Bagaimana rasanya, jika kalian sebagai seorang anak yang di abaikan oleh orangtuamu sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muliana95, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kakek Kasim
"Satria ..." ucap Vania ragu.
"Keinginan yang mana?" tekan Satria.
"Sat, masa dia minta ku untuk jauhin kamu. Kan jahat." rengek Ifana langsung mendapatkan injakan kaki dari Vania.
"Au ..." pekik Ifana agak keras, padahal injakan dari Vania tidak lah, terlalu sakit.
"Ada apa?" tanya Amalia dengan membawa kue hasil buatan Vania.
"Tante, kue buatan aku udah siap? Ayo Satria, kita cicipi sama-sama." ajak Vania mengalihkan pembicaraan.
"Ayo, aku juga sangat lapar dan penasaran." ujar Ifana menekan kata penasaran.
Amalia membawa kue tersebut ke meja makan. Kemudian dia memotong-motongnya untuk dibagi dalam piring kecil.
Ifana langsung menyantap kue tersebut. Kemudian di langsung memuntahkan kue buatan Vania, karena terdapat cangkang telur dalam kue tersebut.
"Kalian jangan dulu mencobanya, lihatlah ini, masih ada cangkang telur. Terus rasanya tidak karuan." sinis Ifana.
"Kamu jangan fitnah ya, gak mungkin rasanya nggak enak. Aku melakukannya sama persis kayak di vidio." bantah Vania.
"Kalo gitu, silahkan kamu cicipi sendiri." tantang Ifana membuat Vania langsung memakan kue yang ada di piringnya.
"Jangan di muntahkan, bukankah itu enak?" larang Ifana melihat Vania hendak bangkit. "Telan Vania." perintah Ifana.
"Sudah-sudah ,,, kamu ke belakang aja Vania. Biar kue ini Tante yang buang." seru Amalia.
Vania langsung ke dapur begitu mendengar perintah dari Amalia. Namun, dia sangat geram melihat perlakuan Ifana yang seperti melecehkannya.
Vania langsung pulang, begitu tahu kuenya di buang. Dia gak mau jika nanti Ifana terus membullynya.
Hari sudah hampir malam, Ifana pulang dengan di antar oleh Satria. Karena Amalia gak mau jika keponakan kesayangannya kenapa-napa. Jadi, dia menyuruh Satria untuk mengantarkannya.
Vania yang masih berada di ruang tamu rumahnya, melihat sikap Satria yang berbeda jika ada di sampingnya. Satria lebih terlihat bersahabat jika dengan Ifana. Bahkan tak merasa risih saat Ifana melingkarkan tangannya di pinggang Satria.
Berbeda dengannya, saat pura-pura hampir jatuh, dan memeluk Satria. Malah besoknya Satria tidak mau memberi tumpangan lagi, dengan alasan takut Vania kenapa-napa.
🍁🍁🍁🍁🍁
"Kakek ini rumah siapa?" tanya Adira melihat Kakeknya menatap lama ke arah rumah yang berada di hadapan mereka.
"Ayo kita turun." ajak Johan.
"Kek ..." Adira menahan lengan Johan.
"Ini rumah peninggalan Nenekmu dulu, dan sekarang sudah ditepati oleh Abang dari Nenekmu." jelas Johan, agar Adira melepaskan lengannya.
Setelah mereka turun, Johan langsung memberi salam saat sudah mencapai depan pintu.
Tak lama kemudian, keluarlah seorang lelaki yang mungkin juga seumuran Johan. Lelaki tersebut menatap lama ke arah Johan sambil mengernyit dahi.
"Siapa?" tanyanya bingung.
"Kasim ... Apa kabar?" tanya Johan balik.
"Jo-Johan?" tanyanya Kasim tak percaya. Dia langsung memeluk iparnya tersebut. Sebab dia tahu, jika Johan gak pernah sanggup untuk datang ke rumah mereka. Mungkin, sekarang dia memiliki keperluan yang teramat genting. Makanya dia sampai ke sini.
"Aku pikir, kamu telah menyusul Sulastri. Kenapa kamu baru kesini? Hal apa yang membuatmu ke sini?" tanya Kasim pada sahabat semasa mereka kuliah dulu.
"Andai bisa, aju ingin menyusulnya segera mungkin Kasim. Tapi ini terlalu lama, tapi aku juga bersyukur setidaknya aku masih bisa melihat sedikit wajah Sulastri pada wajah Adira. Cucu kami." jelas Johan menunjuk Adira yang berada di sampingnya.
