Dikhianati oleh murid yang paling ia percayai, Asura, sang Dewa Perang, kehilangan segalanya. Tubuhnya musnah, kekuatannya hilang, dan namanya dihapus dari dunia para Dewa. Namun, amarah dan dendamnya terlalu kuat untuk mati.
Ribuan tahun kemudian, ia terlahir kembali di dunia fantasi yang penuh sihir dan makhluk mistis bukan lagi sebagai Dewa yang ditakuti, melainkan seorang bocah miskin bernama Wang Lin.
Dalam tubuh lemah dan tanpa kekuatan, Wang Lin harus belajar hidup sebagai manusia biasa. Tapi jauh di dalam dirinya, api merah Dewa Asura masih menyala menunggu saatnya untuk bangkit.
“Kau boleh menghancurkan tubuhku, tapi tidak kehendakku.”
“Aku akan membalas semuanya, bahkan jika harus menantang langit sekali lagi.”
Antara dendam dan kehidupan barunya, Wang Lin perlahan menemukan arti kekuatan sejati dan mungkin... sedikit kehangatan yang dulu tak pernah ia miliki.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumun arch, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Yang Mengintai dari Kegelapan
Ledakan terakhir dari pertarungan itu mengguncang lembah. Batu-batu beterbangan, pohon tumbang, dan api menari liar sebelum akhirnya perlahan padam.
Di tengah kehancuran itu, Wang Lin berdiri diam napasnya berat, tapi matanya tenang.
Sosok berjubah hitam kini berlutut, tubuhnya dipenuhi luka. Dari celah bibirnya, darah menetes ke tanah yang sudah hangus.
“Masih... sama kuatnya seperti dulu,” ucapnya dengan senyum getir.
Wang Lin menatapnya tanpa kebencian.
“Tidak. Aku tidak lagi kuat karena amarah.”
Ia melangkah pelan mendekat. “Kau hanya kalah karena masih hidup di masa lalu.”
Sosok itu hendak menjawab, tapi tiba-tiba angin berdesir aneh. Udara di sekitar mereka berubah dingin. Bayangan tipis bergerak di antara reruntuhan.
Wang Lin langsung memutar tubuhnya.
“Siapa di sana?”
Tak ada jawaban.
Hanya suara langkah pelan, ritmis, mendekat dari arah kegelapan.
Dari balik kabut yang tersisa, muncul seorang perempuan muda berambut perak panjang, mengenakan jubah putih yang tampak kontras dengan medan perang. Tatapannya tajam, namun ada ketenangan di baliknya.
“Pertarungan yang menarik,” katanya pelan. “Tapi... terlalu boros energi untuk hal yang seharusnya bisa dihindari.”
Wang Lin menyipitkan mata. “Kau siapa?”
Perempuan itu tersenyum samar. “Seseorang yang tahu bahwa Dewa Asura tidak benar-benar mati.”
Ia menunduk sedikit, memperhatikan api merah yang masih membara di tanah.
“Dan seseorang yang tahu... bahwa dunia ini belum siap untuk kebangkitanmu.”
Wang Lin diam. Tatapannya penuh kewaspadaan, tapi juga rasa ingin tahu.
“Kalau kau datang untuk menantangku, sebaiknya selesaikan kalimatmu dengan pedang, bukan kata.”
Namun perempuan itu menggeleng pelan.
“Aku tidak datang untuk bertarung.”
Ia berhenti sejenak, lalu menatap Wang Lin dengan mata yang tajam tapi teduh.
“Nama-ku... Lianhua. Aku datang untuk memberimu peringatan.”
Wang Lin menaikkan alis. “Peringatan?”
Lianhua mendekat, suaranya turun menjadi bisikan.
“Api-mu... telah menarik perhatian mereka.”
“Mereka?”
“Para Penjaga Langit,” jawabnya lirih. “Dan mereka tidak akan membiarkan reinkarnasi Dewa Asura hidup lebih lama dari yang seharusnya.”
