Di bawah pesona abadi Kota Roma, tersembunyi dunia bawah yang dipimpin oleh Azey Denizer, seorang maestro mafia yang kejam dan tak tersentuh. Hidupnya adalah sebuah simfoni yang terdiri dari darah, kekuasaan, dan pengkhianatan.
Sampai suatu hari, langitnya disinari oleh Kim Taeri—seorang gadis pertukaran pelajar asal Korea yang kepolosannya menyilaukan bagaikan matahari. Bagi Azey, Taeri bukan sekadar wanita. Dia adalah sebuah mahakarya yang lugu, sebuah obsesi yang harus dimiliki, dijaga, dan dirantai selamanya dalam pelukannya.
Namun, cinta Azey bukanlah kisah dongeng. Itu adalah labirin gelap yang penuh dengan manipulasi, permainan psikologis, dan bahaya mematikan. Saat musuh-musuh bebuyutannya dari dunia bawah tanah dan masa kelam keluarganya sendiri mulai memburu Taeri, Azey harus memilih: apakah dia akan melepaskan mataharinya untuk menyelamatkannya, atau justru menguncinya lebih dalam dalam sangkar emasnya, meski itu akan menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Veronica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Impian Sang Ratu
Pukul 19.00 malam, dan Taeri sudah siap.
Di depan cermin, Taeri mematut diri, memastikan setiap detail penampilannya sempurna. Midi dress emerald green itu membalut tubuhnya dengan pas, menonjolkan lekukannya dengan elegan. Rambut panjangnya sudah tertata rapi dalam sanggul rendah, memberikan kesan klasik namun tetap modern. Semoga Azey menyukainya.
"Sudah siap, Baby?" Suara datar Azey menyapanya dari belakang. Taeri merasakan lengannya melingkari pinggangnya, mendekapnya erat dari belakang. Ia menyandarkan dagunya di bahu Taeri, membuatnya bisa melihat pantulan dirinya di cermin. Kekasihnya tampak begitu tampan dengan kemeja oxford berwarna biru navy yang digulung sebatas siku, dipadukan dengan celana kain berwarna krem. Dia sempurna.
Taeri menoleh, mencium hidung Azey sekilas. "Sedikit lagi, Sayang. Tinggal pilih tas dan sepatu," ucapnya sambil berbalik, menghadapnya dengan senyum manis.
"Kau terlihat sangat cantik malam ini," bisik Azey, matanya menelusuri setiap inci tubuh Taeri. "Aku jadi tidak rela kalau pria lain melihatmu." Pipinya memerah mendengar pujiannya, apalagi saat Azey mengusap pipinya dengan lembut.
"Kamu juga terlihat sangat tampan," balas Taeri menggoda, sambil menduselkan hidungnya ke hidung Azey. "Sekarang, aku jadi takut kalau ada wanita seperti Evelyn yang akan menggodamu." Ia sedikit terganggu dengan bayangan Evelyn tempo hari, wanita itu terlalu agresif.
"Itu tidak akan pernah terjadi, Baby," jawab Azey tenang, seolah bisa membaca pikirannya. "Sampah seperti itu tidak pantas dibandingkan denganmu."
Taeri tersenyum tipis mendengar ucapannya. Azey selalu tahu bagaimana cara membuatnya merasa aman dan dicintai. Ia masuk ke dalam walk-in closet, mengambil tas dan sepatu yang telah dipersiapkan Taeri sebelumnya.
"Kamu sangat romantis, Sayang. Aku bisa pingsan," ucap Taeri sambil mengambil tas yang diberikan Azey.
"Ini kewajibanku," balas Azey pelan, suaranya rendah dan penuh kasih sayang. "Memanjakan calon istriku yang sedang hamil."
Taeri mengusap lembut rambut Azey saat pria itu berlutut di hadapannya, menunduk untuk memasangkan high heels pada kaki jenjangnya. Sentuhannya terasa lembut dan hati-hati, membuat hatinya menghangat. Ia sangat beruntung memilikinya.
Setelah semua persiapan selesai, Azey dan Taeri turun melalui tangga marmer yang megah. Taeri menggenggam erat tangan Azey, wajahnya berseri-seri penuh semangat. Azey bisa merasakan kegembiraannya yang meluap-luap. Ia cukup bangga dengan kekasihnya ini. Sebentar lagi, Taeri akan resmi diangkat menjadi ratu galeri seni terbesar di Roma, sebuah proyek impian yang telah menjadi cita-citanya sejak remaja. Dia pantas mendapatkannya.
