Masuk ke situs gelap. Cassia Amore nekat menjajakan dirinya demi bisa membiayai pengobatan ibunya. Kenekatan itu membawa Amore bertemu dengan Joel Kenneth pengusaha ternama yang namanya cukup disegani tak hanya bagi sesama pengusaha, namun juga di dunia gelap!
“Apa kau tuli, Amore?” tanya Joel ketika sudah berhadapan langsung tepat dihadapan Cassia. Tangannya lalu meraih dagu Cassia, mengangkat wajah Cassia agar bersitatap langsung dengan matanya yang kini menyorot tajam.
“Bisu!” Joel mengalihkan pandangan sejenak. Lalu sesaat kembali menatap wajah Cassia. Maniknya semakin menyorot tajam, bahkan kini tanpa segan menghentakkan salah satu tungkainya tepat di atas telapak kaki Cassia.
“Akkhhh …. aduh!” Cassia berteriak.
“Kau fikir aku membelimu hanya untuk diam, hmm? Jika aku bertanya kau wajib jawab. Apalagi sekarang seluruh ragamu adalah milikku, yang itu berarti kau harus menuruti semua perkataanku!” tekan Joel sangat arogan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fakrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER—34
“Sepertinya aku datang di waktu yang tepat,” ujar Irene datar, tapi nadanya menggigit. “Boleh tahu, apa yang kalian bicarakan sampai terlihat seserius itu?”
Ia berjalan mendekat dengan dua gelas sampanye di tangannya. Senyum tipis muncul di bibirnya, samar tapi jelas mengandung tantangan.
“Kalau tak mau bilang juga tak apa,” ucapnya lagi, menyerahkan satu gelas pada Cassia. “Aku cuma ingin meminta maaf, karena tadi sempat bersikap tidak sopan di depanmu.”
Namun cara bicaranya tidak terdengar seperti permintaan maaf. Ada nada congkak di sana—dingin, halus, dan disengaja.
Cassia mengerutkan dahi. Ia tak mengerti perubahan sikap Irene yang tiba-tiba seperti itu.
Ada sesuatu yang janggal—cara bicaranya terlalu tenang, senyumnya terlalu manis, dan tatapan matanya tak selaras dengan kata-kata yang baru saja keluar dari bibirnya.
Cassia menatap Irene sejenak, ragu apakah ucapan itu benar-benar permintaan maaf, atau sekadar sindiran yang dibungkus sopan santun.
Wanita ini... sebenarnya apa yang ia inginkan dariku? batin Cassia, menahan napas.
Irene menggoyangkan gelas sampanye di tangannya, seolah menunggu Cassia mengambilnya. Cairan di dalamnya bergetar lembut, memantulkan cahaya ke wajah Cassia yang mulai menegang.
“Ambillah,” ucap Irene pelan, tapi nadanya terdengar seperti perintah.
Cassia sempat ragu, namun tatapan Irene membuatnya tak punya pilihan. Akhirnya, ia menerima gelas itu—dengan tangan yang sedikit bergetar.
Irene mengangkat gelasnya, menatap Cassia dengan senyum samar.
“Ayo, bersulang,” katanya ringan.
Cassia sempat ragu, tapi akhirnya menuruti. Ia mengangkat gelasnya, sedikit canggung karena tubuhnya lebih jangkung dari Irene. Suara denting halus terdengar ketika gelas mereka saling bersentuhan.
Joel, yang memperhatikan dari sisi lain meja, merasakan ketidaknyamanan merayap di dadanya. Ia hendak menghentikan Cassia, tapi Irene keburu menyela.
“Tenang saja, Joel,” ujarnya cepat, dengan nada lembut tapi menantang. “Aku hanya ingin bersulang dengannya. Tidak lebih.”
Ia lalu menatap Cassia, lalu kembali pada Joel dengan senyum tipis. “Lagipula, minuman ini kadar alkoholnya sangat rendah. Aku yakin tubuh Cassia tak akan kenapa-kenapa.”
“Bukankah begitu, Sekretaris Cassia?”
Nada suara Irene terdengar manis, tapi setiap katanya membawa sengaja. Ia ingin melihat bagaimana gadis itu bereaksi.
Dari pengamatannya, Irene tahu Cassia tak akan menolak. Di depan Joel—terlebih di hadapan tunangannya—menolak berarti menimbulkan kesan yang tak perlu. Cassia pasti akan memilih diam, menahan diri, dan menjaga batas agar Joel tak kembali bersinggungan dengan Irene hanya karena dirinya.
Cassia menatap gelas di tangannya sejenak. Lalu tanpa sepatah kata pun, ia meneguk habis isinya. Setelah itu, ia menunduk sopan, berkata singkat pada mereka berdua, dan bergegas meninggalkan tempat itu—sebelum suasana semakin menyesakkan.
Joel menatap punggung Cassia yang menjauh tanpa menoleh. Ada sesuatu di matanya yang tak sempat disembunyikan—rasa cemas, sekaligus amarah yang menekan.
Begitu Cassia menghilang di antara kerumunan, ia meletakkan gelasnya di meja dengan suara pelan namun tegas. “Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan, Irene?”
Irene tersenyum tipis. “Kau terlalu tegang, Joel. Aku hanya ingin akrab dengannya. Bukankah seharusnya kau senang kalau aku berusaha ramah pada sekretarismu?”
“Ramah?” Joel menatapnya tajam. “Aku bisa membedakan mana ramah, mana provokasi.”
Senyum di wajah Irene tak pudar, tapi matanya menajam. “Jadi sekarang kau membelanya di hadapanku?”
Nada suaranya lembut, tapi sarat luka dan gengsi.
Joel menghela napas pendek. “Aku tidak membela siapa pun. Aku hanya tidak suka permainan kecilmu di tempat kerja.”
Keheningan tipis jatuh di antara mereka, hanya tersisa musik lembut dari pesta. Irene memalingkan wajah, meneguk sisa sampanyenya, sementara Joel menatap kosong ke arah Cassia pergi—dengan perasaan yang ia sendiri tak bisa sepenuhnya pahami.