Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17: Pagi yang menegangkan
Matahari pagi baru saja naik ke permukaan. Cahaya kuning keemasan menembus jendela besar yang setiap harinya menyuguhkan pemandangan kota dan Sungai Han.
Di kamar apartemen milik Jihoon, Minjoon terbangun. Sudah dua hari ia menginap di sana. Tujuan awalnya jelas — untuk mendamaikan kedua kakaknya yang sedang perang dingin. Namun, hingga saat ini belum ada kemajuan berarti.
Jihoon masih sama; keras kepala, menolak memaafkan Yoonjae jika adik pertamanya itu tidak meminta maaf terlebih dahulu. Sementara Yoonjae juga tak kalah keras, ia tidak ingin meminta maaf sebelum Jihoon melakukannya lebih dulu. Karena itu pula, usaha Minjoon selama lebih dari sebulan ini belum membuahkan hasil. Kedua kakaknya masih saja terjebak dalam diam yang kaku.
Setelah mencuci wajahnya, Minjoon keluar kamar masih dengan piyama yang belum sempat diganti. Ia berjalan menuju dapur untuk mengambil minum, namun langkahnya terhenti sejenak ketika melihat Jihoon yang tengah fokus memasak. Ia kembali melangkah pelan lalu berkata.
“Joheun achimieyo, Hyung,” ucap Minjoon sambil mengambil gelas di rak dapur.
“Joheun achimieyo,” balas Jihoon tanpa menoleh.
“Hyung masak apa? Sepertinya enak,” tanya Minjoon sambil menyesap sedikit air dari gelas bening yang kini ia genggam.
“Doenjang jjigae. Kau suka, kan?” jawab Jihoon singkat, suaranya rendah dan agak parau karena belum sepenuhnya bangun. Ia masih tak menoleh, sibuk mengaduk perlahan sup kedelai yang mengepul di atas kompor. Minjoon mengangguk kecil, meskipun tahu Jihoon tidak melihatnya.
“Aku suka… asal tidak terlalu asin dan pedas seperti yang Hyung buat waktu itu.” candanya, mencoba mencairkan suasana. Untuk sesaat, Jihoon menghentikan gerakannya. Hanya satu detik, tapi cukup bagi Minjoon menyadari kakaknya sedang menahan senyum. Namun, ekspresi itu hanya melintas sebentar. Jihoon kembali serius seperti biasa nya mencicipi kuah darisendok kayu, lalu mematikan api.
“Kalau kau tidak suka, kau bisa masak sendiri,” katanya akhirnya, lalu menyingkir sedikit memberi ruang bagi Minjoon untuk duduk di stool dapur.
“Aku lebih suka ketika Hyung yang masak,” ujar Minjoon sembari menaruh gelasnya, lalu menggeser piring-piring untuk membantu menata meja makan.
Suasana hening beberapa saat, hanya suara sendok dan piring yang bersentuhan. Namun di balik kesunyian itu, ada pertanyaan yang menggantung kuat di antara mereka—pertanyaan yang sama, pertanyaan yang tidak pernah benar-benar pergi sejak Minjoon datang ke apartemen ini dua hari lalu.
“Hyung, apa Hyung tidak lelah?” ujar Minjoon perlahan, memutuskan keheningan. Jihoon mendongak sejenak, menatap adik bungsunya itu dengan alis terangkat.
“Lelah apa?” tanya nya menatap sang adik, sejenak.
“Lelah… bertengkar terus. Kau dan Yoonjae hyung... Kalian sudah dewasa. Harusnya kalian bisa bicara baik-baik tanpa terus bersikeras saling salah.” ujar Minjoon hati hati takut kakak nya tersinggung seperti sebelumnya, Jihoon menghela napas panjang. Ia menarik kursi, duduk di seberang Minjoon. Matanya menatap keluar jendela, ke arah langit yang kini mulai cerah sempurna.
