NovelToon NovelToon
Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Aku Tak Percaya Cinta, Ayah

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Berondong / Selingkuh / Obsesi / Keluarga / Angst
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author:

"Aku nggak tahu, dari mana semuanya menjadi retak dan berantakan seperti ini. Yang kuingat, hanya ada satu titik ketika hidupku berubah drastis. Ibuku pergi meninggalkan rumah bersama dengan lelaki lain. Meski ayahku tegar dan tabah, pada akhirnya dia menyerah dan menikahi perempuan lain. Brian, adalah satu-satunya tempat dan rumah terakhir yang aku harapkan. Tetapi, dia pun juga menorehkan luka yang tak bisa kumaafkan."

Aku tak lagi percaya pada cinta, Ayah.
Tak lagi."

~ Serena Azura Auliana~

:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+:+

Serena telah kehilangan kepercayaannya pada cinta. Semua orang yang pernah ia cintai, yang begitu ia percayai dan anggap berarti dalam hidupnya, ternyata dengan mudah menghianati cinta itu.

Hatinya hancur berkeping-keping. Bukan sekadar patah--tapi benar-benar remuk, hingga tak tersisa apa pun selain reruntuhan yang menyakitkan. Tak ada lagi yang tertinggal, kecuali kekecewaan yang dalam, dan trauma yang perlahan menggerogoti jiwa.

Alasan Rasa Benci

Romi mengetuk pelan pintu kamar yang tertutup rapat. Tak ada jawaban. Tapi ia tetap berdiri di sana, tetap sabar menunggu sampai pintu dibukakan. Hingga akhirnya, terdengar suara langkah kaki mendekat, dan pintu dibuka dari dalam.

"Ayah," panggil remaja itu, mengintip dari balik daun pintu. Raut wajahnya terlihat gamang, menyiratkan perasaannya yang tidak baik-baik saja.

"Ayah boleh masuk?" tanya Romi, meminta izin lebih dulu.

Rafa tampak ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk pelan, mengizinkan ayahnya untuk masuk ke dalam. Ia bahkan membuka pintu lebar-lebar agar Romi bisa masuk dengan leluasa. Setelah ayahnya berada di dalam, Rafa menutup pintu kamar dengan rapat. Ia tidak ingin ada orang lain yang mendengar percakapan mereka nanti—percakapan yang ia duga akan berisi teguran dari sang ayah, karena dirinya telah memperlakukan putri sesungguhnya dari rumah ini dengan cara yang tidak menyenangkan.

Sayangnya, prasangka itu hanya milik Rafa seorang. Kedatangan Romi ke kamar itu bukanlah untuk menjadi hakim—bukan pula untuk memutuskan siapa yang benar dan siapa yang salah. Ia datang sebagai seorang ayah, yang ingin mendengar keluh kesah putranya. Romi yakin, pasti ada sesuatu yang mengganjal di hati Rafa, sesuatu yang membuatnya begitu sulit menerima kepulangan Serena di rumah ini.

Sebagai kepala rumah tangga, ia tidak bisa tinggal diam begitu saja dengan keretakan yang terjadi di antara keluarganya. Maka itulah alasan mengapa Romi akhirnya sampai di sini, dia ingin mendengar langsung dari putra keduanya itu, perasaan seperti apa yang tersimpan dalam hatinya. Supaya ia tahu dan bisa menilai apa yang seharusnya dilakukan untuk mengembalikan ketenangan dan keharmonisan di dalam rumah ini.

Di sisi lain, Rafa tidak langsung duduk. Ia berdiri di dekat ranjang, menunduk, pandangannya tertuju ke lantai—seolah menghindari tatapan sang ayah yang mungkin tengah menyimpan kekecewaan padanya. Ia menunggu Romi mengambil tempat lebih dulu. Sang ayah pun duduk dengan tenang, lalu menepuk sisi ranjang di sebelahnya, memberi isyarat halus agar putranya ikut duduk.

Rafa menurut tanpa banyak kata . Ia duduk di dekat ayahnya—tidak terlalu dekat, namun juga tidak terlalu jauh. Jarak yang cukup untuk mendengarkan teguran seperti apa yang akan disampaikan oleh ayahnya itu.

"Rafa tahu ... kenapa Ayah datang ke sini?" Romi memulai bicara lebih dulu.

