Karna, seorang pemuda sebatang kara yang dipungut sejak masih bayi oleh Mpu Angalas pada masa kerajaan Majapahit. Karna kemudian dididik berbagai ilmu kesaktian yang mengambil inti sifat Alam, yaitu Tirta Gumulung (Air), Tapak Dahana (Api ), dan Bayu Bajra (Angin). Di samping itu, Karna yang kemudian dikenal sebagai Ksatria Angker mendapat anugerah ilmu dari Alam Semesta yang merangkum semua sifat alam dalam ajian Sapu Jagad yang bersifat Langit dan Bumi. Ilmu inilah yang harus disempurnakan oleh Ksatria Angker dalam setiap petualangan dan pertempuran.
Setelah dinyatakan lulus belajar ilmu kerohanian dan bela diri oleh gurunya, Ksatria Angker berangkat ke Kota Raja Majapahit. Di sana ia bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada dan direkrut sebagai Telik Sandi ( mata-mata) yang bertugas melawan musuh-musuh Negara yang sakti secara pribadi untuk mewujudkan impian Gajah Mada mempersatukan Nusantara.
Novel fantasi dunia persilatan ini bukan hanya bercerita tentang perkelahian dan jurus2 yang mencengangkan, namun juga ada intrik politik masa silam, strategi tugas mata-mata, juga dilengkapi dengan berbagai latar belakang sejarah, istilah-istilah Jawa Kuno yang diterjemahkan, serta penggambaran cara hidup masa lalu yang diharapkan mampu membuat pembaca ikut tenggelam ke alam pikiran pada masa Majapahit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agus Amir Riyanto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35 JULIG GAGAL?
Tithi 3 Suklapaksa tiba. Hari penentuan sebagai pertaruhan terakhir berhasil gagalnya 3 Ksatria Majapahit merebut sobekan surat rahasia Mahapatih Gajahmada dari tangan pemilik ajian misterius Murli Katong si Panembah Swara yang sosoknya tidak pernah terlihat jelas.
Pagi-pagi buta 4 kuda berderap menuju pinggir alas Ketonggo. Bregas masih dibawa untuk mengenali perempuan penjual bunga yang akan dicegat. Derap kaki mendepak tanah kali ini terasa lengang tanpa suara para penunggangnya. Masing-masing sibuk tenggelam dalam pikiran sendiri. Pikiran Kidang Panah dan Karna nyaris sama, dilanda kekhawatiran pada keselamatan jiwa Julig di hadapan keterbatasan waktu. Andai waktu bisa diputar balik atau ditambah, baik Karna maupun Kidang Panah tidak rela melepaskan Julig berjuang sendiri tanpa perlindungan. Sementara Julig pun sedang sibuk memikirkan berbagai kemungkinan yang akan dia hadapi selama di dalam goa. Ia matangkan perkataan dan langkah apa yang harus diambil agar tidak memancing kecurigaan sehingga ia bisa mengetahui letak lobang udara serta mengirim isyarat ke luar.
" Kita berhenti di sini saja, Raden, " ujar Bregas memecah kesunyian. " Di sana jalan setapak satu-satunya yang terdekat menuju goa," Bregas menunjuk jalan kecil yang tampak menyibak rerimbunan hutan.
" Baik, " Kidang Panah menghentikan laju kudanya diikuti yang lain. " Kita menunggu di sini kedatangan ibu penjual bunga. Bregas, kau jangan sampai salah mengenali orang."
" Sandhika dhawuh, Raden." jawab Bregas kemudian turun menambatkan kuda di pohon terdekat.
" Wingit dan Julig yang nanti menemui ibu penjual bunga itu. Aku dan Bregas di sini saja biar ibu itu tidak takut kalau didatangi terlalu banyak orang." ujar Kidang Panah yang sudah terbiasa memimpin operasi lapangan saat membegal dulu.
" Ya, kang Kidang," jawab Karna.
" Kau bawa uang tidak?"
" Bawa, Kang. Jangan khawatir."
" Jangan lupa bayar dengan harga lebih agar ibu itu senang dan bisa membantu keluarganya," tambah Kidang Panah.
" Iya, Kang, " sahut Karna. Baru beberapa hari ia mengenal Kidang Panah, tapi ia segera tahu kepribadian Kidang Panah yang sangat gemar menolong orang miskin.
Waktu empat orang itu tiba, matahari sudah menyala sempurna di ufuk timur. Tanda waktu sudah menunjukkan titi Byar ( Terang, sekitar jam 6 pagi). Mereka memperhitungkan saat itulah ibu penjual bunga sebentar lagi lewat, karena waktu datang ke goa sekitar titi pecat Sawed ( sekitar jam 9 sampai 10). Padahal perjalanan menembus hutan menuju goa kurang lebih memakan waktu dua penanak nasi.
***
Beberapa orang telah masuk melalui jalan setapak itu. Berkali-kali Bregas yang terlalu tegang salah tunjuk orang. Simbok-simbok penjual bunga sudah terlanjur dicegat ternyata bukan orang yang dimaksud. Ia penjual bunga sesajian untuk para pengunjung petilasan Eyang Srigati. Terakhir malah salah cegat ibu-ibu pedagang buah, padahal katanya sudah yakin sekali. Kidang Panah sempat bersungut-sungut, namun Bregas sudah tidak takut lagi karena telah memahami karakter Kidang Panah yang spontan sehingga terlihat seolah-olah marah.
