NovelToon NovelToon
Mirror World Architect

Mirror World Architect

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi / Anak Genius / Horror Thriller-Horror / Epik Petualangan / Dunia Lain / Fantasi Wanita
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: PumpKinMan

Satu-satunya hal yang lebih buruk dari dunia yang rusak adalah mengetahui ada dunia lain yang tersembunyi di baliknya... dan dunia itu juga sama rusaknya.

Rania (21) adalah lulusan arsitektur terbaik di angkatannya. Sekarang, dia menghabiskan hari-harinya sebagai kurir paket. Baginya, sarkasme adalah mekanisme pertahanan, dan kemalasan adalah bentuk protes diam-diam terhadap industri yang menghancurkan idealisme. Dia hanya ingin hidup tenang, mengabaikan dunia, dan membayar sewa tepat waktu.

Tapi dunia tidak mau mengabaikannya.

Semuanya dimulai dari hal-hal kecil. Bayangan yang bergerak sepersekian detik lebih lambat dari seharusnya. Sensasi dingin yang menusuk di gedung-gedung tua. Distorsi aneh di udara yang hanya bisa dilihatnya, seolah-olah dia sedang melihat kota dari bawah permukaan air.

Rania segera menyadari bahwa dia tidak sedang berhalusinasi. Dia adalah satu-satunya yang bisa melihat "Dunia Cermin"-sebuah cetak biru kuno dan dingin yang bersembunyi tepat di balik realita

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 34: MENYIAPKAN MARKAS

"Parkirkan mobilnya di belakang rumah yang hancur itu. Sedalam mungkin di antara pepohonan. Matikan mesin. Kita akan masuk berjalan kaki."

Perintah Rania memecah keheningan yang tegang.

Santi Ibrahim mengangguk, rahangnya terkatup. Dia bermanuver di jalan yang retak, ban mobilnya berderak pelan di atas kerikil dan ranting kering. Dia mengarahkan sedan abu-abu itu ke balik reruntuhan rumah yang telah dipilih Rania, memarkirnya di antara pohon beringin raksasa yang akarnya telah menghancurkan garasi, dan rumpun bambu yang mati.

Di sini, mobil itu nyaris tidak terlihat dari jalan utama, dan yang terpenting, tidak terlihat dari "Rumah Sempurna" yang mengawasi mereka dari seberang danau kering.

Reza adalah yang pertama keluar dari kursi belakang. Dia hampir jatuh, kakinya kram karena tegang. Dia bersandar di mobil, terengah-engah, matanya tidak pernah lepas dari anomali di atas bukit. "Ra... tempat ini... aku nggak suka," bisiknya.

"Bagus," kata RANIA. Dia keluar dari kursi penumpang, memegang pipa rebar berkarat di satu tangan dan *hard drive*-nya yang terbungkus di tangan lain. "Rasa tidak suka membuatmu tetap waspada."

Santi keluar terakhir, mengunci pintu mobil dengan *klik* pelan yang terdengar seperti ledakan di keheningan kota hantu itu. "Oke. Kita di sini," katanya, mencoba terdengar profesional, tapi suaranya bergetar. "Sekarang apa, Komandan?"

Rania mengabaikan sarkasme itu. Amulet di lehernya terasa dingin dan menenangkan, membisukan Gema nostalgia yang dirasakan Reza, membiarkannya berpikir jernih.

Dia memindai markas baru mereka.

Rumah itu adalah sebuah bencana arsitektural. Apa yang dulunya adalah rumah dua lantai yang mewah, kini tinggal kerangka. Pohon beringin itu telah merobek separuh dinding belakang, menciptakan lubang menganga yang memperlihatkan ruang tamu yang hancur. Atapnya sebagian runtuh. Dindingnya tertutup grafiti yang sudah pudar dan lumut hitam.

"Ini," kata RANIA, "adalah tempat yang sempurna."

"Sempurna?" cibir Santi. "Tempat ini terlihat seperti akan runtuh jika kita bersin terlalu keras."

