Dara terkejut ketika mendapati dirinya bangun dalam keadaan tidak perawan. Seseorang telah menculiknya di malam pengantin dan membuat rumah tangganya yang masih berusia seumur jagung itu berada di ambang kehancuran.
Namun kebenaran pasti terungkap dan tidak ada yang lebih indah daripada itu. Sungguhpun Dara amat terkejut ketika mengetahui siapa pelakunya. Celakanya, di saat cinta perlahan sudah mulai hadir. Dan dia merasa terjebak dalam situasi ini.
“Apa maksudmu seperti ini?” sembur Dara pada sosok menawan di hadapannya.
“Tidak ada cara lebih baik yang bisa kulakukan untuk mendapatkanmu.”
“Kau benar-benar SAMPAH!?”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon meliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Punya Muka Berapa, Mas?
“Habis dari mana Sayang?” tanya Yudha ketika istrinya kembali di dekatnya dan Alif. Ya, hanya ada mereka bertiga karena anak-anak mereka sedang bermain bersama Abah, Umi dan juga babby sitternya.
“Habis ngomong sama Dara, dia mau pulang katanya,” jawab Vita sambil menarik kursi di samping Yudha. Mengalihkan pandangan ke adik iparnya, dia kembali berujar, “Bistromu bagus, loh, Lif. Secara keseluruhan, aku suka. Aku juga mau dong, Mas. Dibuatkan Bistro begini.”
Yudha menggaruk kepalanya sembari berdecak pelan. “Hmm, begini Sayang, aku rasa itu tidak perlu.”
“Kenapa?” Vita langsung menyela. Raut wajahnya langsung berubah masam karena keinginannya langsung ditolak mentah. “Kalau berhasil ‘kan income-nya akan balik ke kita juga.”
“Iya, tapi kamu sudah punya di sana. Satu tempat saja tidak bisa kamu handle—apalagi lebih. Jangan buat dirimu semakin sibuk lagi, ya.”
“Tapi aku ingin yang seperti ini, Mas. Punya kita itu sudah jauh ketinggalan. Pantas saja semakin hari semakin sepi. Aku saja bosan apalagi orang lain.”
“Sayang ...” Yudha hampir kehabisan kata-kata untuk merayu istrinya. Bukan apa-apa—selain harus menggelontorkan dana sekian banyak dan belum tentu berhasil, dia juga bukan orang yang mempunyai banyak waktu untuk mengurusi hal tersebut. Karena sudah pasti akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Terlebih, anak mereka masih sangat kecil-kecil dan masih membutuhkan perhatian ekstra. Di tambah lagi yang ada di dalam perut alias calon anak ke empat.
“Ayo lah, Mas. Please.” Vita kembali memohon.
“Mam pus Lo,” Alif puas sekali melihat penderitaan Abangnya yang doyan sekali mencetak cindil.
“Diam kamu, tidak usah ikut campur!” Yudha mendelik kesal kepada Alif yang sedang sirik.
“Mas, aku ini ngidam, loh,” Vita mengancam suaminya dengan senjata ampuh itu. “Nanti kalau tidak kamu turuti, anakmu yang ke empat ini bisa ileran.”
“Sayang, itu hanya mitos. Bagaimana kalau kita remake saja restoran yang lama?”
“No, aku maunya yang baru, di lain tempat. Mau ganti suasana.”
Lantaran tak tahan, Alif akhirnya berkomentar. “Makanya punya istri jangan dihamili melulu. Cari penyakit, sih.”
“Tidak sengaja,” Yudha menjawab serampangan. Sejenak dia menyesal karena telah membawa istrinya kemari kalau tahu akan berakhir seperti ini.
“What?!” ujar Alif tak habis pikir. Dia bilang tidak sengaja? Tidak sengaja dari Hongkong?
“Sudah, diam kamu, Lif! Jangan ikut-ikutan, berisik.”
“Please, Mas. Please ...” Vita terus saja merengek jika permintaannya belum Yudha iyakan.
“Ya, ya, nanti kalau aku menang tender.”
“Kalau kalah?” tanya Vita.
“Ya, tidak usah bikin.” Yudha cepat-cepat menutup mulutnya yang kelepasan berbicara. Seharusnya dia cukup pandai menghadapi situasi ini. Namun mungkin kepalanya sedang mendadak oleng.
“Mas Yudhooot ...!”
“Em, sebentar, itu Mauza nangis,” Yudha beralasan.
“MANA? Ha? Mana? Dasar tukang bohong. Pasti kamu mau menghindariku, ya?”
“Argrgrgrgrgrh.” Yudha mengacak-acak rambutnya sangat geram menghadapi ngidam istrinya yang sangat gila itu. “Lama-lama aku robohkan bangunan ini, Lif.”
Alif menanggapi, “Apa pula, aku yang di salahkan. Bodoh.”
“Ayo, Sayang kita jalan-jalan saja, yuk. Mau ke mana? Mau ke pantai, atau mau ke kebun binatang?”
“Aku minta dibangunkan Bistro bukan jalan-jalan ketemu monkey. Kalau kamu mau ke sana, silakan ke sana sendiri.” Vita tetap kekeh meminta apa yang menjadi keinginannya saat ini.
“Iya-iya, nanti kalau gajah bertelur.”
“Kamu malah bercanda, aku ini serius.”
“Aku juga serius,” jawab Yudha, kemudian melanjutkan dengan suara lebih lirih, “serius sayang sama dompetku.”