“Kau pikir aku tidak mau, Joon? Tapi aku tidak bisa bicara dengan orang yang bahkan tidak mau mengakui dia menyakitiku.” suaranya lebih lirih sekarang Minjoon menunduk. Ia mengerti. Tapi di sisi lain, dia juga tahu bahwa Yoonjae punya alasan sendiri. Alasan yang mungkin belum Jihoon dengar atau mau pahami.
“Aku hanya tidak mau kehilangan kalian berdua, sekarang aku hanya punya kalian Hyung...” ucap Minjoon pelan, suaranya nyaris tenggelam di antara ketegangan yang menggantung.
"Aku tidak membenci mu meskipun dalam keadaan seperti ini, jadi kamu tidak perlu khawatir," ujar Jihoon masih tenang.
“Aku tahu tapi Hyung dulu kita kehilangan Ara… dan sekarang kalian hampir saling kehilangan satu sama lain karena ego.” lanjutnya, mencoba menatap Jihoon yang sibuk dengan sup Doenjang jjigae di piring nya.
"Jika kamu terus membahas manusia tidak sopan itu, sebaiknya pergi saja dari sini. Aku tidak mau mendengarnya lagi," ucap Jihoon datar, meski nada suaranya mengeras di ujung kalimat.
“Hyung...” panggil Minjoon perlahan, tapi Jihoon malah mendelik tajam.
"Jika dia memang menyesali perbuatannya, seharusnya dia datang dan minta maaf padaku. Kau tidak dengar apa yang dia katakan waktu itu? Dia bilang aku tidak punya perasaan, bahwa aku tidak pernah terluka hanya karena aku diam. Dia pikir hanya dia yang kehilangan Eomma dan Appa? Dia pikir hanya dia yang selama ini mencari Ara? Dia bicara seolah-olah hanya dia yang berhak terluka." Ujar Jihoon yang membuat Minjoon menghela napas pelan.
“Tapi Hyung... jika kalian terus seperti ini, bagaimana kita bisa menemukan Ara?” ujar Minjoon yang membuat Jihoon menghentakkan sendok di atas meja.
“Keluar.” katanya tajam.
“Hyung...” lirih Minjoon, nyaris tak terdengar.
“Keluar! Atau diam.. kamu ingin mengikuti perilaku buruk Yoonjae?"ulangnya lebih keras.
Suaranya menggema di seluruh apartemen yang sunyi. Minjoon menunduk dalam diam. Suara sendok yang bersentuhan dengan piring menjadi satu-satunya bunyi di dalam apartemen pagi itu. Aroma Doenjang jjigae buatan Jihoon masih memenuhi ruangan, tapi rasanya hambar di lidah Minjoon. Tangannya gemetar sedikit saat menyendok nasi, menahan semua emosi yang belum sempat ia ungkapkan. Jihoon duduk di seberangnya, wajahnya datar tapi rahangnya mengeras, pertanda bahwa ia juga sedang berusaha menahan sesuatu di dalam dirinya. Tatapannya lurus ke piring, sama sekali tidak melirik ke arah Minjoon.
Tak ada yang bicara.
Sunyi itu mencekam, seperti jeda panjang sebelum badai datang lagi. Meja makan yang biasanya terasa hangat dan penuh cerita tentang pekerjaan, tentang pelanggan café, bahkan lelucon basi Minjoon—kini hanya diisi keheningan dan ketegangan Minjoon menarik napas pelan.
"Hyung, aku mohon, aku tidak mau kita seperti ini terlalu lama," ucapnya hati-hati, nyaris seperti bisikan. Jihoon tak menjawab. Tapi ada gerakan kecil di ujung matanya—mungkin isyarat bahwa kata-kata itu masuk ke dalam hatinya, meski belum sanggup ia jawab.
