Ia berjuang sendirian demi menebus kesalahan di masa lalu, hingga takdir mengantarkannya bertemu dengan lelaki yang mengangkatnya dari dunia malam.
Hingga ia disadarkan oleh realita bahwa laki laki yang ia cintai adalah suami dari sahabatnya sendiri.
Saat ia tahu kebenaran ia dilematis antara melepaskan atau justru bertahan atas nama cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Seroja 86, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 22
Sekuriti berdiri di tengah koridor, menatap Alma dan tetangga usil itu bergantian.
“Ada apa ini, Bapak Ibu?,”suara sekuriti pelan, mencoba menenangkan.
Tapi Alma sudah kehilangan kesabarannya. Emosi yang ia tahan selama ini meluap begitu saja.
“Ini tetangga gathel! selalu ganggu! Saya tidak tahu apa masalahnya."teriak Alma sambil kembali menunjuk laki-laki itu.
Beberapa penghuni yang menonton mulai bisik-bisik. Tetangga usil itu hendak membalas, tapi sekuriti langsung mengangkat tangan, memberi isyarat diam. Situasinya makin panas.
Alma merasa harga dirinya terlucuti,tenggorokannya tercekat. Ia mengeluarkan ponsel jemarinya bergetar saat menekan kontak Harsha.
“Maaaas…”suara Alma pecah, bergetar ia menahan tangis sekuat tenaga.
Harsha yang mendengar langsung tersentak.
“Ada apa sayang? Kenapa kamu menangis? Hmm? kamu dimana sekarang?.”Tanya Harsya tanpa jeda.
Dalam napas tersengal, Alma menceritakan semuanya tentang gangguan yang ia dapatkan, sampai puncaknya kejadian malam itu. Suaranya sesekali putus karena amarah dan malu.
Harsha terdiam beberapa detik… lalu suaranya keluar pelan namun sangat tegas.
“Kasih ponselnya ke sekuriti.”
Tanpa berkata apa-apa, Alma menyerahkan ponsel itu pada sekuriti.
Sekuriti mendengarkan dan perubahan ekspresi itu terlihat jelas, Ia berdiri tegap, kemudian membungkuk sedikit pada Alma, sangat sopan.
“Maaf, Bu… Ibu tenang dulu, ya."
"Atas nama manajemen, kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya.”
Nada bicaranya sangat formal.
Tetangga usil menelan ludah. Sekuriti menoleh kepadanya dengan sorot tajam .
“Bapak ikut saya ke kantor manajemen. Sekarang.”
Bisik-bisik langsung hilang satu per satu penghuni kembali masuk ke unit mereka. Kerumunan bubar.
Alma berdiri mematung di depan pintunya. Nafasnya masih berat, matanya berkaca-kaca, tapi ada sedikit rasa lega ia tidak sendirian.
Harsha masih di telepon.
“Sayang?”Suaranya pelan bernada khawatir.
“Iya Mas,”sahut Alma dengan suara parau
“Kamu tidak perlu khawatir,. Mas minta maaf kamu menghadapi ini sendiri”
Kalimat itu bagai oase buat Alma ia merasa terlindungi meski Harsya tidak berada di sampingnya.
“Istirahat ya, tidak ada yang akan bernai ganggu kamu lagi."
Telepon terputus. Alma membuka pintu unitnya dengan tangan yang masih gemetar… tapi untuk pertama kalinya , ia bisa bernapas sedikit lebih lega.
Alma membuka mata perlahan sinar matahari sudah menembus tirai tipis, menghangatkan separuh wajahnya. Kepala terasa berat — bukan hanya karena kurang tidur, tapi karena emosi semalam masih menempel seperti noda.
Ia baru sadar masih memakai dress kerja, make-upnya luntur, dan rambutnya kusut. Ada bercak maskara di bantal. Ia menghela napas panjang… napas yang terdengar seperti keluhan tanpa suara.
Ia menutup wajah dengan kedua tangan, kejadian semalam terasa memalukan untuk diingat. Ingin marah… tapi ia sudah terlalu lelah.
Ia terbaring beberapa menit, menatap langit-langit sambil mengulang kejadian semalam.
Nama Harsha muncul di pikirannya dan hati Alma langsung menghangat. Ia menggigit bibir, menahan rasa rindu yang tiba-tiba datang.
ia merindukan sosok itu lebih dari apapun,itu membuat matanya memanas lagi, Sosok Harsya membuatnya merasa terlindungi dan memberikan rasa aman.
“Sayangnya dia suami orang.”Gumamnya penuh rasa getir.
Alma menyentuh dada tepat dimana rasa sesaknya terkumpul. Batin dan logikanya selalu bertarung, dan tidak ada yang pernah menang.
