Dinda tidak menyangka kalau pernikahannya bakal kandas ditengah jalan. Sekian lama Adinda sudah putus kontak sejak dirinya mengalami insiden yang mengakibatkan harus menjalani perawatan yang cukup lama. Hingga pada akhirnya, saat suaminya pulang, rupanya diceraikan oleh suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 12 Berdebat
Sore itu, langit tampak muram. Awan kelabu menggantung berat di atas kediaman keluarga Kusuma.
Mobil yang ditumpangi Oma Hela baru saja memasuki halaman rumah. Begitu berhenti, Vikto yang baru pulang kerja langsung menghampiri.
“Dinda, Oma, dari mana saja kalian? Katanya cuma kontrol, kok sampai sore?” tanya Vikto sambil menatap Adinda dengan cemas.
Oma Hela menghela napas panjang, menatap cucunya dengan wajah yang sudah lelah.
"Oma mengajak Adinda ke rumah sakit untuk memeriksa kondisinya. Dokter mengatakan, bahwa Dinda bisa sembuh. Terus, Oma ajak jalan-jalan tadi."
"Kirain Adinda kenapa-kenapa. Syukurlah kalau Dokter mengatakan kabar baik untuk Adinda. Vikto ikut senang mendengarnya."
"Ya sudah, biarkan Adinda masuk rumah, dan istirahat, takutnya kecapean."
Vikto pun mengiyakan, dan menyuruh Mbak Tia untuk mengantarkan Dinda ke kamar. Kini, tinggal Vikto bersama Oma Hela.
"Oma, Dinda baik-baik saja, kan? kok matanya kelihatan sedikit sembab, dia gak sedang ada masalah, kan?"
“Kalau kamu dengar ceritanya, kamu pasti bakal marah besar. Tapi tenang dulu, Oma ceritakan pelan-pelan. Kamu tahan aja emosimu.”
Vikto mengangguk patuh kepada Oma Hela.
“Kenapa, Oma? Ada yang terjadi sesuatu kah sama Adinda?”
“Di restoran tadi,” kata Oma lirih, “kami bertemu dengan mantan ibu mertua dan adik ipar Adinda.”
Wajah Vikto langsung berubah. “Apa?”
Suaranya meninggi, penuh tekanan. “Lalu, apa yang mereka lakukan?”
Oma Hela menatap cucunya tajam. “Mereka menghina Dinda di depan umum, menuduhnya berselingkuh sama kamu, bahkan mempermalukannya di depan banyak orang. Kalau bukan karena Oma menahan diri, mungkin sudah Oma tarik itu rambutnya!”
Vikto mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras, matanya berkilat penuh amarah.
“Kurang ajar mereka…” desisnya lirih tapi bergetar.
“Tahan amarah mu,Vikto."
Vikto tidak ambil diam, ia langsung masuk ke rumah dan menuju kamar tamu.
"Vikto! Kamu mau ngapain? Jangan ganggu Dinda!" Teriak Oma ikut menyusul masuk kedalam.
Sampai di kamarnya Dinda, Vikto langsung berlutut di depan kursi rodanya, menatap mata Adinda dalam-dalam.
“Dinda, dengarkan Kakak. Tidak ada satu orang pun yang berhak menghina kamu seperti itu. Mereka boleh punya mulut, tapi tidak berhak menginjak harga dirimu. Selama Kakak masih hidup, Kakak tidak akan diam.”
"Kak Vikto kenapa?" tanya Adinda yang tidak mengerti.
"Jawab dengan jujur, kamu habis bertemu sama ibunya mantan suami kamu, bukan?"
“Iya, tapi tadi ada Oma. Dinda mohon, Kak Vikto jangan berseteru sama mereka karena Dinda. Cukup, Kak. Dinda udah capek, Dinda cuma ingin tenang.”
“Tapi kamu juga harus tahu,” ucap Vikto dengan suara yang mulai bergetar, “setiap kali kamu disakiti, rasanya seperti ada yang menghantam dada Kakak. Kamu pikir Kakak sanggup diam melihat kamu diperlakukan begitu? Tidak, Dinda.”
Oma Hela menatap mereka berdua dengan mata berkaca-kaca.
“Sudahlah, Vikto… jangan meluapkan emosi dulu. Oma sudah bicara dengan mereka. Sekarang biarkan waktu yang membalas. Yang penting, Adinda tidak apa-apa.”
Namun Vikto tak menjawab. Ia masih menatap Adinda, wajahnya diliputi campuran amarah dan rasa iba. Perlahan, ia mengusap air mata yang menetes di pipi Adinda.
“Mulai sekarang,” katanya lirih tapi tegas, “Kakak janji, tidak akan ada lagi yang berani menyentuh atau menghina kamu. Siapa pun itu, bahkan kalau mereka orang tua Kakak sekalipun.”
Adinda hanya bisa menangis tanpa suara. Hatinya bergetar, bukan karena ketakutan, tapi karena hangatnya ketulusan yang sudah lama tak ia rasakan.
Sementara itu, di ambang pintu, Nyonya Wirna yang mendengar sebagian percakapan itu menatap dengan tatapan tajam.
Ia tidak suka, bukan hanya pada Adinda, tapi pada perubahan sikap anaknya sendiri.
Dan di sanalah, awal dari pertentangan yang lebih besar mulai terbentuk.
'Dasar! anak susah dibilangin.' Batin Nyonya Wirna, dan segera pergi, takut kepergok ibu mertuanya.
Dinda yang tidak tahu harus bicara apa, hanya bisa diam.