Begitu mereka melangkah keluar dari pintu utama, Toni sudah menunggu di depan sedan mewah. "Selamat malam, Tuan, Nona," sapa Toni sopan. Azey hanya mengangguk singkat, sedangkan Taeri membalasnya dengan senyuman ramah.
Azey menuntun kekasihnya masuk ke dalam mobil saat Toni membukakan pintu belakang. Begitu mobil mulai melaju, Taeri menoleh padanya, matanya berbinar. "Aku benar-benar tidak percaya, malam ini akhirnya tiba, Sayang," katanya sambil menggenggam tangan Azey erat. "Semua hal yang telah kubayangkan sejak remaja, semua masa muda yang kuhabiskan di negeri orang, akhirnya akan terbayar. Dan ini semua berkatmu, Sayang."
Azey mengusap punggung tangannya dengan lembut, merasakan kebahagiaannya yang menular. "Aku tahu, Baby. Dan aku sangat bangga padamu," balasnya tulus.
Kebanggaannya pada Taeri bukan sebatas galeri seni yang akan ia pimpin. Lebih dari itu, Azey bangga melihat bagaimana gadis itu bisa tetap kuat dan tegar di tengah dunia gelap yang mengelilinginya. Taeri adalah cahaya di dalam kegelapannya.
Bagaimana Taeri bisa tetap berdiri tegak setelah semua kisah berdarah yang terjadi di antara mereka, setelah semua pengorbanan yang telah ia lakukan untuknya.
Taeri tersenyum cerah, menyandarkan kepalanya di bahu Azey, menikmati kebersamaan mereka dalam keheningan malam. Malam ini adalah malam Taeri. Dan Azey akan memastikan, malam ini akan menjadi malam yang tak akan pernah ia lupakan.
Pukul 20.30, dan jantung Taeri berdebar tak karuan.
Mobil berhenti perlahan di depan gedung galeri seni yang megah. Lampu-lampu sorot menyinari fasad kaca dan batu marmer, membuatnya berkilau di bawah langit malam. Taeri bisa merasakan jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, seiring dengan semakin dekatnya momen yang ia tunggu-tunggu. Akhirnya, mimpi itu akan menjadi kenyataan.
Azey membuka pintu untuknya, tangannya yang hangat menyentuh punggung Taeri saat mereka melangkah keluar. Ia bisa merasakan dukungan Azey, kehadirannya membuatnya merasa lebih tenang.
"Jangan gugup begitu, Baby," bisik Azey lembut, matanya menatap Taeri dengan penuh kasih sayang. "Semua telah dipersiapkan dengan sempurna."
Taeri tersenyum gugup pada Azey, berusaha menenangkan diri. "Aku hanya sedikit deg-degan, Sayang," jawabnya lirih, sambil mengimbangi langkah Azey menuju lobby. "Ini pembukaan galeri pertamaku."
Di dalam lobby, dua orang wanita yang sedang sibuk memerintah tata letak lukisan segera mendekat saat melihat mereka masuk. Mereka tampak profesional dan berdedikasi.
"Sudah selesai semuanya?" tanya Azey tegas, mendekati mereka sambil menarik Taeri ikut.
"Sudah hampir selesai, Tuan Azey," jawab Sophia ramah, sambil tersenyum ke arah Taeri. "Lampu sorot untuk 'Salvator Mundi' sudah pas, dan rak wine untuk para tamu juga sudah beres. Hanya butuh pengecekan akhir pada sound system."
"Semuanya on track," timpal Giada dengan semangat. "Pengiriman champagne tadi sore lancar, dan daftar tamu sudah diverifikasi."
Azey berpaling pada Taeri, tangannya merangkul pinggangnya dengan posesif. "Baby, ini Giada dan Sophia, orang-orang kepercayaanku yang mengurus semua kebutuhan galerimu."
"Terima kasih banyak atas kerja keras kalian," ucap Taeri tulus, tersenyum ramah pada keduanya. Ia sangat menghargai dedikasi mereka.
"Sebuah kehormatan bisa melayani calon Nyonya Denizer," ucap Sophia, yang diangguki Giada.
Taeri merasa sedikit malu saat keduanya membungkuk hormat padanya, namun ia tahu, ia harus terbiasa dengan posisi barunya sekarang. Ia adalah calon istri Azey Denizer, dan ia akan menjadi ratu di galeri seni ini. Ia akan melakukan yang terbaik.
