Azizah pura pura miskin demi dapat cinta sejati namun yang terjadi dia malah mendapatkan penghinaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
suaraku lebih indah darimu
"Halo... Zee, apakah kamu begitu merindukanku sampai dini hari begini meneleponku?"
Aziza diam melihat ekspresi aneh dari semua orang, lalu segera mematikan loudspeaker.
"Jangan gila dan jangan tinggi hati! Aku tidak merindukanmu!"
"Kalau tidak merindukanku, kenapa dini hari begini menelepon aku?"
"Anakku menangis terus. Dia tidak berhenti menangis."
"Terus apa hubungannya denganku?" tanya Romi dengan nada ketus.
"Kamu harus tanggung jawab!" Aziza merutuki ucapannya. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu.
"Orang lain yang buat, kenapa aku yang harus tanggung jawab?"
"Kamu mau tolong aku enggak?" bentak Aziza panik. Bayinya masih terus menangis.
"Aku enggak bisa," jawab Romi singkat.
Aziza kesal. Dia menghela napas dalam.
Viona menghampiri Aziza yang panik dan meneteskan air mata. "Kenapa, Zee? Apakah Romi mau datang?"
Aziza menggelengkan kepala, tanda dia menerima penolakan.
Aziza bukan sedih karena Romi tidak mau datang, melainkan karena dia sadar—mungkinkah bayinya merindukan Raka sebagai ayahnya?
Aziza dalam dilema. Dia ingin berpisah dengan Raka, tapi melihat bayinya menangis tiada henti, dia menjadi ragu. Haruskah dia tetap bersama Raka demi bayinya? Tidak mungkin, kan, kalau setiap hari harus meminta Romi datang ke rumah hanya untuk menenangkan bayinya? Bagaimanapun, Romi tidak punya kewajiban untuk mengurus bayinya.
Aziza semakin terpuruk melihat tangisan bayinya.
"Tuan, ada Tuan Muda Romi di depan. Apakah boleh masuk?" ucap sekuriti.
"Suruh masuk!" kata Viona cepat-cepat.
"Belum sepuluh menit, dia sudah ada di gerbang. Dia bawa mobilnya seperti apa, ya? Jangan-jangan dia menginap di depan gerbang," celetuk Jayadi sambil mengusap jenggot tipisnya.
Romi datang masih dengan pakaian kerja. Seharusnya dia sudah memakai pakaian tidur. Apa jangan-jangan Romi benar-benar tidur di mobil? Jayadi mulai curiga.
Tanpa berbicara apa pun, Romi langsung menghampiri bayi itu dan menggendongnya. Tak sampai lima detik, bayi itu sudah tenang dalam gendongan. Mulut mungilnya seolah berkata, "Pa... Papah."
"Wah, beneran diam bayinya, Zee," ucap Viona mencairkan suasana.
Aziza segera menyeka air matanya. Dia malu terlihat menyedihkan di depan Romi.
"Bayinya sudah tidur. Tugas aku sudah selesai," ucap Romi.
"Terima kasih, loh, Nak..." ucap Viona lirih.
"Iya, Mi, terima kasih," tambah Aziza.
"Bilangnya enggak mau datang, tapi cepat banget datangnya. Kamu ngintai depan rumahku, ya?" sindir Jayadi.
"Papah enggak boleh begitu. Bagaimanapun, Nak Romi sudah menenangkan bayi Zee," tegur Viona.
"Aku enggak ngintai kok, Om. Kebetulan aja aku lewat, jadi aku mampir," ucap Romi.
Padahal, sejak sore Romi memang sudah gelisah. Entah kenapa, dia merasa seperti tidak bisa dipisahkan dari bayi Aziza. Bahkan, dia sudah mengelilingi kompleks perumahan Aziza entah berapa kali untuk menenangkan dirinya sendiri. Dan benar, dia tidur di mobil, tapi tidak di depan rumah Jayadi.
Romi akhirnya pulang sebelum subuh menjelang. Berulang kali, Viona mengucapkan terima kasih. Rasa kagumnya pada Romi semakin tinggi, sementara rasa kesalnya pada Raka semakin besar.
Romi bernapas lega. Akhirnya, kegelisahannya bisa terobati. Dia memegang dadanya. "Zee, kenapa hanya kamu yang membuat hatiku berdegup kencang seperti ini?"
"Dari cara memandangku, kamu masih cuek sama aku. Aku malu kalau harus menyatakan cinta duluan. Aku terbiasa mendapatkan apa yang aku inginkan. Aku tidak biasa dengan penolakan. Jika kamu menolakku sekali lagi, mungkin aku benar-benar akan jadi gunung es—kaku dan tak bergerak," gumam Romi dalam hati sambil terus fokus menyetir menuju rumahnya. Dia sudah mengantuk.
---
Di rumah, bayi Aziza sudah mulai tenang.
"Mudah-mudahan enggak rewel lagi ya, Bu," ucap Aziza pada ibunya, Viona.
"Ya, mudah-mudahan. Kalau rewel, kita akan banyak merepotkan Romi. Ibu jadi enggak enak sama dia."