"Tepat," kata RANIA. "Tempat ini *terlihat* seperti reruntuhan. Tidak ada yang akan memeriksanya dua kali. Tempat ini memiliki *kamuflase* alami." Dia menunjuk ke lubang di dinding. "Strukturnya hancur, tapi fondasinya masih kokoh. Dan lihat."

Dia menunjuk ke lantai dua yang atapnya runtuh. "Itu bukan kelemahan. Itu adalah titik pengamatan kedua. Kita bisa melihat ke sekeliling dari atas sana. Dan," dia menunjuk ke lubang besar yang dibuat oleh akar pohon, "itu adalah pintu keluar darurat kedua. Kita tidak akan pernah terpojok."

Reza dan Santi saling memandang. Logika dingin Rania menakutkan, tapi... masuk akal.

"Oke," kata RANIA. "Prioritas. Satu: Air. Dua: Keamanan. Tiga: Data."

Dia menatap Reza. "Za. Kamu dan aku. Kita cari air. Setiap rumah di sini pasti punya tangki air di atap. Beberapa mungkin masih berisi air hujan yang bisa disaring."

Dia menatap Santi. "Santi. Kamu amankan perimeter *ini*. Trailer di Elysian Spire memberi kita ide. Cari apa saja yang bisa kita gunakan. Kayu lapis untuk menutup jendela. Kaca pecah untuk diletakkan di bawah titik masuk. Kawat. Apa saja. Buat tempat ini terlihat lebih *tidak* ramah."

Santi mengangguk, lega karena mendapat tugas. "Dan... bagaimana dengan *itu*?" Dia menunjuk dengan dagunya ke seberang danau. Ke "Rumah Sempurna".

Mata Rania menyipit. "Kita tidak mendekati rumah itu. Kita tidak melihat ke arah rumah itu jika tidak perlu. Kita mengabaikannya. Sampai kita tahu apa yang kita hadapi."

Tim kecil yang hancur itu berpisah.

Reza dan Rania bergerak seperti bayangan di antara rumah-rumah yang membusuk. Mereka menemukan apa yang mereka cari tiga rumah jauhnya. Sebuah tangki *toren* plastik biru yang terguling di halaman belakang, masih berisi sekitar seperempat air hujan yang keruh dan berbau alga.

"Ini menjijikkan," kata Reza, mengendusnya.

"Ini bisa direbus," kata RANIA. "Ambil botol-botol kosong di mobil. Bawa sebanyak yang kamu bisa."

Sementara Reza kembali, Rania tidak diam. Dia mengamati.

Dia berdiri di jalan yang retak, dikelilingi oleh keheningan total. Tidak ada burung. Tidak ada serangga. Hanya angin yang berdesir pelan melewati jendela-jendela yang pecah.

Dia menatap "Rumah Sempurna" di atas bukit.

Dia bisa merasakannya, bahkan melalui amulet. Sebuah "kebisingan" Gema yang sangat samar. Seperti dengungan kulkas di kamar sebelah. Sesuatu di sana *hidup*.

Amulet di dadanya bergetar pelan. *Dingin.*

Dia meraihnya. Dia harus tahu.

Dia melepas amulet itu dari lehernya.

*...rumah...*

Dunia tidak meledak. Tidak ada lolongan.

Hanya... sebuah *perasaan*.

Perasaan yang sangat kuat, begitu kuat hingga membuatnya terhuyung. Itu bukan emosi. Itu adalah *data* emosional.

*...aman... hangat... Ibu sedang memasak... Ayah akan segera pulang... sepedaku baru...*

Nostalgia.

Nostalgia yang murni, pekat, dan *salah*. Sebuah Gema yang menjebak.

Rania tersentak, terengah-engah, seolah baru saja terjun ke air es. Dia buru-buru mengenakan kembali amuletnya. *KLIK.*

Keheningan dingin kembali. Dia bersandar di dinding yang berlumut, gemetar.