“Oh, jadi lebih sayang sama dompet daripada aku?”
Alif mendengarkan saja perdebatan sepasang suami istri itu, sebelum akhirnya keduanya pergi dengan masih dalam suasana ribut-ribut kecil. Namun beberapa menit setelahnya dia membatin, “Kapan aku kawin? Aku iri melihatnya, damn it!”
Lantas kemudian Alif membatin berapa lama masa iddah Dara akan berlangsung. “Tiga siklus haid, berarti tiga bulan? Oh, tidak!?” sekarang saja masih belum proses cerai, terlalu lama!?
***
Suasana depan ruangan ICU mendadak lebih ramai daripada sebelumnya. Sebab mereka kedatangan Abah dan Umi Ros untuk menjenguk Hilman yang saat ini masih terbaring tanpa bisa melakukan apa-apa. Mereka tidak datang dengan Vita dan Yudha karena anak-anak tidak bisa mereka tinggal.
“Saya tidak menyangka Umi Ros datang ke sini, setelah ...,” Ibu Ratna berbicara agak berbisik.
“Lupakan semua yang terjadi, Bu.” Perempuan berwajah teduh justru memeluknya erat sehingga Ibu Ratna langsung menangis haru. Beliau juga sampai sesenggukan di pelukannya seperti sedang menyampaikan kepayahannya saat ini.
“Apa bisa dijenguk ke dalam, Bu?” tanya Umi Ros tanpa ingin bertanya lebih lanjut.
“Boleh, tapi harus bergantian.”
“Baik, kalau begitu Abah dulu, Bah.”
Abah mengangguk, kemudian masuk ke dalam setelah mencuci tangannya dan memakai baju khusus. Tidak ada yang beliau bicarakan di sana, sebab meskipun mata Pak Hilman terbuka, beliau tidak bisa mengatakan apa pun kecuali gumaman-gumaman yang kurang jelas terdengar di telinganya.
“Cepat sembuh, Pak Hilman. Saya doakan kondisi Pak Hilman segera pulih seperti sediakala,” pesan Abah Haikal terhadap Pak Hilman. “Banyak bersabar dan berdoa. Jangan tinggalkan ibadah, lakukan semampunya yang Bapak bisa.”
Namun hal aneh terjadi, tubuh Pak Hilman bergerak. Ekspresi wajahnya seolah meronta seperti tak ingin beliau tinggal pergi, entah apa yang hendak beliau katakan.
Abah Haikal bingung hingga sempat diam dan menunggu selama beberapa saat di sana untuk memahami bahasa tubuhnya, namun tetap saja beliau tidak mengerti. Lantas karena waktunya juga dibatasi, beliau memutuskan untuk memohon diri, agar bisa bergantian dengan yang lain.
Sebelumnya beliau memang sudah berniat melamarkan Dara untuk putranya. Tetapi rasanya sangat tidak etis sehingga beliau mengurungkan niat. Sebab selain Pak Hilman masih dalam keadaan sakit, Dara juga masih berstatus istri orang—walau pun sudah ada hilal bahwa sebentar lagi mereka akan berpisah.
***
“Alif mana, Umi?” tanya Dara karena tak mendapati pria itu bersama orang tuanya. “Tadi katanya mau ke sini sama Abah, sama Umi juga,” imbuhnya.
“Oh, iya, ke mana anak itu, ya?” Umi celingukan mencari putranya. “Anak Umi yang satu itu seperti ular. Suka hilang mendadak.”
“Itu anaknya,” Abah melihatnya lebih dulu, Alif sedang berjalan mendekat.
Tatkala Alif sudah tiba di hadapan mereka, tiba-tiba raut wajah Ibu Ratna berubah. Niscaya hanya Alif dan Umi Ros yang menyadari keganjilan ini, sementara yang lainnya tidak. Karena hanya merekalah yang tahu kejadian sebenarnya.
“Ikhlaskan semuanya, Nak. Temui ayahnya juga. Jangan pelihara dendam, tidak baik,” ujar Umi berbisik kepada Alif. Dan oleh karena sebab itulah Alif berbesar hati untuk mengulurkan tangannya dan memeluk Ibu Ratna. Di saat itulah tangis Ibu Ratna pecah.
“Tolong maafkan kesalahan ayahnya Dara, ya, Nak. Ibu takut umur beliau tidak panjang lagi. Tolong maafkan beliau ....”
Alif mengangguk. Dia berusaha mengikhlaskan walau itu tak mudah baginya. Hingga beberapa menit berlalu, Alif pun masuk ke ruangan di mana Hilman berada.
“Aku sudah berusaha untuk memaafkanmu, Om. Semoga cepat sembuh,” hanya itu yang dikatakan Alif (tanpa tanggapan apa pun), sebelum akhirnya dia keluar ruangan dan pergi meninggalkan rumah sakit.
Kini tinggallah mereka bertiga yang beberapa menit setelahnya, kedatangan lagi tamu seorang lelaki.
Tentu saja Dara terkejut dan geli melihat pria itu yang begitu percaya diri, tersenyum ke arahnya seolah tak pernah terjadi apa-apa.
“Gimana keadaan ayahmu, Ra?” Chandra bertanya.
Razka yang melihat hal demikian langsung pasang badan, menjadi tameng untuk kakaknya. “Punya muka berapa, Mas?”
***
To Be Continued.