Febi adalah gadis cerdas dan menawan, dengan tinggi semampai, kulit seputih susu dan aura yang memikat siapa pun yang melihatnya. Lahir dari keluarga sederhana, ayahnya hanya pegawai kecil di sebuah perusahaan dan ibunya ibu rumah tangga penuh kasih. Febi tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan mandiri. Ia sangat dekat dengan adik perempuannya, Vania, siswi kelas 3 SMA yang dikenal blak-blakan namun sangat protektif terhadap keluarganya.
Setelah diterima bekerja sebagai staf pemasaran di perusahaan besar di Jakarta, hidup Febi tampak mulai berada di jalur yang cerah. Apalagi ia telah bertunangan dengan Roni, manajer muda dari perusahaan lain, yang telah bersamanya selama dua tahun. Roni jatuh hati pada kombinasi kecantikan dan kecerdasan yang dimiliki Febi. Sayangnya, cinta mereka tak mendapat restu dari Bu Wina, ibu Roni yang merasa keluarga Febi tidak sepadan secara status dan materi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noona Rara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
JAWABAN CINTA
Hari Minggu siang yang harusnya tenang malah berubah jadi hari lembur bagi Toni. Ia baru saja tidur siang sebentar ketika telepon Arkan masuk dengan nada mendesak. “Ke rumah Febi. Sekarang.” Titah itu membuat Toni menghela napas seperti habis lari keliling GBK tiga putaran. Tapi karena ini titah ‘atasan’, terpaksa ia patuh.
Sampai di rumah Febi, Toni mengetuk pintu berkali-kali. Tapi belum sempat menyerah, tiba-tiba... plek! tangannya malah mendarat di kepala seseorang.
“AUU!! KEPALA ORANG LO KETOK, BUTA APA?!” bentak Vania dengan gaya khasnya.
Toni buru-buru minta maaf, sambil menyalahkan waktu dan gravitasi. Tapi Vania tetap menyipitkan mata curiga. “Ngapain Lo om-om mesum ke rumah gue siang-siang? Mau ngajak Febi nonton film horor atau apa? Lo lagi ngedeketin kakak gue yah?” Toni menahan tangis batin. Julukan “om-om mesum” itu kayak sudah jadi nama tengahnya sekarang.
Untungnya, Bu Anita datang menyelamatkan situasi. Vania pun, meskipun enggan setengah mati, akhirnya menyuruh Toni masuk. Suasana rumah langsung terasa lebih semarak, terutama saat Febi muncul dari kamar dengan wajah heran seperti melihat kurir paket COD yang salah alamat.
“Ada apa? Kok Pak Toni di sini?” tanya Febi dengan bingung.
Toni langsung pasang gaya dramatis. “Mau tanya, HP kamu tuh ilang, rusak, dicuri atau kamu balikin ke toko? Dari tadi nggak bisa dihubungi!”
Febi minta maaf pelan. “Maaf, aku tadi masih tidur… Memang ada apa pak?”
Setelah dipersilakan duduk, Toni menjelaskan maksud kedatangannya: "Kamu harus ke Bandung hari ini. Dengan Pak Arkan."
Febi mengerutkan kening. “Bukannya dinas ke Bandung hari Selasa?”
Toni langsung mengarang skenario. “Jadwalnya maju. Direkturnya ngubungin pagi tadi. Dan... aku nggak bisa ikut, harus standby di kantor.”
Febi akhirnya mengangguk pasrah dan masuk lagi ke kamar untuk bersiap. Sementara itu, Toni di ruang tamu sudah nyengir-nyengir sendiri. Bukan karena naksir Febi, tapi karena tahu ini semua cuma akal-akalan Arkan biar bisa quality time dengan sang sekretaris idaman.
Tak lama, Febi keluar dengan satu koper kecil. Tapi sebelum berangkat, Bu Anita menyuruh mereka makan siang dulu. Toni, yang awalnya jaim, langsung duduk tanpa ragu. Aroma masakan Bu Anita memang susah ditolak. Bahkan Vania yang masih manyun, tak tahan untuk menyindir.
“Wah, makan kayak orang nggak makan 3 hari, Om.”
Toni senyum lebar. “Lah, makan di sini lebih enak daripada di restoran bintang lima. Bu Anita, buka cabang yuk.”
Vania memutar mata. “Awas ya Bu, jangan terjebak rayuan gombal pria setengah matang.”
Febi cuma tertawa dan iseng menggoda. “Rik, jangan terlalu benci sama Pak Toni. Nanti malah jatuh cinta lho.”
Vania refleks langsung berdiri. “Jatuh cinta sama om-om mesum? Amit-amit!” Toni hampir keselek sambel. Pak Beni sampai turun tangan dan menegur: “Vania, sopan dikit sama tamu!”
Setelah suasana tenang, Febi dan Toni akhirnya pamit pergi. Vania hanya melambaikan tangan setengah hati sambil komat-kamit, “Semoga selamat sampai tujuan, om-om mesum.” Toni menoleh cepat, “Aku dengar itu!”