"Sudahlah, Vikto, biarkan Adinda istirahat. Kamu jangan ganggu dulu, biarkan Adinda menenangkan pikirannya." Timpal Oma Hela.
"Iya, Oma."
"Dinda, istirahat, jangan terlalu banyak pikiran. Kamu tidak perlu takut, ada Oma yang akan selalu siaga menjadi garda kamu."
"Terima kasih, Oma."
"Ya sudah kalau gitu, Oma mau ke kamar, mau mandi, biar segeran dikit badan Oma. Kamu juga, mandi dan istirahat. Makan malamnya kalau badan kamu enakan, nanti kita makan malam bersama."
"Baik, Oma."
Oma Hela segera keluar. Kemudian, Vikto ikutan pamit untuk keluar. Adinda cuma mengangguk pelan, mulutnya terasa bungkam untuk berbicara dengan Vikto.
Saat keluar dari kamar, rupanya Nyonya Wirna sudah menunggu putranya di ruang tamu.
Malam itu suasana rumah keluarga Kusuma begitu tegang. Lampu ruang utama menyala terang, namun hawa di dalamnya terasa dingin.
Vikto baru saja keluar dari kamar Adinda setelah memastikan ia beristirahat. Namun langkahnya terhenti saat melihat ibunya, Nyonya Wirna, sudah menunggunya di ruang tamu.
“Kita perlu bicara, Vikto,” ucap Nyonya Wirna dingin, tanpa menatap putranya.
Vikto menghela napas pelan, lalu berdiri di hadapan ibunya.
“Kalau ini tentang Dinda, Vikto gak akan menghindar dari Mama.”
Nyonya Wirna menatap tajam. “Justru itu. Mama ingin tahu sampai sejauh mana kamu akan dibutakan oleh perempuan itu.”
“Jaga ucapan Mama.” Suara Vikto mulai rendah, tapi mengandung peringatan.
“Kenapa? Bukankah itu kenyataannya?” balas Nyonya Wirna dengan nada tajam. “Dia sudah menghancurkan rumah tangganya sendiri, dan sekarang menempel pada keluarga kita. Kamu pikir Mama akan diam melihat anak Mama mempermalukan nama besar keluarga Kusuma karena seorang janda tak tahu diri itu?”
Vikto mengepalkan tangan di atas lututnya, menahan amarah yang hampir meledak.
“Dia bukan seperti yang Mama pikir. Dinda tidak bersalah. Justru dia korban dari laki-laki yang mengkhianatinya. Apa Mama tahu, betapa hancurnya dia waktu pertama kali Vikto temukan?”
“Jangan dibela!” bentak Nyonya Wirna, matanya berkilat. “Kamu terlalu mudah kasihan! Perempuan seperti dia pandai bersandiwara. Hari ini pura-pura lemah, besok pura-pura suci. Lihat saja, dia sudah membuat kamu melawan orang tuamu sendiri!”
“Kalau melawan karena kebenaran, Vikto tidak menyesal,” balas Vikto tegas.
“Vikto!” suara Nyonya Wirna meninggi, “Kamu lupa siapa yang membesarkanmu? Kamu pikir dengan kekayaan, kamu bisa seenaknya membawa siapa pun ke rumah ini? Kamu sudah ada perjodohan, Vikto! Anak dari keluarga Hambalang menunggu pernikahanmu. Dan kamu malah sibuk mengurus perempuan yang bukan siapa-siapa!”
“Cukup, Ma!” seru Vikto, kali ini suaranya menggetarkan ruangan.
“Dinda memang bukan siapa-siapa di mata Mama, tapi di mata Vikto, dia seseorang yang sangat Vikto jaga. Dia manusia yang pantas dihargai. Vikto tidak peduli dengan perjodohan itu, karena Vikto tidak akan menikah dengan orang yang tidak dicintai.”
Nyonya Wirna tertegun, tidak menyangka putranya berani berkata sejauh itu.
“Jadi kamu rela menghancurkan keluarga ini hanya demi dia?”
“Tidak, Ma,” jawab Vikto dengan mata berkaca-kaca. “Vikto justru ingin menyelamatkan keluarga ini dari dosa karena telah menindas orang yang lemah.”
Tuan Abdi yang sejak tadi mendengarkan dari tangga akhirnya turun, menatap putranya dengan sorot kecewa.
“Cukup, Vikto. Jangan mempermalukan keluarga ini di depan Mama kamu.”
Vikto berdiri, menatap ayah dan ibunya bergantian.
“Kalau membela Dinda dianggap mempermalukan keluarga, maka biarlah Vikto jadi aib untuk keluarga ini.”
Suasana hening. Hanya terdengar detik jam yang berdetak pelan di dinding.
Air mata menetes di pipi Nyonya Wirna, entah karena marah, entah karena kecewa.
Vikto menunduk sejenak, lalu berkata dengan suara serak,
“Mulai malam ini, Vikto hanya minta satu hal... jangan sakiti Dinda lagi. Kalau Mama dan Papa tidak bisa menerimanya, biarkan kami pergi.”
Tanpa menunggu jawaban, Vikto melangkah meninggalkan ruang tamu, sementara Nyonya Wirna terisak tertahan di pelukan suaminya.
Dari kejauhan, Oma Hela yang mendengar semuanya hanya menggeleng lirih, menatap punggung cucunya dengan mata sendu.
Ia tahu, malam itu, Vikto telah memilih jalan yang akan mengubah hidup mereka semua.
Apa keluarga nya Percaya dengan omongan Dinda nanti tentang wasiat Oma,Takutnya menuduh Dinda mengada2..Harusnya 2 orang yg masuk sebagai saksi..