Di luar, matahari mulai naik, menyinari kaca jendela apartemen. Pagi itu tetap berjalan seperti biasa, hanya saja, ada dua hati yang masih diam-diam menyimpan luka yang sama—kehilangan Ara, dan kini… kehilangan satu sama lain. Setelah menyendokkan suapan terakhirnya, Jihoon meletakkan sumpit ke sisi mangkuk dengan suara pelan namun tegas. Ia bangkit tanpa menatap Minjoon sedikit pun. Langkahnya cepat, tapi tidak tergesa—terkendali seperti biasa. Ia mengambil jas kerjanya dari gantungan dekat pintu, lalu berjalan ke arah kamar.
Tak sepatah kata pun ia ucapkan.
Tidak “terima kasih untuk makanannya,”
tidak juga “aku pergi dulu.”
Hanya suara pintu kamar yang tertutup perlahan, hampir tanpa bunyi, tapi cukup untuk meninggalkan tekanan berat di dada Minjoon.
Minjoon mematung sejenak. Sendok masih dalam genggamannya, napasnya menggantung di kerongkongan. Ia tidak menyangka pertengkaran kecil tadi akan berakhir seperti ini. Biasanya Jihoon akan mencoba memperbaiki suasana… tapi kali ini tidak. Minjoon menghela napas pendek, menelan sisa emosinya bersama ludah yang terasa pahit. Lalu ia mulai berdiri. Ia merapikan piring-piring, mangkuk sup, dan gelas yang belum disentuh Jihoon. Semua itu ia bawa ke dapur, satu per satu.
Tak ada pelayan di apartemen itu—berbeda dengan rumah utama keluarga Kim yang penuh asisten rumah tangga. Di sini, segalanya harus dikerjakan sendiri. Dan karena Jihoon yang memasak, Minjoon tahu betul itu artinya dia harus yang membersihkan. Suara air mengalir dari keran. Busa sabun menggenang di dalam wastafel. Tangannya bergerak lincah membersihkan sisa sup yang sudah dingin dan kerak nasi yang menempel di mangkuk.
Tapi pikirannya melayang, penuh sesak—bukan cuma tentang Jihoon dan kalimat tajamnya tadi pagi. Ada hal lain yang mengganggu benaknya. Dan pagi itu, di bawah sorot lampu dapur yang dingin, Minjoon mencuci piring dalam diam. Tanpa pelayan, tanpa suara, tanpa pelukan atau permintaan maaf—yang ada hanyalah satu laki-laki dewasa yang mencoba menjaga keluarganya, meski ia sendiri mulai lelah diabaikan oleh orang yang paling ia butuhkan.
Setelah selesai, Minjoon melangkah masuk ke kamarnya. Ia bersiap-siap untuk mandi, lalu mengenakan pakaian rapi. Hari ini, ia dijadwalkan menghadiri sebuah acara penghargaan untuk café miliknya yang baru saja mendapat pengakuan sebagai tempat dengan atmosfer terbaik di distrik itu. Tapi, baru saja ia selesai mengancingkan kemejanya, ponselnya berdering. Di layar, tertera nama: Park Ji-Sung tanpa ragu, ia segera mengangkatnya.
"Hyung... pagi, maaf mengganggu waktumu!" ujar suara dari seberang dengan nada sopan namun terdengar sedikit gugup.
"Tidak sama sekali. Ada apa?" tanya Minjoon, sambil berjalan ke meja kecil di dekat ranjang, mengambil jam tangannya.
"Ingat tentang Areum?" tanya Ji-Sung, langsung ke intinya.
"Ah... iya. Apa ada perkembangan? Dia setuju bekerja denganku?" Minjoon langsung teringat kembali pada gadis itu—Areum, wanita yang sempat menarik perhatiannya dalam beberapa hari terakhir. Sudah tiga hari berlalu sejak terakhir kali mereka bertemu, dan Areum tidak menghubunginya lagi. Jujur, dia hampir lupa.
"Iya... dia setuju, tadi pagi dia mengirim pesan. Katanya dia ingin bicara langsung denganmu, tapi dia masih sungkan." jawab Ji-Sung, terdengar lega dan Minjoon mengangguk kecil, meski lawan bicaranya tak bisa melihat.