**
Toni mengantar Febi sampai ke rumah Arkan. Setelah berpamitan seadanya yang lebih mirip kabur daripada pamit, ia langsung tancap gas. Misi selesai, Toni cabut. Toh, urusan hati bukan bagiannya, dia hanya kurir cinta yang diperintah pak bos.
Di teras rumah, Febi berdiri kaku. Wajahnya flat seperti roti bakar yang kelamaan ditinggal. Tapi demi profesionalitas dan kontrak kerja yang masih berjalan ia mencoba menyampingkan rasa enggannya. Ia masuk ke dalam rumah itu.
Arkan menyambut dengan senyum manis, semanis teh tarik dua gula.
“Selamat datang,” ucapnya lembut.
Febi melirik jam tangan, “Yuk, kita langsung bisa berangkat pak.”
Jleb.
Arkan langsung tahu, ada yang nggak beres. Apalagi ketika ia bertanya "Ada apa?" dan yang ia dapat cuma bahu yang diangkat tanpa suara. Seolah Febi sedang ikut lomba pantomim nasional.
“Maaf ya soal kemarin, saya harus….”
Belum selesai Arkan bicara, Febi malah sibuk main ponsel. Scroll, tap, swipe... seakan notifikasi di ponsel lebih penting dari permintaan maaf manusia hidup di depannya.
Arkan mulai merasa diabaikan. Ia mencoba mendekat dan duduk di samping Febi. Tapi baru sebentar, Febi langsung geser duduk seperti sofa itu habis ditaburi cabai.
“Saya serius minta maaf. Beneran, saya nyesel,” ucap Arkan tulus.
“Udah saya maafin pak.” jawab Febi, datar. “Tapi mending bapak fokus sama cewek yang semalam bapak gandeng di mall. Daripada godain saya lagi.”
Deg.
Arkan langsung mengernyit. “Tunggu… kamu di mall semalam?”
“Iya. Saya liat bapak. Sama gadis muda. Bergelayut. Manja banget. Serasi pula.”
Arkan... tersenyum. Bukan karena senang. Tapi karena geli melihat Febi yang diam-diam ternyata memperhatikan.
“Jadi... kamu cemburu?”
Febi memalingkan muka. “Siapa yang cemburu? Emangnya bapak siapa? Saya cuman... kecewa. Karena bapak batalin janji. Padahal saya udah siap kasih jawaban terbaik buat bapak.”
Mata Arkan langsung membulat. “Jawaban? Yang waktu itu? Kamu... udah siap jawab?”
Febi reflek mengelak. “Lupakan. Nggak penting. Fokus aja sama cewek bapak itu.”
Tanpa peringatan, Arkan menjulurkan tangan dan mencubit pelan hidung Febi. “Sini. Dengerin dulu ya. Cewek yang kamu lihat itu... keponakanku. Namanya Arumi. Baru pulang dari Jerman. Dia memang manja banget, apalagi sejak ayahnya meninggal lima tahun lalu. Aku sayang banget sama dia. Itu sebabnya kami jalan karena Oma Ninggrum juga ikut andil dalam hal ini.”
Febi memutar mata. “Cerita bapak bagus. Naskah sinetron jam 6 sore kalah.”
Karena tahu Febi belum sepenuhnya percaya, Arkan mengambil ponsel dan... video call.
“Arumi, halo. Nih, jelasin ke cewek sebelahku ini siapa kamu sebenarnya.”
Layar ponsel menampakkan wajah cantik Arumi. “Om Arkan! Kita jalan lagi ya?”
“Bukan. Jelasin ke Febi siapa kamu.”
Arumi sempat bengong, lalu langsung ngeh. “OHHH! Kak Febi! Yang kemarin diceritain om Arkan yah. Aku cuma keponakannya om Arkan kok. Beneran! Maaf ya kalau jadi salah paham.”
Febi... canggung. Mukanya merah kayak abis makan cabai rawit tanpa nasi.
“Maaf, aku... salah sangka.”
Arkan menyeringai puas. “Akhirnya. Ratu diam dunia berbicara.”
Dengan gemas, Arkan mengusap kepala Febi seperti mengelus kucing pemarah.
“Jadi... kamu udah siap kasih jawabannya sekarang?”
Febi menunduk, lirih. “Saya... nerima bapak. Saya juga pengen punya akses untuk marah kalau bapak bikin cemburu.”
Arkan nyengir nakal. “Ulangin. Tapi liat mataku.”
Febi pun mendongak. Menatap mata Arkan dalam-dalam. “Saya nerima bapak. Mau jadi pacar bapak.”
Deg.
Arkan langsung memeluk Febi erat. Pelukan yang hangat, penuh rasa lega, seolah semua salah paham, semua diam-diaman, semua geser-geseran sofa... hilang tak bersisa.
“Terima kasih ya, Febi. Aku janji. Aku bakal jaga kamu. Bahagiain kamu. Lindungin kamu. Dan… gak bakal bikin kamu sakit hati.”
Mereka saling menatap... dan... perlahan, wajah mereka mendekat...
Dan akhirnya mereka bertukar siliva
(Diulang: bertukar siliva.)
Dengan durasi... cukup panjang untuk bikin oksigen di sekitar mereka ikut iri.