Tiga Putra kembar Sekretaris Ken. Brtugs mnjaga dgn baik Putri Ellena milk Nathan.
Misi terberat mrk, harus ada yg bisa memenangkan hti Sang Putri.
Hidup brsm sjk lahir, slng mnjaga dan meyygi. Mmpukh mrk bersaing dlm mndptkn Hati Sang Putri?
Sementara Fic,
Kepala Pelayan, yang bertugas menjaga sekeliling Tuan Putri agr sll berjalan sebagai mana mestinya.
Menjaga dan menemani Tuan Putri seperti anaknya sendiri. Hingga menciptakan kenyamanan tersendiri bagi Putri Ellena.
Tanpa disadari, getar asmara mulai menggores hati Putri Ellena ketika ia beranjak dewasa.
Apakah Fic juga merasakan hal yang sama?
Jika tidak, mungkinkah Fic akan sanggup menolak perasaan Tuan Putri yang semakin besar padanya?
Lalu jika Fic jg menaruh hati pada Tuan Putri, maka Fic akan berpikir seribu kali.
Siapa dia?
Berani sekali?
Fic memilih untuk melangkah Pergi.
"Fic, aku ikut!" Ellena memanggil.
Fic tdk bisa untk tdk mnoleh,
Tp apa yg ia lihat? Tiga Pejantan tangguh, sudh berdiri dgn tatapan mematikan!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Any Anthika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Selembar kertas dari Fic.
Fic menarik selimut. Padahal sudah dua lapis, belum lagi jaket kulit yang menempel di tubuhnya, tapi tetap saja rasa dingin begitu terasa menusuk tulang belulang Fic.
Ini bukan pegunungan, masih termaksud daratan tingginya saja. Pegunungannya masih sangat jauh di sana. Tapi hawa dingin dimalam hari pasti akan sangat menyiksa bagi segelintir orang orang yang baru memasuki daerah ini.
Gigi Fic terdengar gemertak. Padahal baru saja meneguk kopi yang masih mengepul. Kopi hitam buatan sendiri punya. Bukan dari beli beli sashetan di toko toko. Tapi tidak mengurangi sedikitpun rasa dingin di tubuh Fic.
Fic menggigil di ranjang sempit tanpa kasur itu. Mendekap kuat tubuhnya sendiri.
"Kenapa bisa sedingin ini? Apa aku demam?" meraba dahinya sendiri.
"Tidak panas." kembali mencoba memejamkan matanya.
Suara jangkrik diluar geribik begitu nyaring membuat Fic kembali membuka matanya. Sesaat terdengar suara lain. Burung hantu tidak jauh dari rumah itu.
Baru saja hendak terlelap, suara kambing tetangga sebelah rumah terdengar bersahutan memecah kesunyian yang baru saja tercipta.
Fic mendengus kesal. Mengibas selimutnya dan memilih untuk duduk di tepi ranjang.
"Aku pernah susah. Tapi tidur, tidak pernah seribet ini." keluh Fic, matanya beredar. Tidak ada meja atau pun lemari. Bahkan baju Fic yang ia beli dari Plaza Bandar Jaya tadi masih berada di dalam Ransel yang juga baru ia beli bersamaan dengan isinya tadi. Masih tergeletak begitu saja di sudut ruangan hanya dengan beralaskan satu potongan papan saja.
Fic kembali menggigil, lupa jika ia melepaskan selimutnya. Saat berniat untuk mencoba tidur kembali, pintu ada yang mengetuk.
Ibu masuk membawa sebuah cangkir.
"Mas Gilang. Maaf menganggu. Ini wedang jahe. Minumlah agar tubuhmu menghangat." ibu mengulurkan cangkir.
"Terimakasih." Fic cepat menyambut.
"Apa disini memang sedingin ini Bu?"
"Kalau belum terbiasa memang iya. Tapi kalau sudah terbiasa disini, tidak akan terlalu terasa." jawab ibu.
Fic mengangguk saja, cepat meneguk wedang jahe itu. Kemudian ibu permisi. Fic menghabiskan wedang itu. Terasa panas di tenggorokan, tapi benar saja, tak lama kemudian Fic merasa tubuhnya menghangat. Akhirnya Fic bisa tertidur lelap.
Pagi mulai menjelang, sinar matahari masuk melalui celah Geribik kamar yang ditiduri oleh Fic.