"Kalau aku tidak sibuk, aku akan menemui dia langsung. Tapi kalau jadwalku padat, aku akan menyuruh asistenku untuk mengatur semuanya." Ujar Minjoon yang membuat Ji-Sung terdengar sedikit berdehem.
"Hyung... kenapa Hyung memilih Areum dibandingkan kandidat lain? Maksudku, ada karyawan lain yang pengalamannya jauh lebih panjang. Aku tahu Areum cukup berjasa dan memang dia yang membuat rating café-ku membaik belakangan ini, tapi—jujur saja—itu hanya sebagian kecil dari banyak masalah yang ditangani oleh dua staf lain yang lebih senior. Kalau ini tentang loyalitas, kenapa harus Areum? Bukankah pengalamannya juga masih minim?" Ujar Ji-Sung yang mana pertanyaan itu menggantung beberapa detik. Minjoon tidak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang, lalu berdehem pelan sebelum bicara lagi.
"Iya... memang bukan karena alasan itu, aku memilih dia karena aku tertarik." ucapnya jujur, tapi ada jeda sejenak sebelum dia kembali melanjutkan "Entahlah, ada sesuatu dalam dirinya yang... membuatku ingin memberikan dia kesempatan. Rasanya seperti... naluri." Jawaban itu membuat Ji-Sung menghela napas pelan, lalu bertanya dengan nada yang lebih tenang.
"Hyung suka padanya?" Tanya Ji-Sung berusaha memastikan sesuatu dan Minjoon cepat-cepat menanggapi, nyaris tergagap.
"Bukan suka dalam artian seperti itu. Hanya... tertarik saja. Bukan yang kamu pikirkan." ujar Minjoon cepat, mencoba terdengar tenang, tapi ia sendiri sedikit heran kenapa kata-katanya seperti sedang membela diri. Di seberang telepon, Ji-Sung terdiam sesaat, lalu terdengar helaan napas pelan.
"Hyung, aku cuma ingin memastikan semuanya tetap profesional. Maksudku, aku tahu kamu orangnya tegas dalam urusan kerja, tapi Areum itu… dia agak sensitif. Dia bukan tipe yang tahan tekanan. Dari pandangan ku dia itu termasuk karyawan yang loyal cekatan dan pintar, tapi dia sulit bersosialisasi Hyung, bahkan saat awal awal bersama ku dia terlihat kesulitan dengan kerja sama tim nya, sampai beberapa kali aku menegurnya dan dia juga cukup sensitif Hyung," ujar Ji-Sung menjelaskan semuanya seolah yang paling tahu segalanya tentang Areum, dan Minjoon mengangguk pelan meskipun Ji-Sung tak bisa melihatnya.
"Baiklah... Justru karena itu aku ingin memastikan dia bisa berkembang di lingkungan yang lebih kondusif. Aku tidak berniat membebaninya, hanya ingin melihat potensinya lebih jauh." Ujar Minjoon lagi.
“Terima kasih sudah mengerti, Hyung,” ujar Ji-Sung, suaranya terdengar lega namun masih menyimpan sedikit kecanggungan. Minjoon terdiam sejenak, matanya memandangi refleksi wajahnya sendiri di cermin.
“Aku mengerti, aku akan berhati-hati. Tapi... wae? Kenapa sekarang aku justru merasa kalau kamu yang punya perasaan padanya? Bukankah itu terlalu dalam kalau hanya sekadar penilaian atasan pada karyawan? Kamu bahkan tahu detail tentang pribadi dan sisi emosinya.” Ucap Minjoon pelan, nada bicaranya tenang, tapi ada sedikit godaan yang terselip di ujung kalimatnya. Ji-Sung tersentak kecil, lalu tergelagap.
“B-bukan seperti itu, Hyung. Aku tahu karena... dia memang temannya Taeyoon,” ujarnya cepat, berusaha terdengar meyakinkan padahal jelas sedang berbohong.
