Aliza terpaksa harus menikah dengan seorang Tuan Muda yang terkenal kejam dan dingin demi melunasi hutang-hutang ibunya. Dapatkah Aliza bertahan dan merebut hati Tuan Muda, atau sebaliknya Aliza akan hidup menderita di bawah kurungan Tuan Muda belum lagi dengan ibu mertua dan ipar yang toxic. Saksikan ceritanya hanya di Novelton
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RaHida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34 # Kembali Bekerja ( di Butik)
Seminggu sudah Tuan Muda Nadeo beristirahat dari kesibukannya. Kini kondisinya jauh lebih baik, bahkan hampir sepenuhnya pulih—semua karena ketelatenan Aliza yang merawatnya tanpa lelah. Namun, Aliza pun sadar, selama seminggu ia tak masuk kerja, tentu ada banyak tugas yang menunggunya kembali.
Begitu langkah Aliza menapaki lantai butik yang mengilap, aroma khas parfum ruangan langsung menyambutnya — lembut, elegan, dan begitu familiar. Sudah beberapa minggu ia tidak datang ke tempat ini, sejak ia diminta merawat Tuan Muda Nadeo di rumah besar keluarga itu.
Baru beberapa langkah masuk, suara ceria langsung terdengar dari arah dalam.
“Alizaaaa!”
Aliza menoleh cepat, dan senyum lebar langsung merekah di wajahnya ketika melihat sosok sahabatnya — Kayla, dengan rambut ikal panjang terurai dan pakaian modis seperti biasa.
Tanpa ragu, Kayla berlari kecil dan langsung memeluk Aliza erat-erat.
“Aliza! Akhirnya kamu kembali bekerja juga! Aku merindukanmu, tahu?” katanya dengan nada setengah manja, setengah lega.
Aliza tertawa kecil, membalas pelukan itu. “Aku juga rindu, Kay. Rasanya lama sekali tidak ke sini.”
Kayla membuka map berwarna krem yang ia bawa sejak pagi, lalu meletakkannya di atas meja kerja di depan Aliza. Di dalamnya, tertata rapi beberapa portofolio desainer muda — masing-masing berisi sketsa, contoh bahan, dan konsep busana yang penuh warna.
“Mengenai desainer yang kamu minta kemarin,” ujar Kayla sambil menatap Aliza dengan semangat, “aku sudah mendapatkan lima orang, dan menurutku karya mereka lumayan bagus.”
Ia membuka halaman pertama, memperlihatkan ilustrasi gaun pesta dengan detail renda di bagian bahu.
“Tapi,” lanjutnya sambil menatap Aliza dengan senyum kecil, “aku ingin kamu mengoreksinya lagi. Kau tahu matamu lebih jeli soal detail dan keseimbangan desain. Aku butuh pendapat jujur darimu.”
Aliza menatap map itu dengan penuh perhatian. Ia mulai membuka satu per satu portofolio, matanya memeriksa dengan teliti setiap garis sketsa, kombinasi warna, dan bahan yang disarankan.
“Desainer pertama ini…” katanya sambil menunjuk pada halaman pertama, “punya konsep elegan, tapi terlalu banyak ornamen. Kalau digunakan untuk rancangan butik kita, akan sulit diaplikasikan untuk pelanggan dengan bentuk tubuh berbeda.”
Kayla mengangguk cepat sambil mencatat. “Hmm… masuk akal. Lalu yang kedua?”
Aliza beralih ke halaman berikutnya. “Yang ini bagus, potongannya tegas dan modern. Tapi pemilihan warnanya terlalu berani. Kalau dikombinasikan dengan bahan satin, bisa terkesan murahan. Tapi kalau pakai bahan doff, hasilnya bisa sangat menarik.”
Kayla tersenyum bangga. “Aku tahu aku tidak salah meminta bantuanmu. Kau memang punya insting kuat soal keseimbangan desain.”
Aliza tersenyum lembut. “Aku hanya melihatnya dari sudut pandang pelanggan. Kadang sesuatu yang terlihat indah di atas kertas belum tentu nyaman dikenakan.”
Kayla tertawa kecil. “Itu dia! Kamu selalu berpikir realistis. Beda dengan aku yang kadang kebanyakan gaya.”
Keduanya tertawa pelan, suasana kerja terasa hangat dan bersahabat. Namun, ketika Aliza membuka portofolio terakhir, pandangannya tiba-tiba terhenti.
Ia mengenali gaya sketsanya — garis-garis halus yang feminin, dengan sentuhan klasik yang pernah ia lihat sebelumnya. Jantungnya berdegup pelan.Ini… seperti rancangan milik Grace Amanda, adik tiri Aliza
Kayla memperhatikan ekspresinya. “Ada yang salah, Liz?”
Aliza cepat menutup map itu dan memaksakan senyum. “Tidak, tidak ada. Hanya… desain yang ini terasa familiar saja.”
Kayla mengangkat alis, penasaran. “Familiar bagaimana?”
Aliza menatap ke arah jendela, mencoba menenangkan perasaannya. “Mungkin aku pernah melihatnya di majalah. Tidak penting.”
Kayla mengangguk pelan, meski matanya sempat memperhatikan perubahan ekspresi sahabatnya.
“Baiklah. Tapi aku tetap ingin kamu bantu memilih tiga terbaik untuk kuundang wawancara minggu depan.”
Aliza tersenyum samar dan mengangguk. “Baik, aku akan bantu.”