Fic tersentak dari mimpi buruknya tentang Ellena.
"Ellena! Ellena....!" Fic mengedarkan pandangannya.
Kemudian mengusap wajahnya saat sadar sedang berada dimana.
"Mas Fic!" Ilham sudah muncul di ambang pintu.
"Aku mendengar kau berteriak. Ada apa?"
"Tidak apa apa. Aku, aku hanya bermimpi." jawab Fic.
"Kau bermimpi buruk tentang Tuan Putri?"
Fic hanya mengangguk, kini beranjak dari dipan sempit itu. Mengenakan sendal jepit yang baru di ulurkan Ilham.
" Sabar mas ya. Kau harus bersabar dulu." Ilham menepuk bahu Fic, ingin memberi kekuatan untuk Fic.
"Ayo, aku antar kamu untuk cuci muka." ucap Ilham. Fic lagi lagi mengangguk,mengambil handuk dari dalam ransel dan mengikuti langkah Ilham yang membawanya keluar dari Rumah itu menuju sumur sederhana yang terletak di belakang rumah itu.
"Ini kamar mandinya. Hehe.. Sumur maksudnya."
Fic tersenyum saja, sudah mengerti maksud Ilham yang ingin mengatakan jika ini tak layak disebut kamar mandi.
"Apa aku bisa mandi disini?"
"Tentu saja. Tapi aku tak yakin kamu akan kuat jika harus mandi di pagi hari." jawab Ilham , kemudian melangkah meninggalkan Fic.
Fic melangkah masuk, baru satu menit dia sudah keluar lagi dengan tubuh menggigil.
Ilham tertawa melihat itu di ujung sana.
"Haha.. Gak jadi mandi?"
"Sial. Baru saja aku menyentuh airnya, aku sudah menggigil." sahut Fic
"Ayo , ayo." Ilham menuntun Fic ke pengapian di samping rumah yang Ilham sengaja buat untuk Fic pagi lagi tadi. Dia sudah tau kalau Fic akan mengalami ini.
"Disini tidak seperti di kota. Pagi hari air rasanya seperti es. Jika kau mau mandi bisa agak siangan saja. Atau menggunakan air hangat saja." ucap Ilham.
"Kenapa airnya bisa sedingin Es ya?" tanya Fic duduk menongkrong mengikuti gaya Ilham di depan perapian sambil memanggang kedua tangannya.
"Belum terbiasa saja. Jika sudah terbiasa disini juga tidak akan sedingin itu."
Fic kembali mengedarkan pandangannya. Rumah Ilham bukan sederhana lagi, tapi di mana Fic ini sangat buruk. Rumah ini di kelilingi pohon karet yang sudah mulai meninggi. Hanya depan saja yang tidak, karena ada Rumah tetangga yang lebih bagus karena terbuat dari papan.
"Aku harus pergi ke rumah sakit menengok anakku mas. Mas Fic bisa diam dirumah dulu. Saat anak ku nanti sudah bisa keluar dari rumah sakit, mas Fic bisa meminta bantuan ku. Apa pun itu,aku siap mendukung langkah mas Fic. Walaupun mas Fic menyuruhku untuk menculik Tuan Putri, akan aku lakukan."
Fic tersenyum menanggapi janji Ilham. "Tak harus seperti itu."
"Hm, lalu mau bagaimana? Membiarkan kalian tersiksa untuk selamanya?" Ilham melirik.
Fic mendengus. "Sebagai Pejantan Tangguh, harus bisa menghadapinya Masalahnya dengan baik. Bukan dengan cara licik. Menculik Tuan Putri, itu artinya aku sama saja dengan orang yang memaksaku bertanda tangan. Licik!"
Ilham terkekeh kecil. "Kau berjiwa kesatria kawan! Sungguh, kesabaranmu berlipat ganda."
Fic hanya tersenyum.
Mungkin, Karena kesabarannya ini lah Ellena bisa jatuh cinta padanya.
Kembali ke Rumah sakit.
Singkat cerita,
Dua Minggu sudah terlewati. Bukan perkara mudah untuk semua orang. Nathan dan Mira harus terus berbohong dan berbohong lagi pada Ellena tentang Fic. Mereka tidak tau harus sampai kapan berbohong begini.
