NovelToon NovelToon
Tersesat Di Hutan Angker

Tersesat Di Hutan Angker

Status: sedang berlangsung
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Mata Batin / Iblis
Popularitas:254
Nilai: 5
Nama Author: Juan Darmawan

Enam mahasiswa—Raka, Nando, Dimas, Citra, Lala, dan Novi—memutuskan untuk menghabiskan libur semester dengan mendaki sebuah bukit yang jarang dikunjungi di pinggiran kota kecil. Mereka mencari petualangan, udara segar, dan momen kebersamaan sebelum kembali ke rutinitas kampus. Namun, yang mereka temukan bukanlah keindahan alam, melainkan kengerian yang tak terbayangkan.

Bukit itu ternyata menyimpan rahasia kelam. Menurut penduduk setempat, kawasan itu dijaga oleh makhluk halus yang disebut “penunggu hutan”, sosok jin yang berwujud manusia tampan dan wanita cantik, yang gemar memperdaya manusia muda untuk dijadikan teman di alam mereka. Awalnya, keenamnya menertawakan cerita itu—hingga malam pertama di hutan tiba.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juan Darmawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hari Kedua Di Bukit Arga Dipa

Begitu Leo akhirnya menyusul mereka dengan napas tersengal, Lala menoleh dan menatapnya heran.

“Lu ngapain sih, Yo? Kok bisa ketinggalan jauh banget?”

Leo berusaha tersenyum, tapi wajahnya masih tampak pucat. Keringat dingin menetes di pelipisnya meski udara gunung begitu dingin.

“Gak… gak apa-apa, La. Gue cuma… sempet ngelihat sesuatu di belakang.”

“Ngelihat apa?” tanya Dimas cepat sambil melirik ke arah jalur yang baru saja dilewati.

Leo menelan ludah. Ia sempat ingin bilang tentang pria berseragam SAR itu, tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia hanya menunduk dan menjawab pelan,

“Gak jadi deh. Mungkin cuma bayangan gue aja.”

Nando yang berjalan paling depan menoleh sekilas, lalu berkata dengan nada agak tegas,

“Udah, jangan aneh-aneh, Yo kita lanjut lagi nanggung bentar lagi kita nyampe pos terakhir,”

Citra menepuk bahu Leo lembut, mencoba menenangkan,

“Santai aja, Yo. Udah deket kok, pos empat bentar lagi kelihatan.”

Tapi jauh di dalam hatinya, Leo tahu… apa yang dia lihat tadi bukan halu.

Dan yang lebih menakutkan, ia yakin sosok itu masih mengikuti mereka dari kejauhan.

****

Hampir dua jam lamanya mereka mendaki tanpa henti. Jalur menuju pos pendakian keempat terasa jauh lebih berat dari sebelumnya — tanjakan makin curam, bebatuan licin, dan akar-akar pohon menjulur seperti ular di sepanjang jalan. Nafas mereka terengah-engah, suara ranting patah dan langkah berat terdengar di antara hembusan angin dingin gunung Arga Dipa.

Akhirnya, papan kayu usang bertuliskan “Pos 4 – Arga Dipa” muncul di depan mata. Tulisan itu hampir hilang termakan usia, sebagian catnya mengelupas.

“Akhirnya…” ucap Lala dengan napas tersengal, tangannya bertumpu di lutut.

“Gue kira gak bakal nyampe-nyampe.”

Nando meletakkan ranselnya ke tanah, langsung menjatuhkan diri duduk di atas batu besar.

“Ini… pos terakhir sebelum puncak, kan?” tanyanya memastikan.

Nando mengangguk pelan sambil menghela napas panjang dan memperhatikan setiap rute yang tertera di peta.

“Iya. Dari sini ke puncak cuma sekitar satu jam lagi. Tapi katanya… jalurnya yang paling berat.”

Citra memandang sekeliling. Tidak seperti pos-pos sebelumnya, pos 4 tampak sepi dan sunyi sekali. Tak ada tanda-tanda pendaki lain, tak ada bekas api unggun, bahkan suara burung pun tak terdengar. Hanya suara angin yang berdesir pelan di sela-sela pepohonan.

Citra menatap jam di pergelangan tangannya dengan wajah heran.

“Kalian nyadar gak sih… waktu di sini cepat banget?” katanya dengan nada bingung.

Semua langsung berhenti beraktivitas. Dimas yang sedang menuang air ke botol mendongak cepat.

“Setengah lima? Gak mungkin, Cit. Tadi perasaan gue juga baru ngelihat jam tiga lewat.”