“Ah... begitu rupanya. Pantas saja,” sahut Minjoon, terkekeh pelan sambil menatap jam tangannya. “Aku pikir kamu menyukainya. Tidak biasanya kamu sepeduli itu pada karyawanmu, Ji-Sung-ah.” Lanjut nya yang membuat Ji-Sung tertawa hambar, mencoba menutupi rasa kikuknya.
“Tidak sama sekali, Hyung. Aku hanya tidak ingin Taeyoon kecewa. Dia yang membawa Areum masuk, dan jujur saja, dia cukup terkejut ketika tahu kamu memilih Areum sebagai kandidat yang akan dipindahkan ke cabangmu.” ujar nya yang membuat Minjoon mengangguk kecil meskipun taada yang melihat nya, ekspresinya tak banyak berubah, hanya matanya yang memancarkan sedikit kehangatan.
“Baiklah. Aku akan bantu untuk transisi awalnya. Mungkin seminggu ke depan aku bisa ikut mendampingi sampai dia merasa nyaman,” ujarnya tenang. Ucapan itu membuat Ji-Sung menghela napas lega di seberang sana.
“Terima kasih banyak, Hyung. Maaf sudah merepotkan.” ujar nya.
“Gwaenchanha, aku ada urusan lain, kita bisa bicarakan ini nanti. Seperti kataku tadi, kalau jadwalku tidak padat aku sendiri yang akan mengurusnya. Tapi kalau sibuk... biar asistennya saja.”jawab Minjoon datar, namun lembut. Ia berbicara sambil merapikan dasinya, menatap pantulan bayangannya yang masih tampak sedikit berantakan.
“Ah, baiklah. Selamat pagi, Hyung,” ujar Ji-Sung akhirnya.
“Selamat pagi,” balas Minjoon, lalu menutup panggilan itu.
Percakapan berakhir hanya dengan ucapan salam singkat, tapi meninggalkan sisa rasa aneh di dadanya. Setelah ponsel ia letakkan di atas meja kecil di sudut kamar, Minjoon terdiam lama. Tatapannya tertuju pada cermin, menatap refleksi dirinya yang kini mulai tampak lebih siap... namun entah kenapa, matanya memantulkan sesuatu yang lain—rasa penasaran yang tak semestinya tumbuh di antara urusan kerja.
"Menarik, tapi bukan suka," gumamnya pelan sambil mengancingkan kemeja. Tapi entah kenapa, bayangan senyum Areum muncul di kepalanya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, senyuman kecil muncul di wajah Minjoon.
Akhirnya, setelah selesai merapikan dirinya, Minjoon keluar dari kamar. Langkahnya ringan, aroma oriental yang lembut mengikutinya. Tapi langkahnya langsung melambat ketika matanya menangkap sosok Jihoon yang baru saja keluar dari kamar sebelah, sudah lengkap dengan jas kerjanya yang rapi dan aura dingin yang begitu familiar. Minjoon sempat ragu untuk menyapa, tapi Jihoon bahkan tidak melirik ke arahnya. Pria tertua keluarga Kim itu hanya menatap lurus ke depan dan berjalan melewatinya begitu saja, seolah Minjoon adalah bayangan di dinding yang bisa diabaikan.
Sunyi. Bahkan suara langkah kaki Jihoon di lantai marmer terdengar lebih keras daripada suasana di antara mereka. Minjoon menghela napas pelan, menahan keinginan untuk membuka suara. Tapi saat ia berpaling, ia sempat melihat sorot mata Jihoon yang keras, dingin, dan sedikit... kecewa.
“Dia masih marah,” pikir Minjoon.
Mungkin karena semalam ia kembali membahas tentang Yoonjae, tentang masa lalu, tentang luka yang belum sepenuhnya sembuh. Dan Jihoon, yang selama ini berusaha menjadi benteng paling kokoh di antara mereka, muak dengan luka yang terus digali.
"Aku harus membuat mereka berdamai bagaimanapun caranya" ujar Minjoon penuh tekad.