Saat Taeri sedang berbincang dengan Giada dan Sophia mengenai detail penempatan beberapa instalasi seni, sebuah suara dari belakang tiba-tiba menginterupsi.
"Tuan Azey! Astaga, akhirnya kita bisa bertemu juga!"
Taeri menoleh dan melihat dua orang pria berjas mahal berjalan mendekat. Mereka adalah Julian Edward dan Elvin Lowlyn, rekan bisnis Azey. Namun, Taeri segera mengalihkan pandangannya, tidak tertarik sama sekali dengan kehadiran mereka. Ia tidak suka cara mereka menatapnya.
"Anda datang bersama siapa, Tuan?" tanya Julian, senyumnya sedikit merayap ke arah Taeri seolah menebak-nebak. Taeri bisa merasakan ada sesuatu yang tidak beres dengan pria ini. Ia sedang dalam masalah.
"Jaga mata Anda, Tuan Julian, kalau memang masih tetap ingin berada di tempat nya," ucap Azey mengancam, suaranya dingin dan menusuk.
Taeri buru-buru menggenggam tangannya untuk menenangkan Azey. Ia tahu, Azey bisa menjadi sangat berbahaya jika emosinya terpancing.
"Ma... maafkan saya, Tuan," ucap Julian cepat, suaranya gugup dan penuh ketakutan. "Saya cuma penasaran dengan nona di samping Anda. Saya tidak bermaksud apa-apa."
Taeri bisa melihat bagaimana kedua pria di depannya bisa membeku hanya dengan tatapan kekasihnya. Kekuatan dan pengaruh Azey begitu besar, bahkan tatapannya saja sudah bisa membuat orang gemetar ketakutan.
"Namanya Taeri. Dia kekasihku," ujar Azey datar, sambil melirik Taeri sekilas, lalu merangkul pinggangnya sedikit lebih erat, seolah menandai bahwa ia miliknya.
"Apa... jadi Anda sudah punya kekasih?" sahut Elvin terkejut, wajahnya tampak kaget. Mungkin karena Azey tidak pernah terlihat dekat dengan wanita sebelumnya.
"Saya Julian Edward, senang bertemu dengan Anda, Nona," ucap Julian, berusaha memperbaiki kesalahannya.
"Saya Elvin Lowlyn, salah satu rekan bisnis Tuan Azey," Elvin ikut memperkenalkan diri. Namun, tak ada satupun dari mereka yang berani mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Taeri.
"Kim Taeri," balas Taeri singkat, menjaga ekspresinya tetap datar. Ia tahu, tidak baik untuk kedua pria di depan mereka jika membuat kekasihnya cemburu. Taeri harus berhati-hati, karena ia tahu, Azey akan melakukan apa saja untuk melindunginya
Taeri tersenyum tipis melihat reaksi canggung Julian. Pria itu buru-buru mengamati sekeliling galeri, berusaha mengalihkan perhatian.
"Tuan Azey, bukankah tempat ini sangat bagus?" ucapnya mengagumi. "Kudengar dari international news, ada koleksi seni yang cukup mewah di sini."
Mendengar itu, Taeri cukup penasaran. Bagaimana reaksi para pengusaha dan konglomerat yang hadir malam ini jika mengetahui pemilik galeri ini adalah dirinya dan Azey?
"Dari desainnya saja, sudah dipastikan menghabiskan ratusan juta euro," timpal Elvin, wajah kagum mereka tidak bisa disembunyikan. "Aku jadi sangat penasaran dengan pemiliknya. Bukankah begitu, Tuan?"
Senyum sinis Azey membuat Taeri deg-degan. Ia belum pernah secara resmi mempublikasikan Taeri sebagai pemilik galeri ini. Taeri tidak tahu apa yang sedang ia rencanakan.
"Seperti dugaanmu, Tuan Elvin," ujar Azey misterius, matanya menatap Taeri dengan lembut. "Pasti pemiliknya sangat cantik dan anggun."
Hati Taeri terasa berbunga saat pria itu tersenyum ke arahnya, seolah hanya dirinya yang ada di ruangan itu. Namun, ia juga sadar dengan tatapan aneh kedua pria di depannya. Mereka tampak bingung dan sedikit tidak nyaman karena berpikir Azey sedang memuji wanita lain di hadapan Taeri. Apakah ini saatnya, Azey? Apakah ia akan mengungkapkannya sekarang?