Mereka kembali mengawasi orang-orang yang berlalu lalang, sementara matahari perlahan merangkak naik. Bagaimanapun, kondisi ini akhirnya membuat mereka tegang. Mulai berkembang pikiran jangan-jangan tebakan Julig tentang sembahyangan rutin salah. Atau, jangan-jangan perempuan penjual bunga itu terkena halangan. Sedikit lelah memikirkan, Karna, Kidang Panah dan Julig menunduk gelisah. Mulai timbul rasa ragu akan keberhasilan rencana yang sedang ingin dijalankan.
Julig yang sangat gelisah sebagai pengusul rencana berkali-kali menengok kiri kanan agar tidak melewatkan seorangpun yang lewat. Andai rencana ini gagal, ia yang paling merasa bersalah.
Karna secara diam-diam mengamati mimik wajah Julig. Ia menyadari kegelisahan Julig. Dengan halus tangan Karna terulur mengusap pundak Julig, " Kalaupun rencanamu tidak bisa berjalan seperti yang kau pikirkan, aku tidak menyalahkan kamu yang telah berusaha sebaik mungkin untuk meringankan tugas ini."
Julig menatap Karna, " Maafkan saya, Kang. Saya hanya orang biasa yang hanya mampu menyumbang pikiran. Andai saya punya kemampuan seperti Kang Wingit dan kang Kidang, pasti saya tidak sebodoh ini."
Karna mengetukkan ujung jari telunjuknya ke kening Julig, " Kau punya kemampuan bernalar yang baik, Julig. Pada situasi tertentu, nalar lebih berguna dari ajian apapun. Jangan merasa lebih rendah dari kami."
Julig tersenyum menghibur diri, " Kadang saya heran dengan kang Wingit. Dengan kesaktian yang demikian tinggi tapi tidak pernah merendahkan orang lain. Sedangkan saya hanya bisa berandai-andai dengan pikiran. Seolah-olah mampu merancang rencana sempurna, tapi nyatanya tidak berguna."
Karna menepuk-nepuk lutut Julig yang terlihat sangat terpukul oleh kegagalan rencananya.
" Seperti yang Kang Kidang katakan, sesungguhnya kau tidak berkewajiban menyelesaikan tugas ini. Nanti kalau ternyata ibu penjual bunga itu tidak datang, terpaksa aku dan kang Kidang menjalankan rencana lain di luar rencanamu. Kau tidak marah kan, Julig?,"
Julig menatap Karna. Sementara matahari makin meninggi dan waktu kian mengejar. Julig jadi tambah gelisah. Ia sangat malu telah membeberkan rencana yang seolah-olah sempurna hingga Karna dan Kidang Panah mau tak mau mengikuti langkahnya, namun nyatanya waktu yang diperhitungkan tidak tepat. Penjual bunga tulasi itu tak datang juga.
Julig kembali menoleh kiri kanan dan menerawangkan pandangan jauh ke depan. Sama sekali tidak ada bayangan ada perempuan penjual bunga yang datang. Yang ada hanya lalu lalang lelaki yang melintas..Tampak jelas mereka adalah siswa-siswa spiritual Eyang Srigati.
Perlahan raut muka Julig yang biasa cerah meredup keruh. Dengan sia-sia ia meramu pinang, tembakau, gamping ( belerang lembab) dan daun suruh ( sirih) untuk menenangkan diri. " Maafkan saya bila rancangan saya meleset, Kang, " desah Julig sambil menerawang jauh.
" Tidak apa-apa, Julig! " sahut Kidang Panah. " Keberhasilan dan kegagalan kita tanggung bersama. Andai siasatmu tidak bisa dijalankan, aku dan Wingit akan menempuh jalan terakhir, Jalan darah! Jalan para ksatria tentang hidup dan mati."
" Jalan darah? Maksudnya Kakang berdua akan mempertaruhkan nyawa?"
Karna mengangguk.
" Dan ketika kakang berdua menempuh jalan darah, apa yang harus saya lakukan?'
Karna tersenyum getir, " Maaf, tapi harus kukatakan. Jika aku dan. kang Kidang harus menempuh jalan darah, kau tidak boleh ikut. Karena itu bukan jalanmu."
Julig mendesah, " Betapa tidak bergunanya saya yang tidak memiliki ilmu bela diri sedikitpun. Saya hanya jadi beban ya, Kang?"
" Bukan begitu, adhiku Julig. Hanya saja saat itu harus dilakukan, duniaku dan duniamu berbeda. Itulah kasunyatan hidup yang tidak bisa kita ingkari."
" Iya, Kang. Kang Wingit benar Saya nurut pada kakang berdua," jawab Julig. Matanya berkaca-kaca merasa gagal.
Karna meraih kepala Julig yang terlihat sangat terpukul. " Manusia itu tidak diukur dari berhasil atau gagalnya suatu upaya, melainkan dari maksud hatinya, dari tekadnya. Dan kau telah membuktikan tekadmu, Julig.'
Julig tersenyum getir. Setitik air mata menetes ke pipinya. Karna menyentuh air mata Julig untuk menghapusnya.
Tiba-tiba, Bregas berteriak lantang, " Itu! Itu perempuan penjual bunga tulasi itu! Saya yakin, dia orangnya!"
Kidang Panah mendengus pendek, Karna malas-malasan menatap, demikian pula Julig tak berharap banyak, karena sudah tiga kali Bregas berteriak demikian, tapi nyatanya salah tunjuk.
***
alurnya TDK terfokus pada satu pemeran
author mencoba gaya novelis zaman ko ping ho
matur nuwun 🙏
berkah untuk Jaka Julig
sungguh sukses mampu mencampuradukkan perasaan 😆