Kita tidak pernah tau bagaimana Tuhan akan menuntut langkah kita di dunia. Jodoh.. meskipun kita mati-matian menolaknya tapi jika Tuhan mengatakan bahwa dia yang akan mendampingimu, tidak akan mungkin kita terpisahkan.
Seperti halnya Batu dan Kertas, lembut dan keras. Tidaklah sesuatu menjadi keindahan tanpa kerjasama dan perjuangan meskipun berbeda arah dan tujuan.
KONFLIK, SKIP jika tidak sanggup membacanya..!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bojone_Batman, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10. Merebut hatimu.
"Tinggal proses cek kesehatan, minta tanda tangan terakhir.. sudah selesai, dek..!!" Kata Bang Shano membujuk Jena.
Satu bulan ini menjadi perjalanan yang begitu panjang bagi mereka. Pertengkaran, tangisan, stress bercampur aduk menjadi satu. Belum lagi soal Jena yang bolak balik mencoba kabur dari Bang Shano.
"Jena capek, Bang. Jena nggak mau lanjut lagi..!!" Kata Jena setengah merengek.
Jauh disana Bang Dewo dan Prada Ruanda melihat adanya perdebatan Letnan Shano dengan istrinya.
Bang Dewo mendekati keduanya. Rasanya pusing setiap kali mendengar adiknya mengadu namun ada hal yang jelas tidak bisa ia campuri begitu saja. Bagaimanapun juga Batalyon bukanlah ajang penunjukan taring sebagai keluarga.
"Ada apa lagi, Bang?" Tegur Bang Dewo.
"Biasaa." Jawab Bang Shano.
"Jena nggak mau lanjut lagi, Bang. Jena sudah capek." Kata Jena terus mengeluh.
Bang Dewo menghela nafas panjang, wajah adiknya memang terlihat pucat dan lelah.
"Sedikit lagi, dek..!! Namamu harus punya kepastian hukum dan di akui oleh negara." Ujar Bang Dewo membesarkan hati adiknya.
Merasa tidak ada yang membela, Jena begitu sedih. Tubuhnya memang sudah sedemikian lelahnya.
"Ayo kita ke rumah sakit dulu, setelah itu istirahatlah. Biar Abang yang minta tanda tangan komandan." Imbuh Bang Shano.
Benar saja.. empat langkah berjalan. Tubuh Jena terasa ringan hingga tidak sadar jatuh menimpa Bang Shano.
"Allahu Akbar..!!! Deeekk..!!!!!" Tanpa basa basi Bang Shano membawa Jena ke dalam mobilnya.
...
"Hamil, Pak."
Jena sudah akan menangis kencang tapi Bang Shano segera memeluknya untuk menenangkan Jena.
"Baang.. Ini gimana???" Tanya Jena sambil terisak menatap wajah Bang Shano.
"Gimana apanya?? Hamil ya sudah, rejeki. Anak Letnan Harshano. Mau bagaimana?" Ujar Bang Shano bingung sendiri dengan reaksi Jena padahal ia sudah menikahinya.
"Tapi bagaimana kalau Bang Dewo tau?????"
"Itu urusan Abang. Tugasmu hanya jaga anak kita baik-baik..!!" Jawab Bang Shano.
Jena mulai berpikir keras, sikap Bang Shano sama sekali berbanding terbalik dengan ucapan Bang Dewo.
"Baaaang, jangan meremehkan Bang Dewo..!!" Jena sampai gemetar merasakannya.
Dalam satu bulan ini sudah banyak hal yang terjadi antara dirinya dan Bang Shano.
"Bisa tidak, kamu percaya sama Abang?"
POV Flashback Bang Shano on..
Jena diam seribu bahasa bahkan dia marah padaku meskipun kini dirinya sudah resmi menjadi istriku.
"Sampai kapan kamu mau terus begini? Saya memang salah tapi saya menikahi kamu tidak main-main." Ucapku tegas di hadapan Jena agar istriku bisa mengerti bahwa pernikahan adalah sesuatu yang tidak bisa di permainkan.
"Tapi Ayah menikahkan kita karena terpaksa, semua karena Abang menyentuh Jena."