Seketika, udara di sekitar mereka terasa berat.
Nama itu, Penjaga Langit, membuat Wang Lin terdiam.
Bayangan masa lalu muncul sekilas di benaknya... sosok-sosok bersinar yang dulu memenjarakan para dewa setelah perang besar berakhir.
Wang Lin menatap Lianhua tajam.
“Kalau begitu... seharusnya aku bersiap menyambut mereka.”
Lianhua menggeleng lagi. “Tidak. Kau belum cukup kuat.”
Ia memutar tubuh, lalu berjalan perlahan menjauh.
“Tapi kalau kau ingin hidup... temui aku di Kuil Bayangan Timur, tiga hari dari sekarang.”
Ia berhenti sejenak, lalu menatap Wang Lin dari balik bahunya.
“Dan ingat, Wang Lin... kali ini, dunia tidak akan memberimu kesempatan ketiga.”
Wang Lin berdiri diam, menatap kepergian perempuan itu. Angin malam berhembus pelan, membawa abu dan kenangan masa lalu yang belum sepenuhnya padam.
Ia menatap langit kelabu di atas sana, lalu tersenyum tipis.
“Kesempatan kedua saja sudah lebih dari cukup.”
Dan di antara puing-puing kehancuran itu, api kecil kembali menyala dan kali ini, tidak lagi karena dendam, tapi karena harapan yang mulai tumbuh.
Langkah Lianhua menghilang di balik kabut, meninggalkan keheningan yang aneh.
Wang Lin berdiri di antara sisa bara dan batu yang hangus, mencoba mencerna setiap kata perempuan itu.
“Para Penjaga Langit…”
Nama itu saja sudah cukup membuat dadanya terasa berat.
Raga menghampiri dari kejauhan, tubuhnya masih berlumur debu.
“Wang Lin, siapa dia? Dan... apa maksudnya Penjaga Langit?”
Wang Lin tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap bara di kakinya yang mulai padam, lalu menginjaknya perlahan.
“Musuh lama,” ucapnya akhirnya. “Mereka yang dulu menganggap Asura tak pantas berada di antara para dewa.”
Raga menelan ludah. “Kau... maksudmu mereka akan datang?”
Wang Lin mengangguk pelan. “Ya. Dan kalau benar kata perempuan itu, mereka sudah dalam perjalanan.”
Hening sejenak.
Angin malam berdesir lembut, tapi di telinga Wang Lin, suara itu terdengar seperti dentang perang yang sudah lama dinanti.
Raga menarik napas panjang. “Kalau begitu kita harus pergi dari sini. Sekarang juga.”
Wang Lin berbalik, menatap langit yang mulai ditelan awan gelap.
“Aku tidak lari lagi, Raga. Tapi kali ini... aku juga tidak akan melawan tanpa arah.”
Ia berjalan perlahan ke arah timur tempat kabut tampak paling tebal, arah yang disebut perempuan itu.
“Kuil Bayangan Timur…” gumamnya. “Tempat di mana aku mungkin bisa menemukan jawaban.”
Raga mengerutkan kening. “Jawaban tentang apa?”
Wang Lin menatapnya, sorot matanya tenang namun dalam.
“Kenapa aku hidup kembali.”
Mereka berdua melangkah meninggalkan reruntuhan itu.Langit memunculkan cahaya samar berwarna merah darah pertanda malam belum benar-benar berakhir.
Tapi jauh di atas sana, di antara awan gelap, beberapa cahaya biru berkilat seperti bintang yang bergerak.
Suara bergaung samar terdengar di langit:
“Dewa Asura telah bangkit. Dunia harus kembali seimbang.”
Wang Lin menghentikan langkahnya, menatap ke langit.
Senyum tipis muncul di bibirnya.
“Seimbang, ya?” ia berbisik. “Kalau begitu... mari kita lihat siapa yang benar-benar bisa menjaga keseimbangan itu.”
Api kecil kembali menyala di tangannya, memantul di matanya yang kini bersinar merah samar.