Menunggu jantung Ellena pulih seperti sedia kala. Mungkin saja. Tapi bagaimana kalau Ellena kembali syok?
Ellena sendiri mulai curiga, mulai menebak nebak kemana Fic?
Sepertinya, jantung baru Ellena berasal dari seseorang yang baik dan penuh kesabaran serta kuat. Terbukti, Ellena tidak seegois dulu. Yang biasanya hanya bisa menangis , menjerit lalu merajuk.
Ellena sekarang lebih penyabar, terlihat lebih pendiam. Apa karena dia sedang menahan rindu pada Fic? Atau sedang menelan rasa penasarannya?
Dua Minggu Lho. Ini dua Minggu, bukan dua hari. Fic tidak muncul atau sekedar memberi kabar. Ini cukup untuk membuat Ellena bertanya tanya dalam hati.
Pagi ini, Dokter menyatakan jika Ellena sudah diperbolehkan pulang. Bahkan Jantung baru Ellena saat ini dinyatakan sangat kuat. Hanya perlu beristirahat kurang lebih sekitar satu bulan saja, Ellena sudah akan bisa beraktifitas seperti biasa.
Tentu semua orang sangat gembira. Begitu juga Ellena. Bahkan ia sendiri yang mengemasi barang barangnya. Terlihat bersemangat sekali.
"Ayah. Apa kau sudah memberi tahu Fic jika aku pulang pagi ini?"
Nathan menoleh pada Mira dan Khale. Lalu menggeleng.
"Apa Fic akan pulang hari ini juga?" kembali Ellena bertanya.
Kali ini tidak ada gelengan dari Nathan. Ellena menatap mereka secara bergantian.
"Ayah! Apa Fic sudah bisa di hubungi?"
"Ibu! Sebenarnya Fic kemana?"
Tidak ada jawaban dari mereka, karena mereka bingung harus menjawab apa.
"Sebenarnya ini ada apa? Seperti ada sesuatu yang kalian sembunyikan dariku!" Ellena kini berteriak.
"Ellen, jangan berteriak sayang? Nanti jantungmu,_"
"Kenapa dengan Jantungku Bu? Jantungku sudah Kuat! Aku hanya ingin tau, kemana Fic! Atau jangan jangan, kalian sudah mengusirnya tanpa sepengetahuan aku?"
"Ellen, kami tidak mungkin melakukan itu." sahut Nathan lembut.
"Aku ingin tau sendiri!" tanpa berbicara lagi, Ellena melangkah keluar. Mereka cepat menyusul.
"Ellena , hati hati. Jangan buru buru. Kau baru keluar dari rumah sakit." Khale cepat menahan lengan Ellena dan menuntunnya ke mobil.
Sepanjangan perjalanan, tidak ada satupun yang mengeluarkan suara. Baik Nathan, Mira maupun Khale menelan rasa gelisah dan khawatir yang cukup besar.
Dan itu, semakin membuat Ellena penasaran.
Saat mobil berhenti, Ellena cepat menuruni mobil tanpa menunggu mereka lagi.
"Selamat datang Tuan Putri!"
"Selamat datang Nona Ellena!"
Hampir semua pelayan menyambut Ellena di halaman. Ellena berhenti sejenak, memperhatikan mereka satu persatu dengan tatapan dingin, kemudian kembali melangkah memasuki rumah. Ellena mempercepat langkahnya. Pikirannya hanya satu, kamar Fic!
"Ellen! Kenapa kesini sayang? Ke kamar mu dulu. Kau harus istirahat." Mira sudah ada di belakang Ellena untuk mencegah.
BRAK.....!
Ellena membuka pintu kamar Fic tanpa bisa di cegah. Kemudian masuk begitu saja.
"Fic! Fic! ..!" memanggil nama Fic berulang kali.
Membuka kamar mandi. "Fic... Kau dimana?"
Mira sudah bercucuran air mata, mendekap Nathan yang juga ikut meneteskan air mata. Kedua orang tua Ellena seperti tidak sanggup, akan ikut merasakan kesedihan Ellena nanti.
Ellena kini membuka lemari pakaian Fic.
Ellena memeriksa dengan seksama.
Ellena hafal betul. Tidak ada satu pun Pakaian Fic yang berkurang.
Seluruh ruangan itu tidak ada yang lepas dari pemeriksaan Ellena.