"Benar. Saya tidak punya pembelaan karena sudah kelewat batas. Tapi apapun yang saya lakukan hari ini bukan karena paksaan ataupun terpaksa. Ini tanggung jawab moral saya sebagai manusia juga sebagai makhluk Allah." Aku tegaskan jawaban tersebut di hadapan Jena. Kuhapus air mata Jena yang mulai membasahi pipinya yang merona kemerahan.
Ku dekati Jena, ku peluk lalu ku kecup lembut bibirnya. Ku dekap erat dan ku belai sayang dirinya.
"Saya ini suamimu, sekarang saya yang akan berdiri di belakangmu, memeluk dan menjagamu. Jika bukan dengan saya, kamu ungkapkan rasa.. Lalu pada siapa??"
Jena mendongak menatapku. Memang seperti itu sifat alami wanita bagai seekor kucing yang manja. Mendengar kata luluh hatinya menjadi lunak tapi Jena bukan seekor kucing, dia hanya gadis kecilku yang polos, yang sedang terombang-ambing situasi yang membingungkan.
Perlahan kurebahkan dirinya, secara sadar aku mendekatinya sebagai suaminya. Aku tidak peduli akan perjanjianku dengan Dewo. Kuberikan sentuhan pertamaku sebagai seorang suami. Ku bujuk secara halus, kuharap suatu saat nanti Jena sendiri yang akan 'mencariku'.
Ku kecup dalam bibirnya, ku jelajahi seluruhnya. Tanganku mulai nakal membelainya. Aku mulai menahan nafasku yang memburu, biar nafasnya saja yang mulai membutuhkan hadirku.
Awalnya Jena menolak ku sentuh tapi siapa sangka dirinya menahan tanganku untuk beranjak. Paham aku menatapnya pipinya pun mulai memerah, mungkin merasa malu.
"Nggak apa-apa, asal jangan coba minta dengan lainnya. Mau coba?" Bujuk Bang Shano.
Jena menggeleng, aku hanya bisa tersenyum tipis, agaknya istriku masih takut. Tapi pelajaran pertama ini pasti akan selalu di ingatnya.
\=\=\=
Kulihat istriku sedang memasak di dapur kecil kamar mess ku. Aku memang belum memberikan tempat tinggal yang layak karena salahku juga. Aku sempat mengabaikan ucapan papaku untuk segera menyiapkan tempat tinggal, namun saat itu hatiku masih menolak keras perjodohan. Kini kesalahan fatal dari perbuatanku sudah terjadi dan aku harus sesegera mungkin melaksanakan kewajiban ku sebagai seorang suami.
Di dapur kecil kamar mess ku, ku hirup aroma makanan yang menggoda selera sampai perutku keroncongan.
"Masak apa, dek?"
"Ya telur, Abang kan tau Jena hanya bisa masak telur." Jawab Jena.
Aku tersenyum geli. Ada telur mata sapi, telur balado, telur bumbu bali dan sambal goreng telur puyuh.
"Okeee.. Mantap, sayang. Abang lapar nih."
Jena membalas senyumku dan langsung menyiapkan makan siangku sebelum kami sama-sama melanjutkan proses pengajuan nikah di hari ini.
Kulahap semua masakan istriku. Ada yang hambar, ada yang terlalu asin, ada yang pedasnya di luar nalar bahkan ada saja yang rasanya nggak ke arah kiri atau ke arah kanan.
"Enak nggak, Bang?" Tanya Jena.
"Enak." Ku acungi dua jempol atas usahanya meskipun rasa masakannya bisa buat usus lecet.
"Yeeeaayy.. Besok coba masak aneka ayam." Ujarnya girang.
"Astagaaa.. Jadi suami ternyata juga nggak gampang. Bolak-balik hampir mati tapi harus tetap tabah, ini mah pembunuhan berencana yang tidak bisa di tuntut di pengadilan." Gumamku sambil menghabiskan makan siangku yang luar biasa.
"Abang bilang apa sih, Jena nggak dengar." Omel Jena.
"Kamu cantik."
Jena tersenyum malu-malu, manis sekali. Terkadang inilah hal yang membuatku tidak sanggup untuk menahan diri, tapi demi merebut hatinya.. Aku rela menunggu, sampai kau mau.
.
.
.
.