Jangan pernah sesumbar apapun jika akhirnya akan menelan ludah sendiri. Dia yang kau benci mati-matian akhirnya harus kau perjuangkan hingga darah penghabisan.
Dan jangan pernah meremehkan seseorang jika akhirnya dia yang akan mengisi harimu di setiap waktu.
Seperti Langit.. dia pasti akan memberikan warna mengikuti Masa dan seperti Nada.. dia akan berdenting mengikuti kata hati.
.
.
Mengandung KONFLIK, di mohon SKIP jika tidak sanggup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NaraY, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35. Harapan baru.
Pagi ini Bang Dalu tidak masuk kerja karena baru datang dari penugasan. Bang Dalu datang membawakan buah anggur yang di sukai Dinar sebelum nanti menuju rumah Nada untuk mengantarkan coklat.
Begitu pintu terbuka, Bang Dalu sungguh kaget melihat wajah pucat Dinar yang sembab.
"Ada apa dek?? Apa masalah dengan Airin belum selesai??" Tanya Bang Dalu jelas mencemaskan adiknya apalagi rasa kagetnya belum hilang karena sahabatnya mencoba untuk bunuh diri dan hingga kini Nada belum tau keadaan suaminya.
"Sudah, tapi.........."
"Tapi apa??????" Bang Dalu sampai mengguncang kedua bahu Dinar karena adiknya itu lambat memberi informasi.
"Abang ternyata naksir Ijah."
"Ijah siapa??? Masa Ranca tega begitu sama kamu?????" Tanya Bang Dalu.
"Iya Bang."
'B*****t juga si Wareng. Beraninya dia main belakang sama bakul pecel.'
"Nanti Abang selesaikan..!! Kamu baik-baik di rumah, makan nasi kuning dulu..!! Abang mau temui Ranca dan Langkit..!!" Kata Bang Dalu.
...
Bang Dalu menemui kedua sahabatnya di ruang kesehatan lapangan dengan begitu emosi.
Amarahnya memuncak melihat Nada menangis, adiknya itu masih sensitif dan belum bisa menerima kenyataan tapi bukannya Langkit datang membujuk, kini sahabatnya itu malah melakukan aksi bunuh diri.
Di lain sisi. Setelah tragedi Airin, emosi Bang Dalu kembali membakar ubun-ubun kepala. Sahabat yang ia percaya bisa main serong dengan Ijah gadis seksi penjual pecel, cucu pemilik gerobak pecel di depan Batalyon.
"Kalian berdua benar-benar ingin mati muda???? Kalian apakan saja adik Nada dan Dinar??????" Bentak Bang Dalu.
"Kau ini kenapa? Datang seperti orang kesetanan begitu. Kita ini disini untuk bicara baik-baik. Kau kan juga sudah dengar infonya." Tegur Bang Ratanca.
"Diam kau, Reng..!! Kau dan Kompreng sama saja. Kompreng dungu karena tidak bisa membujuk Nada dan Kau... Bisa-bisanya kau selingkuh dengan Ijah." Bang Dalu sungguh tidak bisa mentoleransi kelakuan kedua iparnya terutama Ratanca yang sejak kemarin membuat masalah.
Nyeri bekas jahitan luka di pinggang Bang Ratanca belum juga hilang, kini sudah ada masalah baru lagi. Ia sudah tau darimana datangnya pusat kekacauan informasi tersebut. "Kau jangan asal ya, kenapa dengarkan Dinar??????"
"Apa kau bilang??? Adik ku sampai menangis berarti dia sudah tau kalau kau ada main dengan wanita lain." Jawab Bang Dalu tegas, tegasnya seorang kakak yang membela adiknya mati-matian.
"Tolong.. kau bisa membela adikmu, tapi kau juga harus tau kejadiannya. Kau paham betul kan siapa adikmu???" Kata Bang Ratanca.
"Justru karena aku mengenal siapa adik ku..!!!!!"
"Aaahh terserah kau saja lah. Kepalaku sakit, aku mau istirahat..!!!!" Bang Ratanca segera naik ke atas ranjang pasien yang ada di samping Bang Langkit.
Bang Dalu semakin geram karena ucapnya seakan di abaikan iparnya. Fokusnya pun beralih pada Bang Langkit.
"Kau.. kenapa kau bisa seperti ini. Kenapa acara bunuh dirinya nanggung sekali. Lompat di jurang masih bisa, di gudang juga banyak karbol pembersih lantai. Kenapa harus gantung diri???? Kau juga belum meninggalkan surat wasiat dan harta benda untuk Nada dan anakmu." Omel Bang Dalu.
"Aku salah, aku tidak berpikir panjang." Jawab Bang Langkit.
"Apa kau pernah berpikir panjang????? Sejak dulu kau selalu seperti ini. Seluruh kebodohan kau telan sendiri." Bentak Bang Dalu semakin menjadi.
Amarah Bang Dalu masih menggelegak karena suaranya terkubur bersama suara dengkuran Bang Ratanca yang sudah hilang terbuai mimpi dalam waktu beberapa detik saja.
"Astaghfirullah... Wareeeeng..!!! Suaramu.....!!!!" Suara Bang Dalu kembali meninggi.
tok.. tok.. tok..
"Selamat pagi.. saya perawat magang yang di perintahkan dokter untuk memeriksa Pak Langkit dan Pak Dalu." Kata seorang wanita dari bingkai pintu.
"Kenapa tidak... dokternya yang kesini??" Suara Bang Dalu yang meninggi mendadak melemah melihat perawat magang yang tiba-tiba membuat matanya buta.
"Nanti dokternya datang Pak. Di rumah sakit masih banyak pasien, tadi ada korban kecelakaan." Jawab perawat wanita tersebut.
Bang Dalu diam seribu kata, matanya terus terpana menatap cantiknya gadis yang sedang memeriksa kondisi Letnan Langkit.
"Pak Rancaaa.. bapak sudah baikan? Tadi sepertinya di telepon, bapak bilang sakit kepala??" Tanya perawat tersebut tapi tidak ada jawaban apapun karena Bang Ratanca memang begitu lelap dalam tidurnya.
"Bagaimana kalau periksa saya saja..!!" Kata Bang Dalu.
"Apa keluhannya, Pak... Dalu?"
"Ehmm.. mata berkunang-kunang sayu, degub jantung tidak beraturan, nafas tersengal, sekarang mendadak gelisah, nafas putus sambung, rasanya panas dingin..!!" Jawab Bang Dalu tidak mengalihkan pandangan dari perawat tersebut.
"Bapak ada riwayat alergi, kejang, malaria............"
"Malarindu, dek..!!" Sambar Bang Dalu.
Bang Langkit langsung menutup wajahnya dengan bantal, malas melihat sahabatnya. Memang dua sahabatnya itu begitu pandai merayu wanita tapi tetap sebenarnya Letnan Ratanca tak terkalahkan, jika saja sahabatnya itu tidak sedang K.O pasti wanita itu di rayunya juga, dengan catatan si cantik Dinar jauh dari peredaran sekitar.
.
.
.
.