Jaket, koper, tas, sepatu bahkan jam tangan Fic masih utuh.
Ellena menoleh pada mereka.
Mira masih terisak di dada Nathan. Khale menunduk di sudut ruangan.
Ellena kini menghampiri Nathan.
"Ayah! Kemana Fic? Jangan bohong padaku! Fic tidak pergi keluar negeri bukan? Semua barang Fic tertinggal. Mana mungkin Fic pergi ke luar Negeri???" Ellena mengguncang lengan Ayahnya.
"Ellena. Maafkan kami."
"Kalian mengusir Fic?" Ellena kini sudah menangis.
"Kenapa? Apa salah Fic Ayah!"
"Ellen, kami tidak mengusir Fic." kini Mira mendekat.
"Lalu dimana Fic?"
"Ellena, dengarkan Ayah Nak?" Nathan merengkuh Ellena.
"Apa ayah? Apa!" mendorong tubuh Nathan.
"Fic, Fic melakukan ini demi kamu Ellena. Jangan kecewakan Fic. Tenanglah."
Tiba tiba Ellena berlari keluar dari kamar itu untuk ke kamarnya sendiri. Mereka pun kembali menyusul Ellena.
Ellena Mencari hpnya dan cepat meraihnya Ketika melihat.
Ellena segera menghubungi nomor Fic. Berkali kali. Mengirim pesan suara , chat dan kembali menekan nomornya.
"Ellena. Tolong tenang kan dirimu Nak. Kami mohon Ellena. Kamu baru saja keluar dari rumah sakit." ucap Nathan menghampiri Ellena.
Ellena sama sekali tidak menggubris, terus mencoba menghubungi nomor Fic.
"Fic! Kenapa nomormu sama sekali tidak bisa di hubungi? Ku mohon Fic! Aktifkan nomormu. Aku hanya ingin mendengar suaramu saja." Ellena masih terisak.
Ellena tidak berhenti, kini memeriksa akun media sosial milik Fic. Tak ada satu pun yang aktif. Tiga Minggu yang lalu adalah terakhir kalinya Fic aktif dari semua akun sosial media miliknya.
"Argh.....!" Ellena tiba tiba berteriak.
"Apa yang kalian lakukan pada Fic? Apa?" Ellena membanting hpnya.
Kini tubuhnya merongsot kelantai. Memeluk sisi ranjang.
"Apa yang kalian lakukan pada Fic!" Ellena menangis sejadi jadinya. Memukul mukul ranjang.
"Ellen!" Mira menubruk Ellena dan ikut menangis sesenggukan.
"Kalian apakan Fic , Ibu."
"Fic kemana?"
"Apa salah Fic pada kalian?"
"Apa karena Fic membalas cintaku, lalu kalian menghukumnya???"
"Kami tidak melakukan itu Ellena!" Mira mendekap erat Putrinya.
"Lalu dimana Fic? Kenapa kalian tidak mengatakan yang sebenarnya?"
"Kami sudah berusaha mencegah, tapi Fic tidak bisa dihalangi lagi. Ellena, Fic sangat mencintaimu. Dia, dia mengorbankan hidupnya untukmu."
Seketika otak Ellena terasa beku mendengarkan ucapan Ibunya.
"Maksud ibu apa?" Ellena mengguncang bahu Mira.
"Ibu. Apa maksudnya?" Ellena kembali mengguncang bahu Mira.
"Ayah. Apa maksud Ibu?" kini menatap Ayahnya yang sudah duduk di sampingnya.
Khale menguatkan Hatinya untuk mendekat.
"Fic, hanya sempat menitipkan ini padamu."
Ellena mendongakkan wajahnya. Menatap tangan Khale yang mengulurkan kertas.
Ellena menyambar itu. Menoleh pada Ibunya yang masih terisak.
Menoleh pada Ayahnya yang menyeka air mata.
Tangan Ellena nampak gemetaran, membuka selembar kertas dari Fic itu.
____________
dinovel yg ini kok il feel ya sama nathan mira ellena juga fic😪
dari awal harusnya nathan cerita bukan masalah perjodohan tapi cerita jasa ken bagaimana,terlalu egois cm hanya ingin ellena bahagia tp mengkhianati sahabatnya sendiri🥺
Congrats ya utk fic & ellen..
dr awal aq emg curiga k kakek fiandi,trnyta kecurigaan q bnr