Dalam bayang-bayang dendam, kebenaran menanti untuk diungkap.
Acalopsia—negeri para elf yang dulu damai—kini gemetar di ambang kehancuran. Serangan kaum orc tak hanya membakar ladang, tapi juga merobek sejarah, menghapus jejak-jejak darah kerajaan yang sah.
Revalant, satu-satunya keturunan Raja R’hu yang selamat dari pembantaian, tumbuh dalam penyamaran sebagai Sion—penjaga sunyi di perkebunan anggur Tallava. Ia menyembunyikan identitasnya, menunggu waktu, menahan dendam.
Hingga suatu hari, ia bertemu Pangeran Nieville—simbol harapan baru bagi Acalopsia. Melihat mahkota yang seharusnya menjadi miliknya, bara dendam Revalant menyala. Untuk merebut kembali tahta dan membuktikan kebenaran masa lalu, ia membutuhkan lebih dari sekadar nama. Ia membutuhkan kekuatan.
Dilatih oleh Krov, mantan prajurit istana, dan didorong tekad yang membara, Revalant menempuh jalan sunyi di bawah air terjun Lyinn—dan membangunkan Apalla, naga bersayap yang lama tertidur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9: Pemuda yang Banyak Tahu
Langit Acalopsia berwarna lembayung senja, membentang luas seperti lembaran kain takdir yang dilukis tangan Tuhan. Angin lembut menyusup dari barat, membawa aroma rumput kering, debu halus dari perkebunan, dan bisikan dari masa yang sudah lewat.
Di tepi bukit kecil yang ditumbuhi rerumputan liar dan bunga-bunga ungu, Sion dan Sissel duduk berdua. Tempat itu sepi, hanya suara burung berkicau di kejauhan. Tak ada keramaian pekerja, tak ada langkah pengawas.
Sion bersandar pada pohon kecil, tangan kirinya memainkan ujung batang rumput. Sissel duduk tak jauh, memeluk lututnya sambil menatap langit yang mulai dihiasi bintang.
“Aku tak pernah menyangka bisa merasa tenang begini di tempat seperti ini,” bisik Sissel. Kehidupan berat yang setiap hari dijalani kini terasa lebih ringan. Meskipun belum memiliki teman, setidaknya para pekerja tak lagi ada yang berani mengganggunya. Semua karena bantuan Nona Zenithia.
Sion menoleh, tersenyum samar. “Tenang kadang datang bukan dari tempat... Tapi dari siapa yang bersamamu. Mungkin kau merasa nyaman karena diriku,” selorohnya.
Sissel menunduk, pura-pura sibuk mengusir semut dari ujung rok lusuhnya. “Ya, mungkin juga. Tidak banyak orang yang bersikap baik pada mestiz sepertiku. Kau tidak takut terkena kutukan karena dekat denganku?”
“Tidak,” balasnya. “Hidupku saja sudah sebuah kutukan. Mungkin kau akan menjadi tambahan kutukan dalam hidupku.”
Sissel menoleh, mereka saling bertatapan, lalu tertawa kecil. Suasana menjadi hening sesaat.
“Aku dan Barja dulu tinggal di desa utara. Desa kecil bernama Delmira. Letaknya di bawah lereng Gunung Sana’i. Setiap pagi kabut turun seperti tirai lembut menutupi segalanya. Barja menyebutnya ‘tempat yang disembunyikan langit’.”
“Sepertinya tempat itu indah,” gumam Sissel.
Sion mengangguk. “Sangat indah ….” Ia kembali mengenang tempat masa kecilnya itu. Tempat yang sangat cocok sebagai persembunyian.
“Di sana kami beternak domba. Aku biasa menggiring mereka ke padang rumput sambil membawa seruling bambu yang kubuat sendiri.”
“Kau main seruling?” Tanya Sissel tak percaya. Ia bahkan menahan tawa membayangkan orang seperti Sion bermain seruling sembari menggembala.
“Ya. Tapi suaranya membuat domba-domba lari.”
Sissel terkekeh. Benar dugaannya. Lelali di sampingnya itu memang mungkin bisa bermain seruling. Ia sampai memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa.
“Mungkin … mereka pikir itu suara kentut orc,” katanya.
“Benarkah? Mungkin memang begitu,” gumam Sion mengingat-ingat melodi yang pernah ia mainkan dengan seruling. Sementara, Sessil masih tertawa di sampingnya. Menertawakan ceritanya.
“Seekor domba bernama Elim juga pernah menyerudukku hingga jatuh ke parit karena kupaksa duduk diam saat kumainkan sebuah lagu.”
Sissel tertawa sampai matanya berair. “Domba yang cerdas.”
“Elim sangat pemilih. Dia hanya makan rumput dari sisi timur padang rumput dan hanya mau minum dari mata air yang mengalir di antara dua batu. Barja pernah bilang, ‘Jangan jatuh cinta pada domba. Mereka keras kepala dan tidak tahu balas budi.’”
“Tapi aku rasa, kau tetap menyayanginya.”
“Ya,” jawab Sion pelan. “Dia teman pertamaku.”
Sissel tersenyum, lalu menatap langit. “Aku juga punya tempat kenangan.”
Sion menoleh. “Di mana?”
“Desa kecil di barat. Namanya Syrren. Dikelilingi hutan pinus dan sungai yang mengalir dari tebing berbatu kristal. Aku dan ayah tinggal di rumah dari bebatuan yang disusun berbentuk melingkar. Kami menanam wortel, selada, dan kadang-kadang berburu kelinci hutan.”
“Kau berburu?” Sion tampak tertarik mendengarkan cerita wanita itu.