Perjalanan menuju Kuil Bayangan Timur pun dimulai bersama takdir lama yang perlahan bangkit dari tidur panjangnya.
Malam semakin pekat ketika Wang Lin dan Raga menuruni lembah. Kabut mulai turun lagi, menelan jalan setapak yang mereka lalui.
Raga menatap ke belakang, memastikan tak ada yang mengikuti. “Kau yakin tidak ada yang mengintai?”
Wang Lin hanya menatap lurus ke depan. “Kalau ada, mereka sudah mati sebelum kau sadar.”
Raga mendengus kecil. “Kau selalu bicara seolah tahu segalanya.”
“Bukan tahu,” sahut Wang Lin datar. “Hanya... sudah pernah mengalami hal yang sama.”
Hening beberapa saat. Langkah mereka bergema pelan di antara batu-batu basah.
Raga akhirnya membuka mulut lagi.
“Jujur, aku masih belum mengerti kenapa kau mau menemui perempuan itu. Kalau dia benar tahu siapa kau sebenarnya, bukankah itu berbahaya?”
Wang Lin tersenyum samar. “Bahaya itu relatif. Kadang, justru dari orang yang tahu terlalu banyak, kita bisa menemukan jalan keluar.”
Ia berhenti sebentar, menatap langit yang mulai cerah di ufuk timur.
“Malam ini... aku melihat banyak hal yang belum selesai,” gumamnya.
Raga mengangkat alis. “Maksudmu?”
“Dendam. Rasa bersalah. Dan mungkin... penyesalan.” Wang Lin tersenyum tipis. “Tiga hal itu tidak bisa mati begitu saja.”
Raga menatapnya bingung. “Kau bicara seperti orang yang sudah hidup ribuan tahun.”
Wang Lin menoleh dengan tatapan tenang. “Siapa bilang aku tidak?”
Raga membeku, tapi sebelum sempat bertanya lagi, suara gemerisik terdengar dari arah hutan.
Keduanya langsung siaga.
Dari balik pepohonan, muncul sosok berpakaian abu-abu membawa gulungan di tangan. Wajahnya tertutup topeng hitam polos.
Tanpa bicara, ia melemparkan gulungan itu ke tanah di depan Wang Lin.
Wang Lin menatapnya tajam. “Apa ini?”
Sosok itu menunduk. “Pesan dari langit,” jawabnya datar. “Tanda bahwa mata mereka telah terbuka.”
Lalu ia menghilang secepat datangnya.
Raga melangkah maju, membuka gulungan itu dengan hati-hati. Tulisan kuno berwarna merah terukir di atasnya.
Hanya satu kalimat:
“Dewa Asura telah menyalakan api. Saatnya air menenggelamkan dunia.”
Raga menelan ludah. “Air? Apa maksudnya ini?”
Wang Lin menggenggam gulungan itu, lalu menatap ke arah timur.
“Mereka sudah bergerak... Penjaga Air adalah yang pertama.”
Angin berhembus dingin. Daun-daun bergetar, dan langit di kejauhan tampak berubah warna biru gelap berkilat seperti laut.
Raga memandang Wang Lin dengan cemas. “Kau tahu siapa mereka?”
Wang Lin menatap lurus ke depan. “Mereka yang dulu menenggelamkan dunia... ketika aku jatuh dari surga.”
Ia menyalakan api kecil di telapak tangannya, lalu berjalan lagi tanpa menoleh.
“Ayo, Raga. Sebelum air menelan daratan, kita harus sampai di Kuil Bayangan Timur.”
Raga mengangguk cepat, mengikuti langkahnya.
Dan di belakang mereka, kabut mulai berputar, membentuk simbol lingkaran air yang bersinar redup tanda bahwa sesuatu yang besar sedang bangkit dari kedalaman bumi.
Dunia kembali bergetar. Dan untuk pertama kalinya, api Asura akan berhadapan dengan amarah air suci.