Siapapun tak ingin mendapatkan takdir yang tak sejalan dengan keinginan, termasuk Asha. Sejak awal ia tahu hidupnya tak pernah sempurna, namun tak pernah ia bayangkan bahwa ketidaksempurnaan itu akan menjadi alasan seseorang untuk merendahkannya—terutama di mata Ratna, ibu mertuanya, wanita yang dinginnya mampu merontokkan kepercayaan diri siapa pun.
"Untuk apa kamu menikahi wanita seperti dia?!"
Satu kalimat yang terus menggetarkan jantungnya, menggema tanpa henti seperti bayang-bayang yang enggan pergi. Kalimat itu bukan hanya penghinaan. Itu adalah vonis, sekaligus penjara yang tak pernah bisa ia hindari.
Sejak hari itu, Asha belajar diam. Bukan karena ia lemah, tetapi karena setiap kata yang keluar dari mulutnya hanya akan memicu luka baru.
Namun ada satu hal yang membuatnya tetap bertahan.
Aditya.
Namun saat kehadiran Nadia, semua mulai berubah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Essa Amalia Khairina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGHAKIMAN
Di samping makam ayahnya, berdiri makam ibunya—dua batu nisan berdampingan, seolah masih saling menjaga dalam keheningan abadi. Tanah merah yang menutupi makam sang ibu tampak lembap, mengeluarkan aroma khas yang bercampur dengan wangi bunga segar yang ditaburkan oleh Asha. Kelopak-kelopak itu terlihat basah oleh embun pagi, sebagian menempel pada permukaan tanah, sebagian lagi tertiup angin, bergeser pelan mengikuti arah hembusannya.
Asha merunduk, menyentuh pinggiran nisan
itu dengan ujung jarinya. Sentuhan kecil itu membuat dadanya terasa penuh, mengalirkan rindu yang tak bisa benar-benar ia tahan.
Adit memperhatikan gerakan Asha, namun membiarkannya larut sejenak. Ia tahu, di antara dua makam itu, Asha seakan berdiri di antara dua dunia—masa lalu yang tak bisa kembali, dan kenyataan yang masih harus ia jalani.
Tak lama, para tamu mulai satu per satu berpamitan, menunduk hormat ke arah Asha sebelum melangkah pergi meninggalkan area pemakaman. Suara langkah kaki yang menjauh, gumaman doa, dan derik kain yang bergesekan menjadi latar belakang yang perlahan memudar.
Adit berhenti tepat di belakangnya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan menurunkan tubuhnya, berlutut di samping Asha. “Sayang,” Panggilnya lembut, suaranya serak seolah ikut menahan emosi.
Asha menunduk lebih dalam, suaranya hampir hanya berupa bisikan. “Aku… nggak nyangka harus ke sini lagi, harus kehilangan lagi."
Adit tak menjawab dulu. Ia hanya mengulurkan tangan, menyentuh punggung Asha dengan kehangatan yang hati-hati—seakan takut sentuhannya justru membuat luka itu semakin terasa. “Aku tahu… dan aku nggak akan bilang kamu harus kuat sekarang,” Katanya pelan. “Kamu boleh jatuh. Kamu boleh sedih... boleh kehilangan. Tapi jangan sampai kesedihan itu membuat kamu lupa kalau kamu masih punya orang yang mencintai kamu, sayang."
Asha akhirnya menoleh sedikit, matanya berkaca-kaca. “Ayah… ibu… sekarang dua-duanya di sini.”
Adit mengangguk, menatap nisan-nisan itu dengan hormat. Ia kemudian meraih tangan Asha, menggenggamnya erat—bukan untuk menahan, tapi untuk menemani. Asha membalas genggaman itu dengan lemah, namun nyata. Sesaat, keduanya hanya diam, dikelilingi angin pagi yang lembut, dengan campuran aroma tanah basah yang masih segar.
****
"Darimana aja, kamu?"
Pertanyaan itu meluncur jelas, tajam, dan penuh tekanan, setibanya Adit di rumah dan membuka pintu.
Ratna, sang Ibu, berdiri di ruang tamu. Kedua lengannya terlipat di bawah dada. Sorot matanya tajam, tidak berkedip, seperti panah yang langsung tertancap ke arah Adit. Suasana rumah yang seharusnya tenang untuknya pulang setelah menjalani kesedihan yang panjang justru terasa lebih menyesakkan.
Wanita berparas awet muda, meski usianya sudah menginjak empat puluh tahunan itu melangkah semakin mendekat. "Semenjak kenal dengan dia, kamu sekarang bahkan berani gak pulang ke rumah. Nemenin dia yang kesepian di rumahnya?!"
"Ma..." Adit menatap lurus ke arah Ratna. "Ibu Asha meninggal kemarin malam dan aku ikut mengurusi pemakaman Ibunya tadi pagi."
"Oh." Angguk Ratna datar. "Terus kamu nemenin dia semalaman, gitu?"
"Walaupun aku nemenin Asha semalaman, bukan berarti aku melakukan apa yang Mama pikirkan."