"Itu... itu jebakan," bisiknya. Itu adalah Gema *Siren*. Memanggil siapa pun yang "sensitif" untuk datang dan... *tinggal*. Selamanya.

*...Loop Waktu Nostalgia...* dia menyadari.

Reza kembali, terengah-engah dengan tiga botol air besar. Dia tidak melihat kepanikan sesaat Rania. Wajah Rania sudah kembali menjadi topeng yang tenang saat dia berbalik.

"Bagus," kata RANIA. "Bawa ke markas."

Mereka kembali ke rumah yang hancur. Santi telah bekerja dengan baik. Dia telah menemukan beberapa lembar seng berkarat dan menutup sebagian besar jendela di lantai dasar, menciptakan ruang interior yang gelap dan lebih bisa dipertahankan. Dia telah menumpuk kerikil di depan pintu masuk utama, membuat siapa pun yang masuk tidak mungkin melakukannya tanpa suara.

"Aku menemukan ini," kata Santi, suaranya terdengar bangga. Dia memegang pemanggang barbeku kecil yang berkarat. "Kita bisa merebus air di sini. Dengan arang dari salah satu rumah yang terbakar."

Rania mengangguk. "Bagus. Efisien."

Pujian itu membuat Santi merasa sedikit lebih baik.

Matahari mulai terbenam. Cahaya oranye dari "Koreksi" yang jauh kini telah memudar, digantikan oleh kegelapan malam yang sesungguhnya.

Mereka bertiga duduk di dalam kegelapan ruang tamu yang hancur. Mereka tidak menyalakan api. Terlalu berisiko. Mereka hanya makan sisa biskuit kedaluwarsa terakhir dan minum air mentah seteguk kecil.

"Oke," kata Reza, suaranya pelan. "Kita di sini. Kita aman. Tapi... kita juga terjebak. Apa rencana jangka panjangnya, Ra?"

Rania menatap kegelapan. Dia bisa melihat siluet Santi dan Reza. Dua "aset" manusiawinya.

"Rencana jangka panjangnya," kata RANIA, "dimulai sekarang."

Dia berjalan ke mobil Santi, yang terparkir di garasi yang hancur. Dia kembali dengan susah payah, membawa aki mobil yang berat.

"Apa yang..." tanya Santi.

Rania tidak menjawab. Dia mengeluarkan laptop Santi dari tasnya. Dia mengeluarkan inverter darurat yang dia temukan di bagasi mobil Santi. Dia menghubungkan inverter ke aki.

Dia menekan tombol *power*.

Dengan *BIP* pelan dan suara *whirring* kipas yang nyaring, laptop itu menyala. Layarnya memandikan ruangan yang hancur itu dengan cahaya biru hantu.

Reza dan Santi bergeser mendekat, tertarik pada cahaya itu seperti serangga. Itu adalah satu-satunya simbol peradaban yang tersisa.

Rania mengeluarkan *hard drive*-nya yang terbungkus terpal.

Dia menatapnya sejenak. Manual instruksi. Senjatanya.

"Bab 18," bisik Reza, mengenali apa yang terjadi di Elysian Spire. "Ra... apa kamu yakin? Kamu... kamu aman?"

"Aku memakai amulet," kata RANIA. "Aku tidak akan *merasakan*-nya. Aku hanya akan *membaca*-nya."

Dia mencolokkan *hard drive* itu.

Layar laptop berkedip saat mengenali perangkat baru. Sebuah ikon muncul di *desktop*.

*DRIVE EKSTERNAL (E:)*

Rania menggerakkan *trackpad*. Dia mengklik dua kali.

Folder-folder itu muncul. *'CATATAN_KULIAH'*. *'TUGAS_DESAIN_3D'*.

Dan: *'SKRIPSI_MASTER_FINAL_OK_BANGET'*.

"Waktunya bekerja," biss Rania. "Waktunya mencari tahu apa yang sebenarnya Bima bangun."

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!