carol sebagai anak pungut yang di angkat oleh Anton memiliki perasaan yang aneh saat melihat papanya di kamar di malam hari Carol kaget dan tidak menyangka bila papanya melakukan hal itu apa yang Sheryl lakukan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
“Papa, maafin Anton ya sudah datangnya telat. Harusnya waktu papa ngusir Anton, Anton nggak pergi. Tapi Anton malah menatap papa. Anton tahu sih kalau papa pasti benci sama Anton. Nggak apa-apa kalau papa benci sama Anton, tapi Anton nggak pernah benci papa sama sekali kok. Malah Anton berharap papa terus-terusan sehat. Tapi kenapa papa malah sakit? Ayo dong, sembuh lagi biar bisa marahin Anton, karena Anton kangen dimarahin sama papa.”
Papanya masih mengenal Anton, tetapi tidak bisa berkata apa-apa karena badannya terasa lemah dan letih.
“Kalau papa bisa berhasil marahin Anton, Anton bakal beliin papa apa aja yang papa mau, gimana?”
Papanya tidak banyak berbicara kepada Anton. Ia hanya menatap Anton dengan pandangan bingung.
“Kamu siapa?”
Anton terdiam. Ia bingung kenapa papanya tidak mengenal dirinya. Apakah wajahnya memang sudah berubah sejak dulu?
“Ini Anton, anak papa yang papa usir. Emang papa lupa? Parah banget, papa udah lupa sama aku, padahal aku belum lama loh berpisah sama papa. Tapi papa udah lupa sama aku, kecewa aku.”
Papanya masih berpikir, siapa pria tampan ini. Masa iya, pria tampan ini adalah anaknya? Yang ia ingat, anaknya dulu masih kecil dan muda, mana mungkin sekarang sudah sedewasa ini.
“Kamu beneran anak saya, yang namanya Anton itu? Yang kurang ajar itu?”
“Iya, yang kurang ajar itu. Kesayangan papa kan, anak yang kurang ajar itu. Gimana perasaan papa ketemu si anak kurang ajar?”
Papanya hanya bisa menangis, diam, dan tidak mampu berkata apa-apa. Lalu ia mencoba mendekap anaknya dengan erat.
“Maafin papa ya, Anton. Papa harusnya nggak berlaku sejahat itu ke kamu. Tapi malah papa melakukan tindakan yang jahat banget buat kamu. Maafin papa ya. Papa berharap kamu tidak membenci papa.”
Anton yang mendengar itu malah menangis dan tidak bisa berkata apa-apa. Mungkin perkataan papanya benar-benar tulus dari hati.
Padahal Anton dikenal sebagai pria yang paling cool dan hampir tidak pernah menangis, tapi kali ini ia menangis karena perkataan papanya. Anton tahu betul kalau papanya bukan tipe orang yang mudah meminta maaf, karena papanya dikenal keras kepala.
“Papa nggak pernah salah kok apa-apa sama Anton. Malah Anton yang salah. Tapi Anton berharap papa bisa cepat sembuh ya, Pa. Mau kan sembuh?”
“Emangnya papa bisa sembuh?”
“Bisa dong, Pa. Jangan terlalu negatif thinking gitu. Anton yakin papa pasti sembuh.”
Papanya tersenyum mendengar kata-kata anaknya itu. Setelah itu, Anton langsung memindahkan kedua orang tuanya ke rumah yang sudah ia persiapkan dengan bantuan sekretarisnya.
Semua perlengkapan dan juga pembantu di rumah itu dibiayai oleh Anton. Sesekali, Anton datang ke rumah itu, walau tidak bisa sering-sering. Ia takut anaknya nanti terganggu dengan kehadiran kakek dan neneknya, meskipun sebenarnya Anton juga punya hak untuk mempertemukan mereka.
Anton tidak berharap orang tuanya langsung menyukai anaknya. Ia hanya berusaha bersikap adil terhadap kedua orang tuanya dan juga anaknya.
“Ini rumah mama dan papa ya. Jangan merasa terbebani. Anton senang bisa melakukan ini untuk mama dan papa.”
“Mama kan udah bilang ke kamu, jangan beli rumah mahal-mahal. Kenapa sih kamu tetap beli rumah mahal-mahal? Kamu tuh mau membebani mama, tahu.”
“Ya jangan merasa terbebani dong. Kan Anton udah bilang, pakai saja, jangan merasa terbeban.”
Setelah itu, Anton mengajak kedua orang tuanya masuk ke dalam rumah.
Begitu masuk, mereka tidak menyangka bisa melihat rumah yang begitu mirip dengan rumah lama mereka. Walaupun rumah itu baru, perabotannya bernuansa tradisional, seperti rumah lama mereka dahulu.