Kasim langsung menatap manik mata Adira. Ya, dia juga bisa melihat sedikit kemiripan dari mata tersebut.
"Siapa tadi namanya?" tanya Kasim.
"Adira ..." lirih Adira, menyalami Kasim.
"Ya udah ayo kita masuk, karena ini udah menjelang malam. Baiknya kalian nginep saja disini." pinta Kasim.
"Jangan Kasim, Adira juga harus sekolah besok. Jadi, mungkin nanti tengah malam kami akan pulang." bantah Johan.
"Tidak Johan, Adira juga cucuku. Jadi, aku berhak terhadapnya." seru Kasim.
"Makanya, kamu harusnya dulu nikah, biar tahu bagaimana rasanya punya cucu."
"Tanpa nikah pun, aku juga punya cucu. Kamu tinggal di sini saja ya Adira? Jangan lagi kembali ke sana. Nanti saat kamu bersama Kakek, semua harta warisan Kakek, Kakek serahkan untukmu." rayu Kasim.
"Harta warisan konon. Rumah aja, hasil belas kasihan dariku." sindir Johan.
"Kamu Johan," tunjuk Kasim.
"Udah Kek, jangan bertengkar." relai Adira, panik.
"Kami tidak bertengkar sayang. Inilah, cara kami berkomunikasi. Harusnya tadi kamu beritahu Adira, kalo kita berdua bertemu, jangan kaget melihat cara kita bicara." kekeh Kasim.
"Iya nak, inilah cara kami melepas rindu. Dan asal kamu tahu, Kasim merupakan salah satu penduduk yang kaya di kampung ini. Jadi, dia beneran banyak harta warisan." terang Johan agar Adira kembali tenang.
Akhirnya Johan memutuskan untuk menginap. Lagipula, Kasim terlalu memaksanya. Dengan alasan sangat rindu.
Kasim memang tak pernah ke tempat Johan, dia selalu mabuk perjalanan saat menaiki kendaraan bernama mobil. Untuk berjalan dengan sepeda motor, rasanya dia sudah tidak sanggup lagi.
Baik Kasim atau Johan, sama-sama saling menghubungi, padahal Kasim selalu memaksa Johan untuk menemuinya, tapi Johan selalu menolak dengan alasan belum sanggup.
🍁🍁🍁🍁🍁
Di rumah, Afandi sedikit gelisah saat mengetahui jika Adira tak kunjung pulang. Dia memang mendapatkan pesan dari Adira jika ia lagi bersama Johan. Terakhir, foto saat dia sedang di pusat pembelajaan.
Adira memang sengaja mengirim foto pada Ayahnya. Karena dia menduga jika Kakeknya tidak memberi kabar pada Ayahnya, terbukti, selama mereka bersama, tak sekali pun, Kakeknya memengang ponsel.
Berbeda dangan Ella, dia malah terlihat santai bahkan dia bisa makan dengan nyaman tanpa ada Adira di sampingnya. Karena bagi Ella, asalkan Adira bersama dengan Johan, jadi, tidak ada hal yang perlu di khawatirkan.
Dan Ella menganggap jika Afandi terlalu lebay sampai harus memikirkan Adira yang jelas bersama Kakeknya sendiri.
"Ayah kenapa, aku dari tadi perhatiin Ayah, Ayah seperti orang lagi banyak masalah." ucap Vania duduk disisi Afandi.
"Ayah hanya khawatir pada Adira. Kok dia belum kembali." sahut Afandi.
"Ayah, kenapa Kakek hanya sayang Adira? Padahal aku juga ingin jika Kakek mengajak ku pergi bersama. Aku juga ingin dekat dengan Kakek." seru Vania mencoba menghilangkan kekhawatiran Afandi.
"Kakek juga sayang padamu Vania, mungkin dia gak mau kamu kecapean. Lagian Kakek kan gak pernah membedakan kamu." bela Afandi mengelus rambut Vania.
"Ayah sayang padaku kan?"
"Tentu, bahkan kamu merupakan anak kesayangan Ayah dan Ibu." puji Afandi tanpa tahu jika Vania merekam percakapan mereka.
Satria terus menerus melihat ke arah kamar Adira, dia terakhir melihat Adira hanya saat di antarkan pergi sekolah. Saat bertanya sama Ifana, Ifana hanya bilang jika dia pulang lebih awal dari Adira.
"Kamu kemana? Tidakkah kamu tahu, bahkan hariku ikut gelap, seperti kamarmu yang tanpa cahaya." gumam Satria.
Rasany ngk enk bget