Shereny Claudine, seorang perempuan mandiri dan tegas, terpaksa mencari pekerjaan baru setelah putus dari kekasihnya yang berselingkuh serta kepergian ibunya. Tak ingin bergantung pada siapa pun, ia melamar sebagai pengasuh (baby sitter) untuk seorang anak laki-laki berusia 5 tahun bernama Arga. Tak disangka, ayah dari Arga adalah Elvano Kayden, pria arogan dan kaya raya yang pernah bertemu dengannya dalam situasi yang tidak menyenangkan. Elvano, seorang pengusaha muda yang dingin dan perfeksionis, awalnya menolak keberadaan Shereny. Menurutnya, Shereny terlalu keras kepala dan suka membantah. Namun, Arga justru menyukai Shereny dan merasa nyaman dengannya, sesuatu yang sulit didapat dari pengasuh sebelumnya. Demi kebahagiaan anaknya, Elvano terpaksa menerima kehadiran Shereny di rumah mewahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Larasati Pristi Arumdani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 : Bersaing Bersama Kenangan
Sambil menghisap rokok, Shereny merenungkan perasaannya. "Mengapa aku merasa terjebak antara masa lalu dan masa kini?" pikirnya. Kenangan tentang Fahira dan hubungannya dengan Elvano terus berputar dalam pikirannya. "Aku ingin menjadi istri yang baik, tetapi aku juga ingin merasa dihargai dan dicintai."
Dia menghembuskan asap rokok ke udara, merasa sedikit lega. "Mungkin aku perlu lebih banyak berbicara dengan Elvano tentang perasaanku," ucapnya pada diri sendiri, bertekad untuk tidak membiarkan rasa cemburu menguasai dirinya.
Setelah beberapa saat merenung, Shereny merasa lebih tenang. Dia memadamkan rokoknya dan menatap ke arah sungai sejenak lalu kembali ke mobil. Pak Halim tersenyum lalu melanjutkan perjalanan pulang.
"Apakah Pak Halim akan mengatakan hal ini kepada Elvano?" Tanya Shereny pada Pak Halim. Pak Halim pun menjawan dengan nada yang yakin namun rendah "Tidak Nyonya. Nyonya dan Tuan berhak memiliki ruang."
Mendengar jawaban itu, Shereny merasa lega. Dia tahu bahwa hubungan antara dia dan Elvano adalah hal yang pribadi, dan dia tidak ingin ada orang lain yang terlibat dalam perasaannya. "Terima kasih, Pak Halim." ucapnya, merasakan rasa syukur yang mendalam.
Pak Halim mengangguk, memahami betapa pentingnya privasi dalam sebuah hubungan. "Saya hanya ingin yang terbaik untuk Anda berdua. Terkadang, menjaga rahasia adalah cara untuk melindungi perasaan satu sama lain," tambahnya, memberikan dukungan yang tulus.
Mereka pun tiba di rumah. 2 jam lebih Shereny meninggalkan rumah. Elvano menyambut Shereny dan memeluk Shereny. "Aku akan merenungkan perkataanku dan mencoba untuk menghargai kehadiranmu di hidupku, sayang." Shereny hanya terdiam dan tersenyum tanpa sepatah kata. Tetapi senyumnya mengungkapkan banyak hal. Dia merasa terharu mendengar kata-kata Elvano, tetapi di saat yang sama, ada rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. "Apakah aku benar-benar bisa menjadi bagian dari hidupnya?" pikirnya, merenungkan semua yang telah terjadi.
Meskipun tidak mengucapkan sepatah kata pun, senyumnya adalah tanda bahwa dia menghargai usaha Elvano untuk membuka hati dan pikirannya. "Aku ingin percaya bahwa kita bisa melewati ini," ucapnya dalam hati, bertekad untuk memberikan yang terbaik dalam hubungan mereka.
Elvano melepaskan pelukannya dan menatap Shereny dengan penuh perhatian. Dia bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam di balik senyuman itu, tetapi dia memilih untuk memberi ruang bagi Shereny untuk berbicara jika dia ingin.
Setelah masuk ke dalam rumah, Shereny merasa hatinya dipenuhi dengan kebahagiaan saat melihat Zefa, bayinya yang masih mungil dan cantik. Dengan lembut, dia menggendong Zefa di pelukannya, merasakan kehanGatan dan cinta yang tulus.
"Lihat, kau sangat mirip ayahmu tanpa sela," ucap Shereny sambil mencium kening Zefa, merasakan kelembutan kulit bayinya. Dia menatap wajah Zefa dengan seksama, terpesona oleh setiap detail yang ada. "Mamamu ini tidak kebagian Zefa," lanjutnya dengan senyuman, merasa bangga akan kehadiran putrinya.
Saat melihat Zefa, Shereny tidak bisa menahan rasa syukur atas kehadiran gadis kecilnya. Wajah Zefa yang mirip Elvano mengingatkannya pada cinta yang mereka miliki. "Kau adalah pengingat terindah dari cinta kita," pikirnya, merasa terhubung dengan keduanya lebih dari sebelumnya.