Mamannya tidak menyangka rumah modern bisa didesain seperti rumah zaman dulu. Awalnya, mamanya ingin rumah modern, tapi melihat anaknya bersikeras seperti itu membuatnya tidak bisa berkata apa-apa. Ia hanya merasa bersyukur memiliki anak seperti Anton.
“Makasih ya, Nak. Kamu udah beliin mama rumah yang benar-benar mirip sama rumah lama kita. Padahal mama nggak berharap rumahnya seperti itu. Tapi kamu malah menjadikan rumah yang lama kembali.”
“Ya udah, mama tinggal ganti interiornya aja kalau mau. Emang mau aku ganti interiornya?”
“Nggak usah lah. Mama jadi kangen juga sama suasana dulu. Rasanya kayak mama masih punya rumah sendiri lagi, nggak kayak sekarang yang harus ngekos. Sekarang mama punya rumah lagi berkat anak mama. Makasih ya, sayang, udah selalu memenuhi mama, padahal mama udah bilang kalau—”
“Udah, udah... jangan bicara itu lagi, Mah. Please, aku nggak mau denger mama bicara kayak gitu lagi. Aku mau kita senang-senang aja bareng dan jangan pernah merasa terbebani lagi, oke?”
Anton mencoba menenangkan mamanya karena ia tidak ingin mamanya terus terjebak dalam penyesalan masa lalu. Ia tahu betapa kecewanya mamanya dulu, tapi Anton tidak mau egois dengan terus mengungkitnya.
Anton hanya berharap bisa menebus semua kesalahannya di masa lalu dengan perbuatannya sekarang. Ia tahu, tanpa kedua orang tuanya, dirinya juga tidak akan ada. Maka dari itu, Anton merasa bersyukur karena kini ia bisa membahagiakan mereka.
“Ini kamar mama dan papa. Kalau butuh makanan, kulkasnya udah penuh. Tapi tenang aja, ada pembantu di sini. Mama dan papa bisa request makanan apa pun yang diinginkan.”
“Oh iya, ini ruang latihan papa. Kalau papa mau latihan, nanti dibantu pembantu juga. Tapi kalau bisa, difokusin ke pembantu aja ya, jangan ke mama. Takutnya mama capek dan malah drop.”
“Makasih ya, sayang. Kamu sampai memikirkan hal sejauh itu. Padahal mama sendiri nggak pernah berpikir hal-hal sedalam kamu.”
Anton hanya tersenyum mendengarnya. Melihat kedua orang tuanya bahagia sudah cukup membuatnya merasa tenang.
“Aku cuma melakukan hal kecil kok, bukan hal besar. Jadi mama jangan berpikir itu hal besar.”
“Menurut kamu kecil, tapi menurut mama, itu perlakuan yang sangat besar. Makasih ya, sayang.”
Mama memeluk Anton erat, seperti memeluk anak kecil. Selama ini mama selalu rindu pada Anton, tapi tidak tahu bagaimana caranya menghubunginya. Ia bahkan sempat nekat mencoba menelepon Anton, walau Anton sudah mengganti nomornya. Beruntung, mama berhasil menemukan nomor itu entah dari siapa.
Awalnya, mama takut Anton tidak akan menjawab teleponnya. Tapi ternyata, anaknya menjawab, meski awalnya dingin dan tidak banyak bicara. Namun, setelah bicara lebih lama, Anton malah jadi bawel dan bahkan kini membelikan rumah untuk orang tuanya.
“Kalau gitu, kamu mau ngapain sekarang?”
“Aku mau pulang aja, Mah, ke rumah. Soalnya banyak kerjaan yang harus aku urus. Lagian, aku juga punya anak, harus aku kasih makan.”
“Anak kamu udah dewasa kan sekarang? Mama nggak nyangka kamu bisa membesarkan dia sendirian dari bayi sampai sekarang.”
“Karena aku udah memutuskan untuk membesarkannya dari awal, makanya aku akan terus jagain dia sampai besar nanti.”
Mama tersenyum, menepuk pundak anaknya, dan merasa bangga karena Anton sudah menjadi pria hebat.
Setelah itu, Anton pamit pergi dari rumah orang tuanya. Ia juga sudah menyiapkan berbagai fasilitas agar para pembantu bisa membantu tanpa mengganggu kedua orang tuanya.
Mama dan papa merasa sangat bangga. Apalagi Anton juga memberikan dua ponsel untuk mereka agar bisa menghubunginya kapan saja jika butuh bantuan. Anton berjanji, kapan pun orang tuanya butuh, ia akan datang tanpa pikir panjang.
Bagi Anton, membahagiakan kedua orang tua adalah cita-cita yang sempat tertunda karena masalah masa lalu. Ia berharap bisa menebus semuanya sekarang.
Menurut orang lain, mungkin apa yang ia lakukan terlihat sepele. Tapi bagi Anton, hal-hal kecil yang ia lakukan bersama orang tuanya jauh lebih bermakna daripada hal besar yang tidak punya makna sama sekali.