"Ibu, lepaskan aku. Tolong Bu. Aku mohon jangan jual aku!"
Terdengar tangis pilu seorang wanita yang sedang diseret beberapa bodyguard memasuki sebuah Rumah bordir.
Wanita itu masih bermohon belas kasihan pada ibu tirinya yang telah menjualnya pada seorang germo pemilik bordir itu.
Rindiani seorang gadis malang yang berumur 22 tahun harus menerima kenyataan pahit, setelah sebulan sang Ayah meninggal dunia, dia dijual oleh ibu tirinya.
Pada akhirnya ia di keluarkan dari rumah bordir itu dengan harga yang cukup mahal dengan seorang Dokter tampan.
Dokter itu menikahinya secara siri. Tetapi siapa sangka kebaikan dokter itu membuat rindi jatuh cinta kepada dokter yang sudah mempunyai istri sah itu.
Lanjut ikuti alur ceritanya ya. Kisah ini agak banyak mengandung bawang. Bagi yang suka cerita sedih silahkan mampir ya🙏🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Risnawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sah!
Rindi ingin keluar untuk menyediakan makan malam untuk Arfan, tetapi Pria itu menahannya.
"Jangan, Dek, biar Bibik saja yang menyediakan. Kamu istirahat saja, kamu belum boleh banyak bergerak."
Arfan membimbing Rindi untuk duduk di atas ranjang. Namun, matanya melihat koper dan sebuah tas sudah tersusun rapi di depan pintu lemari.
"Ini apa?" Arfan segera memeriksa isi dalam koper itu. "Sayang, ini semua pakaian kamu? Kamu mau kemana?" tanya Arfan tampak begitu cemas.
Rindi hanya terdiam. Dia bingung harus bagaimana menjelaskannya. Sepertinya Pria itu begitu tak menginginkan dirinya untuk pergi.
"Dek, tolong jelaskan, apa ini? Jangan diam saja!" Arfan sedikit meninggikan suaranya. Yang membuat Rindi terkesiap.
"Mas, duduklah." Rindi meraih tangan Arfan dan membawanya untuk duduk.
Arfan mencoba untuk tenang dan menghela nafas dalam, lalu duduk disisi Rindi. Dia menatap wajah istri mudanya itu. Terlihat ada sesuatu yang ingin disampaikan.
"Katakan sekarang, Dek. jelaskan."
Rindi menghela nafas berat, terasa sulit untuk menjelaskan, tetapi dia harus mengatakannya, karena dia juga tak ingin terlalu banyak berharap. Bila nanti Elin tak merestui. Maka, dia harus siap untuk meninggalkan kehidupan mereka.
"Mas, aku tak ingin terlalu banyak berharap dalam hubungan pernikahan kita ini. Karena kamu sudah tahu statusku. Semua keputusan ada pada Mbak Elin."
"Jadi maksud kamu? Bila Elin tak terima, kamu akan pergi. Begitu?" tanya Arfan meyakinkan.
"Ya, Mas. Mbak Elin lebih berhak atas segalanya. Aku tidak akan protes atau meminta hak apapun. Mungkin hubungan kita hanya bertahan sampai disini."
Arfan memegang tangan Rindi. Pria itu tahu apa yang Rindi rasakan saat ini. "Dek, apakah kamu tidak mencintaiku lagi?" tanya Pria itu ingin memastikan karena dari ucapan Rindi, tampak sekali wanita itu pasrah tak berminat untuk memperjuangkan sedikit saja rasa cintanya.
"Mas, kenapa bicara seperti itu? Tentu saja aku sangat mencintai kamu. Tapi, aku tidak ingin menyakiti hati Mbak Elin. Aku ikhlas mengalah Mas, daripada diantara kami merasa tersakiti."
"Tapi bagaimana dengan perasaan aku, Dek? Aku juga sangat mencintai kamu. Aku tidak ingin berpisah denganmu maupun Elin." Arfan mengutarakan perasaan egoisnya. Berharap wanita bisa dengan mudah menerima.
"Mas, kamu seorang lelaki. Jalan pikiran kamu dan kami jauh berbeda. Kamu berharap apa yang kamu rasakan dapat kami pahami. Tapi, sejatinya wanita tak akan mudah menerimanya Mas. Butuh waktu lama untuk dapat berdamai dengan perasaan. Tidak mudah berbagi suami, Mas."
Rindi mencoba untuk menjelaskan, agar suaminya tahu bahwa apa yang dia pikirkan tidak akan pernah sama dengan jalan pikiran wanita.
"Aku tahu mungkin ini berat buat kalian, tapi percayalah, berjalan seiring waktu kalian pasti bisa saling ikhlas menerima," ujar Arfan, meyakinkan Rindi
"Mas, insyaallah aku sudah ikhlas menerima takdir walau menjadi istri kedua darimu. Tapi, kita belum tahu bagaimana perasaan Mbak Elin yang sebenarnya," ujar Rindi dengan wajah sendu.
Arfan mengusap kepala Rindi dengan lembut, dan merangkum kedua pipinya. "Istirahatlah Sayang, besok akan kita bicarakan." Pria itu mengecup kening Rindi dengan dalam.
"Aku belum ngantuk, Mas. Biar aku sediakan makan malam buat kamu ya."