"Ayah datang untuk membicarakan soal aku dan Mbak Re, kan? Apa Ayah sekarang sudah mulai membenciku, karena aku nggak bersikap baik pada Mbak Re?" jawab Rafa dengan suara yang parau.

Nada getir itu menyelip di antara kata-katanya, nyaris tak terdengar, tapi cukup untuk menghantam dada Romi dengan perasaan sesak yang tak bisa dijelaskan.

Romi menghela napas pelan. Ia menatap putranya dengan lebih dalam kali ini. "Kenapa kamu berpikir seperti itu?"

Rafa mengepalkan tangannya. "Karena aku bukan siapa-siapa di keluarga ini. Mbak Re anak kandung Ayah. Dafa juga. Sedangkan aku? Aku hanya anak dari lelaki brengsek yang sudah menyakiti istri dan anaknya sendiri. Sementara aku ... aku bukan bagian dari keluarga ini."

Kata-kata itu seperti sembilu, menusuk hati Romi yang selama ini menyayangi Rafa tanpa syarat. Ia menahan napas, mencoba tetap tenang meski hatinya remuk.

"Kamu ini ngomong apa, Rafa? Dengar Ayah baik-baik. Kamu adalah anak Ayah. Meskipun kita tidak terikat dalam hubungan darah, tapi di dalam diri kamu, ada darah dari seorang wanita yang ayah cintai. Dia adalah ibumu, dan dia juga istri ayah. Seorang wanita yang hebat dan kuat. Sampai kapanpun, kamu akan tetap menjadi putra kesayangan ayah."

Air mata Rafa akhirnya menetes—bukan karena lega, tapi karena beban yang selama ini dipendamnya perlahan pecah dari dalam. Perasaan yang terkurung selama bertahun-tahun kini mengalir tanpa bisa dihentikan.

"Tapi, itu tidak menutup fakta bahwa aku memang bukan anak ayah. Aku benar-benar membenci darah pria itu, yang mengalir dalam diriku!"

"Jadi, itu yang kamu rasakan selama ini, Nak? Apakah Ayah kurang memperhatikanmu? Kalau begitu, Ayah akan lebih memperhatikanmu lagi, supaya kamu tidak perlu memikirkan hal yang ...."

"Tidak, Ayah. Ayah sangat baik, Ayah juga sangat menyayangi aku, Bunda dan Dafa. Itu sudah cukup bagiku. Bersama Ayah, aku tidak pernah kehilangan figur seorang ayah. Meskipun aku sangat menyayangi dan menghormati Ayah, tapi aku nggak bisa menerima keberadaan Mbak Re dengan mudah. A-ku, aku sangat marah dengan Mbak Re, karena dengan mudahnya membuat Bunda menangis selama tiga tahun ini."

Akhirnya, perasaan Rafa yang sebenarnya tercurahkan, seperti air bah yang tumpah begitu saja. Tapi, apakah Romi marah mendengar pengakuan dari anak tirinya itu? Tidak sama sekali. Dia justru memaklumi perasaan Rafa, dan mencoba untuk bersikap bijak serta adil sebagai kepala keluarga sekaligus ayah yang baik.

"Ayah mengerti. Kamu berhak marah dan kecewa atas perlakuan Mbak Re pada Bunda. Tapi sebelum itu, izinkan Ayah cerita dari sudut pandang Mbak Re yang sudah membuat kamu kecewa."

Tahun 2020 adalah awal dari semua penderitaan dan trauma yang harus Serena terima.

Hari itu terlalu cerah untuk membawa badai tiba-tiba. Di mana langit membentang biru tanpa sehelai awan, dan matahari bersinar tajam, memantulkan cahaya menyilaukan dari permukaan atap rumah dan dedaunan yang hijau. Meskipun suara kicauan burung tak lagi terdengar seperti pagi tadi, namun embusan angin yang membawa kesejukan, cukup menenangkan kulit yang terbakar karena sinar matahari yang menyengat.

Sebuah sedan hitam baru saja berhenti di depan rumah dengan kombinasi warna putih dan cokelat, dengan desain minimalis dengan sentuhan klasik. Tak berselang lama, Serena turun dari mobil sewaan itu sambil menyeret koper kecil berwarna biru laut.

Langkahnya sempat terhenti saat menatap rumah yang berdiri kokoh di hadapannya saat ini. Rumah, tempat di mana ia lahir dan dibesarkan, satu-satunya tempat di mana ia bisa merasakan arti kata dari "pulang" yang sesungguhnya.