Sissel mengangguk. “Ya. Ayah mengajarkanku melempar batu dengan ketapel untuk berburu. Setelah mendapatkan kelincinya, kelinci dikuliti dengan pisau kecil sebelum dimasak. Tapi aku selalu menangis saat harus memasaknya. Jadi... Ayah akhirnya hanya menyuruhku menjaga api.”
Sion menahan tawa. Sissel memang tak terlihat seberani itu, persis seperti saat ikut melawan pasukan orc. Wanita itu masih tampak ketakukan meskipun memiliki bakat bertarung yang lumayan.
“Kau membantu memasak air?”
“Lebih sering menumpahkan airnya,” jawab Sissel polos.
Sion tak bisa lagi menahan tawanya. Mereka tertawa bersama.
“Kau belajar pedang dari siapa?” Tanya Sion, nada suaranya berubah sedikit lebih serius.
Sissel menoleh, wajahnya menjadi lebih tenang. “Ayahku. Dia mantan prajurit istana. Dia juga pandai membuat senjata.”
Sion mengangguk perlahan. Wanita itu, meskipun tampak terlihat biasa, ia tahu Sissel memiliki orang tua yang luar biasa.
“Ayahku tak pernah menyuruhku menjadi petarung. Dia sudah menjauhi hal itu sejak kematian ibu. Ayahku benci peperangan dan adu pedang.”
“Tapi, suatu hari aku dikejar anak-anak kampung yang membenciku. Mereka mengolok karena warna rambutku. Aku pulang dengan pakaian sobek dan lutut berdarah.”
“Malam itu, ayah hanya duduk diam. Esok paginya, ia meletakkan sebuah pedang kayu di tanganku dan berkata, ‘Kalau dunia ingin melukaimu, biarkan dia tahu bahwa kau bisa berdiri.’ Sejak itu, setiap pagi, ia melatihku.”
Sissel menghela napas panjang. Baru kali ini ia menceritakan masa lalunya kepada seseorang. “Sebenarnya aku juga tak suka berlatih pedang. Peperangan itu sangat mengerikan,” tuturnya.
Sion hanya terdiam mendengarkan cerita yang Sissel sampaikan. Raut sendu di wajah wanita itu membuatnya bisa membaca jika ada trauma masa lalu yang berkaitan dengan pertempuran. Itu sebabya waktu itu Sissel maju menyerang para orc meskipun dengan wajah ketakutan.
“Kau tak pernah membahas tentang ibumu,” kata Sion.
“Ibu?” Sissel tersenyum getir. “Bagaimana aku bisa menceritakannya? Ibuku sudah meninggal sejak aku masih sangat kecil. Aku bahkan tak bisa membayangkan seperti apa wajahnya,” ia berkata dengan sendu.
“Banyak yang bilang hubungan ayah ibuku mengundang murka Lumelith dan menyebabkan kutukan hingga ibuku meninggal.”
“Bukan seperti itu!” Sanggah Sion.
Sissel keheranan mendengar ucapan Sion, seolah lelaki itu lebih tahu tentang ibunya.
“Ibumu, Meida … dia meninggal dalam pertempuran. Dia menunjukkan rasa cintanya kepada keluarga kerajaan dengan ikut berperang, meskipun mereka yang telah mengusirnya. Ibumu meninggal bukan karena kutukan atau melakukan hal yang sia-sia. Dia seorang pejuang. Itu yang pernah aku dengar,”
Sissel tak bisa berkata-kata. Selama ini ayahnya tak pernah menceritakan apapun tentang ibunya, ia hanya mendengarkan dari perkataan para elf yang hidup di sekitarnya.
“Mereka bilang aura suci elf pada diri ibu memudar karena menikahi ayah lalu meninggal muda. Bahkan aku selalu berharap tidak pernah dilahirkan asalkan ibu bisa tetap hidup. Untuk apa aku hidup sebagai mestiz jika harus kehilangan ibu.”
“Kalau ibumu mendengar ini, dia pasti akan sedih. Bagaimanapun juga, kau putri yang dikasihinya. Meida pasti berharap kau akan tetap bisa hidup dengan baik.”
Sissel mengusap wajahnya. “Aku lebih berharap bisa melihat ibuku hidup,” lirihnya.
“Aku ingin bertemu dengannya setidaknya sekali. Atau setidaknya bisa melihat persemayaman terakhinya.”
“Itu ada di dalam istana.”
Sissel kembali menoleh ke arah Sion. “Kau sepertinya tahu banyak tentang ibuku?” Telisiknya penasaran.
“Tidak. Aku hanya pernah mendengarnya,” kilah Sion. Ia hampir kelepasan untuk menceritakan semuanya.
“Kalau kau ingin mengunjunginya, kau harus memasuki istana.”
Sessil terdiam sesaat. Istana. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan dalam hidupnya. Untuk bisa bertahan hidup dalam hinaan masyarakat saja sulit, apalagi untuk memasuki istana. Mereka sangat membenci mestiz.
“Sion … katakan … bagaimana caraku bisa masuk istana? Kita juga tahu jika Val sama sepertiku. Dia mestiz, tapi bisa menjadi pengawal pangeran. Apakah aku juga bisa masuk istana?” Tanyanya dengan nada serius.
“Val itu berbeda. Dia anak angkat Panglima Fardaq. Tidak ada yang bisa menolak keberadaannya di wilayah istana. Kau bisa sama sepertinya jika ada keajaiban, salah satu keluarga kerajaan atau bangsawan mengangkatmu sebagai anak.”
Sessil langsung lemas mendengarnya. Tidak ada harapan ia bisa masuk istana mengunjungi persemayaman ibunya.