Ia bicara pada dirinya sendiri, seperti kebiasaan ketika ia sedang rapuh. Ia bangkit, merapikan tempat tidur sekadarnya, lalu berjalan ke kamar mandi. Di cermin kamar mandi, ia menatap refleksinya lama.
Satu sisi tampak ringkih tapi sisi lain… kuat.
Sambil membuka keran air, ia bergumam
“ Mulai hari ini, tidak ada yang boleh meremehkan kamu lagi.”
Lalu ia membuka shower dan membiarkan air membasuh tubuhnya sekaligus semua yang terjadi semalam.
Dan begitu ia selesai mandi…notifikasi ponselnya berbunyi.
Ponsel Alma yang terletak di samping bantal tiba-tiba bergetar.
Layarnya menyala, memperlihatkan nama yang selama beberapa hari ini hanya bisa ia rindukan.
"Gimana kabarmu sayang? Mas kepikiran terus sama kamu,Tapi kamu jangan takut, Mas sudah urus semua.Tegakkan dagumu… tidak ada yang boleh merendahkan kamu.Semangat ya sayang. Love you.”
Alma menatap pesan itu lama, membacanya dengan perlahan.
Ada rasa hangat sekaligus perih yang muncul bersamaan
Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang tiba-tiba mengambang.
“Kenapa Mas selalu seperti ini… bikin aku kuat sekaligus rapuh di waktu yang sama,” gumamnya lirih.
Jari Alma bergerak untuk membalas, tapi berhenti di tengah kalimat.
Ia menarik napas panjang mencoba memilih kata agar tidak terdengar terlalu rindu, tapi juga tidak dingin seperti beberapa hari terakhir.
,“Terima kasih ya Mas… kalau nggak ada Mas entah bagaimana jadinya.”
Pesan terkirim.
Beberapa detik kemudian centang biru muncul, dan balasannya datang begitu cepat seolah Harsha memang menunggu:
“Mas selalu ada buat kamu. Jangan pernah takut lagi kamu itu berharga, Al.”
Alma menutup mata, napasnya terasa sedikit lebih lapang. Entah kenapa, kalimat itu seperti obat setelah hari yang melelahkan. Ia tersenyum kecil tanpa sadar, lalu bangkit dari kasur, merapikan rambut, dan mulai menata diri. Hari ini ia tidak ingin tampil rapuh. Ia punya mimpi yang sedang tumbuh.
Pukul sebelas siang Alma sudah berada di butik. Meski matanya masih terlihat sedikit sembab, ia menyapa karyawan satu per satu, memastikan semuanya berjalan lancar.
Pembeli mulai berdatangan lagi, dan untuk sesaat ia lupa soal insiden semalam ataupun rasa malu yang sempat membakar hatinya.
Namun jauh di dalam dadanya… pesan Harsha masih menggema.
“Mas selalu ada buat kamu.”
Ucapan itu menenangkan, tapi sekaligus menakutkan karena ia tahu, jika ia bersandar terlalu kuat… hatinya sendiri yang akan terluka nanti.
Alma menghela napas panjang dan memilih fokus bekerja, memeriksa display baju dan melayani pelanggan. Setiap senyuman dan pujian dari pembeli menjadi pengingat ia bisa berdiri sendiri, ia mampu, ia punya masa depan.
Tapi entah kenapa… setiap kali ponselnya bergetar, ada bagian kecil di hatinya yang berharap nama itu muncul di layar.
Dan mungkin… sebentar lagi akan muncul.
Alma berdiri lama di depan cermin.
Bukan untuk memastikan eyeliner rapi, tapi untuk memastikan hatinya tegak.
“Tidak ada yang boleh merendahkan aku,” gumamnya mengulang kalimat dari Harsha seperti mantra pelindung.
Ia memilih outfit artsy elegan khas dirinya. Bold, tapi tetap berkelas. Rambut di gerai demgan sentuhan curly di ujung, lipstick merona tapi nggak over. Alma yang ready to conquer.
Butik mulai ramai di kalangan tertentu bukan viral murahan, tapi terkenal di lingkaran yang tahu kualitas. Middle to upper class, segmented, eksklusif Persis seperti mimpinya.
Di perjalanan menuju butik, Alma tidak sengaja melihat spanduk besar yang terpajang di depan hotel bintang lima
Penggalangan Dana untuk Pendidikan Anak Tidak Mampu
Sabtu, 20 Mei 2025
Diselenggarakan oleh Yayasan Cahaya Indonesia.
Ada wajah anak-anak tersenyum di poster itu.Entah mengapa hatinya langsung tersentuh.