Tak hanya rumah ini. Serena sangat rindu dengan penghuni yang tinggal di dalamnya. Merekalah ayah dan ibu, yang sudah ia tak jumpai selama beberapa bulan terakhir. Mau bagaimana lagi, namanya juga anak kuliahan yang sedang merantau. Pulang, paling nggak libur semester atau cuti hari raya Idulfitri.

Membayangkan akan mendapatkan sambutan dan pelukan hangat dari kedua orang tuanya itu, membuat hati Serena mekar oleh bahagia. Langkahnya terasa ringan meski koper yang dia bawa cukup menjadi beban.

Setelah bersusah payah melewati anak tangga dan berdiri di beranda rumah, Serena tiba-tiba diserang oleh perasaan yang mengganjal.

Suasana hening yang ia rasakan ini, tidak seperti biasanya.

Bahkan, ini terlalu sunyi untuk dianggap tidak terjadi apa-apa.

"Apakah terjadi sesuatu dengan ayah dan ibunya?" Serena bertanya-tanya dalam hati.

Namun, buru-buru Serena menepis pikiran buruk itu. Ia kemudian mengetuk pintu, tak lupa sambil mengucapkan salam.

"Assalamu'alaikum ...."

Sekali. Tak ada jawaban. Hanya embusan angin yang menjawab, menyapu rambut Serena yang tergerai dan mengayunkan tirai tipis dari jendela samping yang setengah terbuka.

Persentase perasaan buruknya kian bertambah. Serena merasakan jantungnya mulai berdegup tak menentu. Dia harus segera bertemu dengan orang tuanya untuk menenangkan diri.

Serena mencoba sekali lagi. Kali ini, pintu akhirnya terbuka. Dari balik daun pintu, muncul ayahnya—Romi—dengan wajah pucat, mata sembab, dan tubuh yang tampak ringkih.

Pakaian yang dikenakan oleh pria paruh baya itu bahkan terlihat kusut. Begitupun dengan rambutnya yang tampak acak-acakan. Melihat penampilan sang ayah yang seperti ini bagaimana bisa Serena menjadi tenang.

"Ayah?" Serena melangkah maju dengan ragu. "Ayah sakit?" tanyanya dengan raut wajah yang menyiratkan rasa cemas.

Alih-alih menjawab, Romi menghela napas panjang, lalu tiba-tiba memeluk anaknya erat. Bahunya bergetar, dan suara isaknya pecah di telinga Serena.

"Ayah minta maaf ... Ayah minta maaf, Nak."

Serena membeku. Dadanya tiba-tiba sesak, tanpa ia ketahui apa penyebabnya. Ia bisa melihat wajah ayahnya yang hancur, dan pertanyaan pun menyesaki benaknya.

Firasatnya langsung tertuju pada sang ibu, yang tidak terlihat sama sekali keberadaannya.

"Ada apa, Yah? Ibu ke mana?" tanyanya cepat, menoleh ke dalam rumah yang terasa asing meski sudah bertahun-tahun ia tinggali.

Romi tak langsung menjawab. Ia hanya mengambil koper dari tangan Serena, seolah memaksa anaknya masuk.

"Masuk dulu, ya, Nak. Ayah akan ceritakan semuanya di dalam."

Ingin sekali Serena menolak masuk, karena ia tahu, apa pun yang akan dia dengar pasti bukanlah sesuatu yang baik. Dia tidak siap untuk itu, bahkan berpikir untuk kabur saja dari sana.

Tapi, Serena menahan diri dari pikiran dan keinginan gila itu. Meski berat rasa hatinya, ia tetap harus masuk dan mendengarkan apa yang sebenarnya terjadi. Terkait dengan rumah yang terasa sepi ini, dan keberadaan ibunya yang entah di mana.

Saat melangkah masuk, Serena sampai tidak bisa berkata-kata dengan betapa heningnya rumah ini. Ia berdiri canggung di ruang tengah, matanya mengamati tiap sudut tanpa meninggalkan setitik debu pun.

"Maafkan Ayah, Nak. Ayah belum bisa cerita langsung sama kamu. Ayah sengaja menunggu kamu pulang, karena Ayah nggak mau bikin kamu sedih dan kepikiran. Tapi, sekarang kamu sudah pulang. Ayah harap kamu bisa menerima dengan ikhlas."