"Tapi, sayang..."
"Tidak, apa-apa, Mas. Aku baik-baik saja. Lagi pula aku juga ingin makan bareng kamu," ujar wanita itu sedikit manja.
Arfan tersenyum gemas sembari ngedusel rambut wanita itu. "Yasudah, ayo kita makan." Arfan membantu Rindi untuk berdiri dan merengkuh pinggangnya lalu berjalan menuju ruang makan.
***
Pagi ini Aisyah sudah kembali mengenakan pakaian akad, wanita itu akan segera menikah. Tetapi, kali ini Pria yang akan menikahinya bukan lagi Pria yang sama.
Aisyah menangis di depan cermin rias yang ada di kamar sederhananya. Seorang Mua merasa kesulitan merias wajahnya, karena make up berantakan karena basah terkena air mata.
"Mbak, tolong jangan menangis lagi. Saya tidak bisa merias wajahnya," ujar Mua itu menginterupsi.
Aisyah berusaha untuk tenang dan diam mengikuti intrupsi tukang rias pengantin itu. Percuma saja dia menangis, karena itu tidak akan mengubah keputusan. Lagipula Pria yang sangat dicintainya dengan terang benderang telah mencampakkan disaat dirinya sudah tak sempurna.
Setelah selesai, dan tukang rias itu sudah meninggalkan kediamannya. Kini wanita itu duduk termenung di dalam kamarnya. Ia mendengar pintu kamar terbuka.
"Ais, apakah kamu sudah siap, Nak? Calon suamimu dan beserta keluarganya sudah datang. Ayo kita keluar sekarang, karena akad nikah akan segera dimulai," ujar Ibuk.
Aisyah hanya mengangguk patuh, dia juga tidak ingin membuat kedua orangtuanya kecewa dan malu. Tidak apa-apa dia menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya, toh dia juga tak bisa melihat wajah lelaki yang beberapa hari ini sedikit menyebalkan baginya.
Aisyah keluar dibimbing oleh ibunya, lalu ibu memperkenalkan Aisyah dengan kedua orangtua calon suaminya yang datang dari luar kota.
"Ais, ayo Salim dengan keluarga calon suamimu." Ibu membawa Aisyah mendekat pada keluarga dari Yanju.
Aisyah bersimpuh sembari meraba mencari tangan yang ingin di salaminya, dan wanita baya itu segera menyambut tangan calon menantunya.
"Bu, maafkan Ais bila kurang sopan menyambut kehadiran ibu dan keluarga. Maafkan segala kekurangan dan segala keterbatasan diri Ais," ujar gadis itu yang membuat hati calon mertuanya sedih dan segera membawanya dalam pelukan.
"Jangan bicara seperti itu, Nak. Kamu gadis yang baik dan sangat ramah. Bunda minta maaf atas apa yang terjadi pada dirimu, karena kecelakaan itu."
Aisyah merasa nyaman dalam dekapan calon ibu mertuanya itu. Ternyata keluarga mereka sangat baik dan ramah. Ia mencoba berpikir dan menerka. Apakah calon suaminya mempunyai dua keluarga? Karena sebelumnya ia sudah berkenalan dengan ayah dan ibunya, dan sekarang Bunda dan Papa.
Hati wanita itu masih bertanya-tanya. Mungkin memang begitu adanya, ayah dan ibu kandung calon suaminya mempunyai kehidupan masing-masing.
Setelah menyalami keluarga calon suami, Aisyah segera duduk disisi Yanju. Pria itu tampak tenang, sekilas ia memperhatikan wajah cantik Aisyah, wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya.
"Kamu cantik sekali." Bisik Yanju, memberi pujian, membuat wajah Aisyah yang putih menjadi merah.
"Apa sih! Kamu bisa melihat wajahku yang cantik. Tetapi lihatlah, aku tidak bisa melihat wajah kamu yang jelek itu." Balas Aisyah sedikit jengkel.
"Hehe... Lebih baik kamu tidak melihatku. Jika melihat, pasti kamu akan segera lari."
Aisyah bergidik ngeri mendengar ucapan Yanju, dia berpikir bahwa Pria yang ada di sampingnya memang buruk rupa, maka dari itu dia begitu senang menikah dengannya. Karena mustahil seorang Pria tampan dan kaya mau menikahi wanita buta yang hidup sederhana.
Yanju tersenyum melihat wajah Aisyah yang tampak berubah saat mendengar ucapannya.
"Ehem... Bagaimana kedua calon mempelai? Apakah sudah siap?" tanya pak penghulu.
"Ah, sudah Pak." Dengan tegas Yanju menjawab atas kesiapannya untuk menghalalkan wanita disampingnya.
"Baiklah, mari kita mulai ijab kabul. Silahkan Ayah dari Aisyah."
Pak Didi segera mengulurkan tangannya dan segera disambut oleh Yanju. Dengan sekali sentakan, Yanju menjawab kalimat sakral itu dengan lantang dan lancar.
"Bagaimana saksi?" tanya pak penghulu.
"Sah!"
"Sah!"
Bersambung......
Happy reading 🥰
hanya sehari saja thor dia terlahir setelah itu menghadap sg ilahi 😭😢😢