Raka buru-buru merogoh saku jaketnya, melihat jam tangannya sendiri — dan benar, jarumnya menunjukkan pukul 16.30.

“Loh… kok sama ya?” gumamnya pelan.

“Aneh. Padahal kita baru istirahat sebentar.”

“Baru aja tadi gue liat jam masih jam tiga, sekarang udah setengah lima.”

Angin tiba-tiba bertiup lebih dingin, membuat daun-daun di sekitar mereka bergesekan keras. Suara itu seperti bisikan, samar tapi membuat bulu kuduk berdiri.

“Udah mulai gelap lagi,” kata Novi cemas.

Raka menunjuk ke arah barat, di mana langit mulai berwarna jingga keemasan. Matahari perlahan tenggelam di balik kabut tipis, cahayanya menembus celah pepohonan dan membuat bayangan panjang di tanah.

“Mending kita nginap aja lagi di sini,” katanya sambil mendesah pelan. “Lihat tuh, sunset-nya indah banget. Sayang kalo dilewatin.”

Citra sempat tersenyum kecil, tapi matanya tetap gelisah menatap ke arah langit.

“Iya sih, indah… tapi suasananya kok kayak aneh ya? Biasanya kalau sore, suara serangga rame. Sekarang malah sepi banget.”

Novi menatap ke sekeliling, menelan ludah. Memang, selain desiran angin dan bunyi dedaunan, tak terdengar apa pun. Tak ada burung, tak ada jangkrik. Hening.

“Mungkin udah terlalu tinggi, makanya hewan-hewan gak ada,” kata Dimas mencoba menenangkan suasana.

“Udah, kita pasang tenda lagi aja. Gue bantu Nando.”

“Kita lanjut ke puncak gak, nih? Kalo nunggu lebih lama, bisa-bisa udah malam di jalan.”

Leo hanya mengangguk pelan, tapi matanya kembali menatap ke arah puncak yang tertutup kabut. Entah kenapa, hatinya merasa ada sesuatu di atas sana — seperti ada seseorang yang menunggu.

Nando tiba-tiba menepuk tangannya dan ngomong

"Seperti kemarin lagi kita bagi tugas gue sama Lala cari kayu yang lain pasang tenda ya"

Raka mengangguk sambil menepuk bahu Nando.

“Oke, kayak kemarin aja. Tapi jangan lama-lama, ya. Kabutnya makin tebal nih, nanti malah nyasar lagi.”

Lala menatap ke arah Nando sebentar, ragu, tapi akhirnya ikut berdiri.

“Yaudah, ayo. Tapi jangan jauh-jauh kayak kemarin, gue masih agak takut.”

Nando tersenyum tipis.

“Santai aja, La. Gue gak bakal ninggalin lo.”

Lala hanya mendengus kecil, menunduk menutupi wajah yang sedikit memerah, lalu mengikuti langkah Nando masuk ke sela-sela pepohonan di sisi jalur pendakian.

Sementara itu, Raka, Dimas, Leo, dan Citra mulai mendirikan tenda di area tanah yang agak datar. Novi menyiapkan makanan kering di dalam tas, sesekali melirik ke arah hutan

Nando melihat Lala yang cuma kebanyakan diam Nando akhirnya memberikan diri untuk bertanya

"La lu kenapa kok diam aja?"

Lala dengan ekspresi yang sulit di tebak, ia pun tidak mengerti harus ngomong apa ia akhirnya menoleh pelan ke arah Nando.

"Gue... Gue masih kepikiran soal kemarin, gue takut hamil Ndo,”

Nando yang mendengar ucapan Lala, ia pun memberanikan diri berdiri di depan Lala dan memegang kedua tangannya.

"Lu nggak usah kuatir La, lagian kita ini udah semester akhir pulang dari sini gue janji bakal nikahin lu,” ucap Nando sambil tersenyum ke arah Lala.

Brukkkk..... Tiba-tiba terdengar seperti buah kelapa jatuh tak jauh dari tempat Nando dan Lala berdiri membuat keduanya terkejut sambil memperhatikan sekitar namun tak ada sesuatu yang mereka dapati selain pepohonan yang rindang dan semak-semak yang rimbun.

"Ayo La buruan" Nando segera mengambil beberapa ranting kayu yang sudah kering yang kebetulan tergeletak di dekatnya.

1
Nụ cười nhạt nhòa
Belum update aja saya dah rindu 😩❤️
Juan Darmawan: Tiap hari akan ada update kak😁
total 1 replies
ALISA<3
Langsung kebawa suasana.
Juan Darmawan: Hahaha siap kak kita lanjutkan 😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!