Shereny membayangkan masa depan Zefa, berharap agar putrinya tumbuh dalam lingkungan yang penuh kasih sayang dan pengertian. "Aku ingin memberikan yang terbaik untukmu, Zefa," ucapnya dalam hati, bertekad untuk menjadi ibu yang baik.
Zefa menggerakkan tangan kecilnya dan menggenggam jari Shereny, membuatnya tersenyum lebih lebar.
...****************...
Ketika malam tiba, Elvano merasa perlu untuk berbicara dengan Shereny mengenai kesalahannya yang telah mengungkit mendiang istrinya. Ini adalah momen yang penuh emosi, di mana Elvano ingin menjelaskan perasaannya dan mungkin meminta maaf atas kata-kata yang tidak tepat yang telah diucapkannya.
Dalam situasi seperti ini, komunikasi yang jujur dan terbuka sangat penting. Elvano harus menyampaikan bahwa niatnya bukan untuk menyakiti, tetapi mungkin untuk berbagi kenangan atau perasaan yang mendalam. Menghadapi topik yang sensitif seperti ini memerlukan kepekaan dan pengertian dari kedua belah pihak.
Elvano berharap bahwa dengan berbicara, Shereny dapat memahami posisinya dan bahwa mereka bisa melanjutkan hubungan mereka dengan lebih baik. Ini adalah langkah penting dalam membangun kembali kepercayaan dan memperkuat ikatan di antara mereka.
"Sayang, aku ingin bicara sama kamu bisa?" Kata Elvano dengan hati-hati. Shereny mengangguk dan menutup bukunya. "Silahkan sayang." Elvano duduk tepat di samping Shereny. Ia menggenggam tangan Shereny dengan lembut.
"Aku salah sayang, seharusnya aku tidak membahas apapun tentang masa lalu di masa depan. Meskipun Fahira sudah tiada, kamu sudah memberikan yang terbaik untukku bahkan untuk Arga maupun Zefa. Kamu telah berusaha menjadi ibu yang baik. Ibu pengganti Arga." Shereny menatap mata Elvano dengan tatapan yang dalam. Matanya berkaca-kaca, dadanya sesak menahan tangis.
"Aku merasa bersalah telah hadir di hidup kamu. Seharusnya kita tidak jatuh cinta. Aku pikir perasaanmu telah usai. Aku sangat bingung, mengapa kamu memiliki keberanian memiliki hidup baru tapi kamu belum selesai dengan mendiang istrimu, Elvano?" Elvano ingin berbicara namun ia sudah tak sanggup melihat Shereny menangis. Ia sadar bahwa ia sudah melukai hati Shereny.
Elvano merasa bersalah atas perasaannya dan bagaimana hal itu mempengaruhi Shereny. Dia menyadari bahwa membahas masa lalu bisa membuka luka lama. Elvano hanya bisa meminta maaf pada Shereny hingga selalu mencium tangan Shereny. "Maafkan aku sayang, aku bersalah. Aku janji tidak akan membahas apapun yang membuat hati kamu luka."
Elvano langsung memeluk Shereny dan berharap Shereny akan tenang. Namun tangisan Shereny pecah. "Kenapa kamu begitu padaku, Elvano. Aku tidak punya siapa-siapa lagi selain kamu dan anak-anak. Aku harus bagaimana jika kamu tidak berusaha mencintai aku." Suaranya pecah karena tangisannya. Mendengar perkataan itu, Elvano merasa bersalah.
Elvano berusaha menenangkan, suaranya lembut. "Aku tidak ingin kehilangan kamu. Kamu mungkin tidak bisa menggantikan Fahira, tapi kamu memiliki tempat yang sangat spesial di hatiku. Kita bisa membangun masa depan bersama."
Shereny menghapus air mata di pipinya, meski rasa sakit itu masih membekas. "Tapi aku merasa tidak cukup. Setiap kali aku melihatmu, aku merasa bersaing dengan kenanganmu."
Elvano menggelengkan kepala. "Kamu tidak perlu bersaing dengan siapapun. Fahira adalah bagian dari masa lalu, dan aku mencintainya, tapi cinta itu tidak akan memudarkan cinta yang aku miliki untukmu. Kamu adalah masa depan yang aku inginkan."
Shereny menatap Elvano, berharap ada kejujuran dalam kata-katanya. "Apa kamu benar-benar yakin bisa mencintaiku sepenuh hati? Tanpa bayang-bayang? Tanpa rasa bersalah?"
Elvano meraih tangan Shereny dan memegangnya erat. "Aku berjanji, aku akan berusaha sekuat tenaga. Kita akan menciptakan kenangan baru bersama, yang akan menghapus semua rasa sakit ini. Aku ingin kita menjadi keluarga, bersama Arga dan Zefa."
Shereny menarik napas dalam-dalam, mencoba meyakinkan diri. "Kalau begitu, mari kita mulai dari awal. Mari kita bangun hubungan ini dengan kejujuran, meski itu menyakitkan. Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan, baik tentang Fahira maupun tentang kita."
Elvano mengangguk, merasa beban di pundaknya sedikit berkurang. "Aku akan berbagi segalanya. Kita harus bisa saling terbuka, dan aku akan berusaha tidak menyakiti kamu lagi."