"Sama aku juga enggak enak, Bu. Apa aku kabari Raka aja? Barangkali bayiku rindu sama bapaknya."
"Apa kamu mau balik lagi sama Raka?" tanya Viona dengan nada tidak senang.
"Aku bingung, Bu."
"Apa kamu masih mencintainya?"
Aziza menggeleng. "Aku sudah tidak mencintai Mas Raka, Bu."
"Lalu kenapa kamu ingin kembali padanya?"
"Bayiku butuh seorang ayah, Bu."
"Ya, kalau begitu, kamu menikah saja sama Romi," usul Viona.
"Aku enggak yakin dia mau sama aku, Bu."
"Kalau dia enggak suka sama kamu, ngapain dia jam tiga pagi datang ke sini hanya untuk menenangkan bayi kamu? Ingat, dia itu Tuan Muda Aditama. Tidak mungkin dia tidak punya banyak kerjaan. Ibu tahu, dia pasti sengaja ke sini dan mungkin membatalkan beberapa agenda demi kamu," jelas Viona.
"Aku masih trauma, Bu. Lihat saja Ayah dan Om Surya, adu mulut terus. Apalagi nanti kalau aku jadi menantunya. Aku takut terulang lagi, Bu, dimarahi mertua. Orang tua Raka yang dari kalangan sederhana saja bisa searogan itu sama aku, apalagi Papa Surya? Dia sangat bisa melakukan kesombongan di depanku, Bu."
"Zee, tidak semua orang kaya itu sombong, jahat, dan arogan," sanggah Viona.
"Sudahlah, Bu. Rencana awalku memang mau fokus urus bayi dulu. Aku tidak mau memikirkan kondisi rumah tanggaku sekarang."
Aziza menghela napas berat, seolah menanggung beban yang begitu besar.
Siang itu, Aziza melongo melihat paket besar yang baru aja diantar ke rumahnya. Begitu dibuka, matanya langsung melebar.
Di dalamnya ada beberapa manekin dengan wajah Romi!
Ada yang berdiri sambil menggendong bayi, ada yang duduk bersila seperti lagi nenangin anak kecil. Tapi yang paling bikin merinding, manekin ini bukan yang biasa ada di toko. Kulitnya elastis, hampir mirip kulit manusia.
Aziza nyoba neken tombol kecil di dada salah satu manekin. Tiba-tiba, suara Romi keluar pelan-pelan, nyanyiin Nina Bobo.
Astaga.
"Apaan ini?" Aziza setengah ketawa, setengah ngeri.
Viona yang lagi ngeliatin juga nggak kalah syok. "Siapa yang ngirimin ini, Zee?"
Aziza buru-buru nyari kartu yang nyelip di salah satu manekin. Begitu baca tulisannya, dia langsung nutup muka pakai tangan.
"Aku mau keluar negeri ada urusan bisnis dalam beberapa hari ini aku ga bisa bertemu dengan bayi kesayanganku, jaga baik baik bayimu, berikan asi yang banyak biar cepat gede, dan ini ada suara ku yang merdu, kalau bayimu menangis hadapkan saja mukaku padanya dan perdengarkan suaraku yang indah ini, bayimu lebih menyukai suaraku ketimbang suaramu" by Romi Aditama
Jayadi yang dari tadi ngeliatin cuma bisa geleng-geleng. "Ini orang kreatif atau kurang kerjaan, sih?"
Aziza tidak tahu apakah dia harus senang atau kesal dengan pemberian Romi, dan akhirnya Aziza berkesimpulan kalau Romi sedang menertawai keterpurukannya mungkin Romi senang melihat dirinya terpuruk seperti ini, Romi sedang menertawai dirinya yang salah memilih pasangan itu adalah pikiran Aziza
"Taro barang-barang ini di gudang San" perintah Aziza padah Susan
"Kenapa ga Taru di kamar?" Tanya viona
"Aku ga mau di tertawai oleh Romi Bu, aku tahu dia hanya iseng sama aku Bu, dia sedang tertawa diatas penderitaanku Bu"
Nada Aziza aga tinggi berati Aziza marah viona ga mau lanjut menanyakan lagi dan memang agak keterlaluan si Romi bilang suaranya lebih enak di dengar bayi ketimbang suara Aziza itu adalah isi pikiran viona
Tiba tiba bayi menangis, Aziza panik, Romi sedang ada diluar negeri, Aziza mengeluarkan ponsel dan Aziza akan menghubungi Raka, Raka harus menenangkan bayinya, saat Aziza mau menakan tombol panggil tiba tiba-tiba terdengar suara
"Nina bobo..oh nina bobo, kalah tidak bobo di gigit hantu"
Suara tangisan bayi berhenti
Aziza melihat ke arah manekin Romi tampak Susi sedang mendekatkan bayi ke arah sumber suara dan bayi itu tampak senang
"Sus jauhkan bayiku dari manekin itu" ucap Aziza
Susi menuruti perintah Aziza
Kemdian bayi itu menangis lagi
"Dekatkn lagi sus"
Bayi itu berhenti menangis
Aziza memegang kepalanya, aziza tidak bisa membayangkan dirinya harus tidur dengan melihat wajah Romi terus
viona tersenyum penuh arti