Romi duduk perlahan di sofa, wajahnya penuh beban. Ia menunduk sejenak, mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, lalu menarik napas panjang. Rasanya tak sanggup melanjutkan untuk bicara

"Apa yang sebenarnya terjadi? Di mana Ibu? Ke mana Ibu? Ayah jangan bikin aku takut. Ibu nggak kenapa-napa, kan, Ayah?" desak Serena, tak bisa menunggu lebih lama lagi.

Romi mengangkat kepala dan menatap wajah putrinya dengan raut wajah pasrah.

"Ibumu sudah pergi, Nak."

Serena mengernyit. "Pergi? Maksud Ayah ke mana? Ke rumah Nenek? Atau ... Ayah dan Ibu berantem sampe Ibu pergi?"

Romi menggeleng. Wajahnya menegang seketika. "Ibumu pergi ... sama laki-laki lain."

Serena seolah merasakan petir menyambar. Dunianya berhenti seketika.

Saking terkejutnya dengan apa yang baru saja dia dengar, ia sampai melangkah mundur.

Selangkah, dua langkah.

Matanya berusaha mencari kebohongan di balik mata itu. Tapi dia tidak menemukan apa pun, selain kejujuran yang menyakitkan.

"Ayah becanda, kan?" tanya Serena masih denial. Dia berharap, bahwa ini semua hanyalah mimpi buruk, dan dia ingin segera bangun dari mimpi buruk ini.

Romi hanya menunduk, mengatupkan bibir rapat, menahan isak yang kembali mengoyak dadanya.

Serena tertawa—tawa yang kering, sumbang, getir. Ia mengangkat kepala, menatap langit-langit, seolah ingin memanggil ibunya dari balik udara.

"Enggak ... Ibu ... Ibu enggak mungkin ninggalin aku kayak gini ...," bisiknya, lemah.

Mata Serena mulai berkaca-kaca. Dia terlihat mulai kehilangan arah.

"Aku bahkan bawa oleh-oleh buat Ibu," gumamnya lirih, sebelum akhirnya suara itu pecah dalam isak yang menyayat.

Dan di tengah hari yang cerah itu, untuk pertama kalinya, rumah itu menjadi tempat paling gelap bagi Serena.

Ia mengeluarkan gantungan kunci berbentuk kupu-kupu dari saku jaket. Gagang logam itu ia letakkan di meja.

Ting! Suara logam yang menyentuh permukaan kayu terasa lebih nyaring dari seharusnya—seperti tanda bahwa semuanya benar-benar sudah berubah.

Serena menunduk. Lalu akhirnya ... ia jatuh terduduk di atas lantai yang dingin. Lututnya seketika terasa emas. Napasnya berat oleh sesak yang menghantam tanpa permisi. Dan di balik tangisnya yang pecah—itu bukanlah tangis biasa, melainkan tangis yang paling dalam, melebihi Palung Mariana. Mungkin. Hanya mereka yang ditinggalkan yang mengerti rasanya.

Tiba-tiba, Serena merasakan tangan sang ayah memeluknya dengan erat. Membuat Serena semakin merasakan kepedihan yang tak terhingga. Dia tidak pernah membayangkan, bahkan sedetik pun dalam hidupnya, sosok ibu, yang selama ini sangat menyayanginya, justru meninggalkannya seperti ini. Dengan cara yang begitu hina dan menhancurkan hanya demi seorang pria pecundang.

Ya. Pecundang! Karena mereka tidak hanya mengambil istri dari pria lain, tetapi seorang ibu dari seorang anak yang sangat mencintai ibunya.

Setelah kepergian ibunya—bahkan demi pria lain—hidup Serena berubah total.

Gadis itu mendadak menjadi pendiam. Sering kali, ia menangis diam-diam di dalam kamarnya, tanpa suara. Tak ingin membuat ayahnya khawatir hanya karena melihat dirinya bersedih.

Serena berusaha keras terlihat baik-baik saja. Ia mulai belajar menjalani hari tanpa sosok ibu di sisinya.

Berat. Teramat berat. Seolah-olah ia dipaksa untuk bangun dari mimpi indah, hanya untuk terjebak dalam mimpi buruk yang panjang.

Bersambung

Selasa, 26 Agustus 2025

1
HjRosdiana Arsyam
Luar biasa
Ismi Muthmainnah: Terima kasih sudah mampir dan memberikan komentar. Saya merasa terharu🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!