan senyum tipis. Lalu menurunkan tangannya, memasukkannya ke dalam saku celana. “... dan barusan, saya menemukan suatu hal yang cukup mengkhawatirkan,” sambungnya kemudian.

Suasana ruangan terasa mendadak membeku. Aku bisa melihat raut gugup di wajah Bu Mariana untuk pertama kalinya sejak aku mengenalnya.

Aku menatapnya lebih dalam. Kali ini tanpa takut. Tanpa ragu. Dan entah mengapa, aku merasa ... kebenaran mulai menemukan jalannya sendiri.

Sedang Dokter Alvin menuntun Bu Mariana keluar, tetap kukuh ingin membahas soal tadi, aku pun lantas menutup pintu apartemen. Biar saja mereka yang bicara, biar perempuan paruh baya itu yang mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Aku kembali berjalan menuju kamar, memeriksa keadaan Darius. Rupanya dia masih belum sadarkan diri, tapi ketika mengecek suhu tubuhnya, beruntung sudah sedikit menurun.

“Huh, kenapa aku tidak bisa membenci kamu ya?” gumamku tanpa sadar sembari mengamati napasnya yang melemah.

Bokongku mendarat di sisi ranjang, sesekali aku bertopang dagu, melamun dan sambil tetap mengawasinya. Padahal di tengah tabir rahasia yang belum sepenuhnya terungkap ini, aku tahu betul masih ada potensi bahwa mungkin ada hal terkait Darius yang bisa saja meledak, jadi begitu mengejutkan.

Tapi yang jelas, walau sandiwara ini sudah diambang kehancuran, aku akan tetap menyelidiki kasus yang menyangkut tentang kematian Soraya. Aku tahu, masih ada beberapa masalah yang perlu diluruskan dan rahasia yang belum terungkap.

Hampir sepuluh menit lenggang, lamunanku buyar oleh suara pintu yang terbanting kuat. Dibuka secara kasar oleh seseorang—Bu Mariana dengan dada kembang kempis, dia menatapku seperti akan melahapku hidup-hidup.

“Bu?” Aku bertanya kikuk.

Tapi beberapa detik setelahnya, usai matanya melirik pada Darius yang masih bergeming di ranjang, dia buru-buru menarik lenganku menuju keluar kamar.

Belum sempat aku meminta sebuah penjelasan, tiba-tiba saja sebuah tamparan keras mendarat pada pipi kananku.

“Dasar sinting!”

“Kurang ajar kamu, Nerissa!”

Aku sudah tahu bahwa kedatangannya ke sini hanya untuk misuh-misuh. Persis seperti ibu yang sebelumnya juga menamparku. Dan kemungkinan Bu Mariana tahu kebenarannya dari ibuku.

Sambil memegangi pipi, aku mendelik padanya. “Mau apa lagi? Semuanya sudah selesai, Bu Mariana!”

Dia tertawa sumbang. Menutup pintu kamar secara rapat, lantas menunjuk-nunjuk aku dengan napas yang tersengal. “Ini tidak akan selesai kalau mulut busukmu itu tidak mengatakan hal yang sudah kita sepakati untuk tetap dirahasiakan!”

Mendengarnya, aku langsung menyunggingkan senyum. “Bisa-bisanya anda bicara begitu, padahal aku korban di sini! Aku dipaksa untuk menanggung dan melakukan ini-itu oleh kalian semua, tapi apa yang kudapatkan? Pada akhirnya, kalian akan cuci tangan dengan melimpahkan semua kebohongan itu padaku, kan?”

Sudah habis sisa sabarku. Selama ini aku hanya patuh tanpa mau melawan. Tapi sekarang, sudah tidak lagi.

Aku merapihkan helai rambut yang menutupi pandangan, kembali bersungut-sungut, “Lagi pula, bukannya anda sendiri yang meminta kami bercerai? Dalam artian, aku harus segera angkat kaki dari kehidupan Mas Darius. Sekarang aku sudah mewujudkannya!”

Bu Mariana angguk-angguk, tatapannya seolah menantang. “Begitu? Baiklah, kalau begitu silakan pergi!”

Dia melangkah mendekat padaku, dadanya masih kembang kempis, matanya melotot seakan hampir keluar dari tempatnya. Telunjuknya mengarah pada pintu.

“Pergi sekarang juga, Nerissa!” Dia berteriak tepat di depan mukaku yang sedikit berkeringat.

Kami bersitegang, bertatapan dalam jarak yang terlampau dekat—napas hangatnya itu berembus pada pipiku.

“Pergi dan jangan pernah kamu tampakkan dirimu lagi di sini, di depan kami, di depan Darius!” tambahnya semakin menyolot, telunjuknya masih terangkat di udara, setia mengarah pada pintu keluar.

Tentu, dengan senang hati aku akan angkat kaki dari sini. Benar kata Darius, sudah lama aku menunggu momen ini. Maka setelah mengemasi barangku yang tak seberapa—hanya pakaian, laptop dan beberapa perintilan kecil, aku pun segera pergi.

Berjalan santai seraya mengangkat dagu ketika melewati tubuh Bu Mariana yang kutahu, melalui matanya itu, dia memindai setiap gerak-gerikku. Akan kupastikan, bahwa aku bangga karena telah melakukan hal yang dirinya benci!

***

1
范妮
Hai, nona bulan
aku mampir ..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!