Namun di dalam hatinya, nama Grace Amanda kembali bergaung pelan — nama yang seharusnya ia lupakan, tapi kini muncul lagi di tempat yang tak terduga. Ia tidak ingin berurusan dengan Ibu tiri dan saudari tirinya. Ia takut apa yang di usahakannya hari ini di rampas dengan mudah oleh mereka.
Kayla menarik kursinya lebih dekat ke meja, lalu mengeluarkan sebuah berkas berisi laporan keuangan butik yang baru saja dicetak. Nada suaranya terdengar bersemangat dan sedikit bangga.
“Mengenai laporan penjualan terakhir ini,” katanya sambil menunjuk grafik di halaman depan, “pendapatan kita meningkat cukup signifikan. Bahkan, beberapa pelanggan langganan mengirim pesan pribadi ke akun butik.”
Aliza menatap grafik itu dengan saksama. Garis biru yang melambung naik membuat hatinya ikut lega. “Syukurlah. Berarti koleksi musim kemarin benar-benar disukai pelanggan.”
Kayla mengangguk mantap. “Bukan cuma disukai, Liz. Mereka bahkan meminta kita untuk meluncurkan perhiasan sebagai pelengkap koleksi gaun.”
Aliza sedikit terkejut. “Perhiasan?”
“Iya,” jawab Kayla sambil tersenyum. “Banyak yang bilang, mereka ingin sesuatu yang lebih lengkap dari butik kita — bukan hanya pakaian, tapi juga aksesoris yang bisa dipadukan. Mereka percaya kalau kita bisa membuat sesuatu yang elegan dan berbeda dari toko lain.”
Aliza menatap layar laptop Kayla yang menampilkan beberapa komentar pelanggan di media sosial butik.
Ada kalimat seperti ‘Kami ingin perhiasan dengan sentuhan khas butik Belleza by Aliza ’ dan ‘Kalau mereka keluarkan seri gelang atau kalung, pasti aku beli!’
Aliza terdiam sejenak, lalu menatap sahabatnya. “Ide ini menarik, tapi kita harus hati-hati. Dunia perhiasan itu berbeda dari busana. Bahan, desain, hingga harga harus disesuaikan dengan citra butik kita.”
Kayla mengangguk antusias. “Tepat! Karena itu aku mau membicarakannya denganmu dulu sebelum memutuskan. Kalau kamu setuju, kita bisa mulai dari limited collection dulu — perhiasan ringan, mungkin bros, gelang, atau kalung sederhana yang cocok dengan gaun pesta kita.”
Aliza tersenyum lembut, mulai tertarik dengan ide itu. “Kedengarannya bagus. Tapi Kamu tahu, Kay…” ucap Aliza pelan, jari-jarinya memainkan pena di atas meja. “Kita masih kekurangan modal untuk membuat koleksi perhiasan.”
Kayla menghela napas panjang, lalu bersandar di kursinya. “Aku tahu. Aku juga sudah menghitungnya.” Ia meraih map laporan keuangan yang tadi ditunjukkan. “Pendapatan kita memang meningkat, tapi sebagian besar masih dipakai untuk produksi dan gaji karyawan. Untuk proyek sebesar lini perhiasan, kita butuh dana tambahan — dan itu tidak sedikit.”
Aliza mengangguk, matanya menatap ke arah sketsa yang terbentang di meja. “Aku tidak ingin memaksakan sesuatu kalau belum siap. Aku tahu pelanggan percaya pada butik kita, tapi kalau hasilnya tidak maksimal, mereka justru akan kecewa.”
Kayla tersenyum kecil, menyandarkan dagunya di telapak tangan. “Aku suka caramu berpikir, Liz. Realistis tapi tetap idealis.”
Aliza terdiam sejenak, pandangannya menerawang. “Mungkin.” Ia lalu mengalihkan topik dengan lembut. “Tapi untuk proyek ini, aku pikir kita bisa mulai kecil dulu. Misalnya bekerja sama dengan pengrajin lokal. Kita buat prototype sederhana dari bahan yang lebih terjangkau — bukan emas atau berlian dulu, tapi logam ringan dengan desain khas kita.”
Kayla menatapnya, matanya berbinar lagi. “Itu ide bagus! Kita bisa meluncurkannya sebagai limited collection handmade jewelry.”
Aliza mengangguk. “Dan kalau penjualan bagus, baru kita pertimbangkan ekspansi ke bahan premium.”
Kayla langsung membuka catatan di tablet. “Baiklah, aku akan hubungi beberapa pengrajin minggu ini. Tapi… tetap saja, kita butuh sedikit tambahan modal awal. Mungkin kita bisa cari investor kecil atau pinjaman ringan.”
Aliza menatap sahabatnya dan tersenyum. “Kita pikirkan nanti. Untuk sekarang, fokus saja pada desain dan konsep. Kalau karya kita cukup bagus, modal akan datang dengan sendirinya.”
Kayla menatap Aliza lama, lalu menggeleng pelan sambil tersenyum. “Kau memang beda, Liz. Di saat orang lain sibuk mengejar uang, kau malah sibuk menjaga nilai dari karya itu sendiri.”
Aliza tertawa kecil. “Karena kalau hanya mengejar uang, butik ini tidak akan bertahan lama. Tapi kalau kita menjual keindahan dan kejujuran, pelanggan akan selalu datang.”
hati dah mulai suka ma istri tapi munafikun kamu ,tunggu aja nanti jg nongol lagi bikin huru hara