Ratna mendesis. Ia memalingkan wajah sejenak, seolah mencoba menata emosi—bukan untuk meredakannya, tetapi untuk memastikan kata-kata berikutnya keluar lebih terarah. Helai rambut di pelipisnya bergerak sedikit ketika ia menarik napas pelan. Lalu, ia kembali menatap anaknya. "Kamu yakin?" Tanyanya. "Wanita perawan tua seperti dia... itu tidak lagi memikirkan yang namanya masa depan. Tapi dia sangat pandai memikirkan caranya menempel pada orang yang bisa memberinya keuntungan."
"Ma. Maksud Mama apa si selalu berkata seperti itu?" Adit tertelan. "Asha bukan wanita yang Mama—"
"Adit," Sela Ratna cepat. "Kamu itu waras gak si... menikahi wanita yang usianya itu sama seperti Kakak kamu sendiri?"
"Apa usia jadi halangan untuk menata hidup bersama?"
"Tapi masalahnya..."
"Aku sudah lamar Asha." Sela Adit tenang. "Dan mungkin sebentar lagi, aku berencana akan menikahi Asha."
Ratna sontak membeku.
Wajahnya yang semula dipenuhi amarah perlahan memudar, digantikan ekspresi terbelalak yang sulit ia sembunyikan. Bibirnya terkatup rapat, namun jemarinya yang mengepal menunjukkan betapa kabar itu menghantamnya keras—lebih keras dari yang pernah ia bayangkan. “A–Apa?” Suaranya pecah, hampir tidak terdengar. “M… melamar… Asha?” Ulangnya, seolah berharap ia salah dengar. "Kamu gila?!"
“Mama bilang aku nggak waras… bahkan sekarang Mama menganggap aku gila,” Lirih Adit, suaranya pecah namun tetap berusaha tenang. Ia menunduk sesaat, sebelum kembali menatap ibunya dengan mata yang lebih kokoh daripada sebelumnya. "Usia itu bukan halangan untuk seseorang mencintai, atau dicintai. Bukan ukuran siapa yang pantas untuk siapa.”
Ratna menggeleng beku, " Mama kecewa sama kamu!"
"Terserah Mama mau setuju apa enggak dengan keputusan yang aku buat. Asha udah gak punya siapa-siapa lagi selain aku. Dan mulai sekarang, aku yang akan jaga dan selalu ada buat dia." Jelas Adit. Nadanya lembut, tapi ketegasannya jelas—setiap kata seperti menampar kembali semua penilaian keras Ratna.
“Ada apa ini?”
Suara itu datang tiba-tiba dari arah pintu ruang tamu, cukup keras untuk membuat Ratna dan Adit sontak menoleh.
Di ambang pintu, muncul seorang wanita muda yang langsung mencuri perhatian. Ia menjinjing beberapa paper bag butik mahal di kedua tangannya, seolah baru saja pulang dari sesi belanja yang panjang.
Penampilannya cantik dan glamor—kulitnya cerah terawat, rambut panjang bergelombang jatuh rapi di bahunya, berkilau seperti baru keluar dari salon. Riasannya tipis namun sempurna, menonjolkan mata yang tajam dan bibir merah natural.
"Debat apalagi, nih?"
"Maya! Adik kamu..." Ratna mendekat lalu meraih lengan anak cikalnya itu. "Dia telah melamar si Asha dan akan menikahinya."
"WHAAAT?!"
Teriakan Maya pecah begitu saja, nyaring dan penuh keterkejutan. Suaranya memantul di dinding ruang tamu. Ia menjatuhkan satu paper bag ke lantai—entah sengaja atau karena refleks—sementara matanya membesar dramatis, bulat dan penuh ketidakpercayaan.
Tubuhnya sedikit condong ke depan, tangan terangkat ke dada seolah mencoba menangkap kembali napas yang hilang. Rambutnya yang bergelombang ikut bergoyang karena gerakannya yang spontan. Matanya membulat memandang lurus sang adik.
"A-Adit... Apa Kamu sadar apa yang kamu lakukan? Emang dia itu hebat, seorang dosen. Tapi apa kamu gak mikir... Asha itu bukan hanya seusia aku, tapi lihat latar belakang dia dari keluarga yang seperti apa!"
"Kenapa emang? Hanya karena dia miskin?" Tanggap Adit datar.
"Kamu itu lulusan S2..."
Adit mengangguk. "Asha juga." Tandasnya cepat.
Maya menggertak giginya kesal dengan jawaban itu. "Kamu itu pria tampan, cerdas... seorang manajer perusahaan yang seharusnya lebih pinter untuk cari pasangan!"
"Terserah!" Ucap Adit menembakkan kata itu tanpa emosi, singkat, padat, dan memutus perdebatan seketika. Suaranya rendah, tapi lebih menyakitkan bagi Maya daripada teriakan. "Terserah kalian mau anggap aku gak waras, gila dan sebagainya. Yang jelas... cepat atau lambat, aku akan segera menikahi Asha."
****