Revana Arnelita...tidak ada niatan menjadi istri simpanan dari Pimpinannya di Kantor. namun kondisi keluarganya yang mempunyai hutang banyak, dan Ayahnya yang sakit-sakitan, membuat Revana menerima tawaran menjadi istri simpanan dari Adrian Wijaksana, lelaki berusia hampir 40 tahun itu, sudah mempunyai istri dan dua anak. namun selama 17 tahun pernikahanya, Adrian tidak pernah mendapatkan perhatian dari istrinya.
melihat sikap Revana yang selalu detail memperhatikan dan melayaninya di kantor, membuat Adrian tertarik menjadikannya istri simpanan. konflik mulai bermunculan ketika Adrian benar-benar menaruh hatinya penuh pada Revana. akankah Revana bertahan menjadi istri simpanan Adrian, atau malah Revana menyerah di tengah jalan, dengan segala dampak kehidupan yang lumayan menguras tenaga dan airmatanya. ?
baca kisah Revana selanjutnya...semoga pembaca suka 🫶🫰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
34. Bab 34
Begitu sampai di hadapan ibunya, Alesya akhirnya membiarkan tubuhnya dipeluk erat. Nadya menciumi pipi putrinya dengan ekspresi yang tampak hangat, namun di dalam hati Alesya terasa kosong. Ada sesuatu dari senyum ibunya yang tidak tulus, hanya terlihat seperti topeng semata.
“Ayo, Sayang… ikut Mama pulang, ya. Mama kangen sekali sama kamu,” bujuk Nadya sambil mengelus rambut Alesya.
Namun Alesya menggeleng pelan. “Aku capek, Ma… baru pulang dari Singapura. Alesya mau istirahat dulu di sini, barang-barang aku juga masih berantakan.”
Nadya seketika mengernyit, suaranya yang tadinya lembut berubah ketus. “Apa? Capek? Kamu itu kan anak Mama, jadi harus ikut Mama pulang. Kamu jangan ngeyel dan banyak alasan begini bisa nggak sih.!”
Nada tinggi itu membuat Alesya terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia mundur selangkah, jelas merasa tersakiti dengan bentakan ibunya.
Dari arah samping, Maria yang sejak tadi memperhatikan akhirnya berdiri, wajahnya menegang. “Nadya!” suaranya tegas, menusuk udara. “Kalau bicara dengan anak itu jangan membentak begitu. Alesya baru saja pulang dari perjalanan jauh, tentu saja dia lelah.”
Nadya spontan terdiam, namun sorot matanya penuh kesal. Bibirnya mengatup erat, mencoba menahan diri meski hatinya mendidih.
Sementara itu, Alesya hanya menunduk, berusaha menahan tangis.
Maria mendekati Alesya, mengelus pundak cucunya lembut. “Sudah, Sayang… kalau kamu lelah, istirahat saja dulu.”
Nadya menatap tajam ke arah Maria, nada suaranya mulai meninggi. “Ma, aku ini ibunya. Wajar dong kalau aku mau bawa anakku pulang. Jangan halangi aku untuk ketemu dan bawa anak -anakku sendiri.”
Maria tetap tenang, matanya dingin menusuk Nadya. “Tidak ada yang menghalangi kamu, Nadya. Tapi caramu itu salah. Anak-anak bukan barang yang bisa kamu tarik seenaknya. Mereka juga punya perasaan, dan kamu harus menghargai itu.”
“Perasaan?” Nadya mendengus sinis. “Kalau aku tidak perhatian, apa mungkin anak-anak bisa tumbuh sehat sampai sekarang? Jangan sok menuduhku macam-macam, Ma.”
Maria tersenyum tipis, senyum yang membuat Nadya justru semakin gelisah. “Sehat secara fisik, iya. Tapi apakah mereka benar-benar merasa dicintai? Kamu datang ke sini hanya ketika butuh sesuatu. Tadi kamu bilang mau bawa anak-anak pulang, tapi yang aku lihat justru kamu kesal hanya karena Alesya menolak ikut.”
Wajah Nadya memerah, antara marah dan malu. “Aku ibu mereka. aku punya hak penuh. Mama jangan ikut campur terlalu jauh, hanya karena mereka memilih tinggal disini.”
Maria tidak bergeming. “Kamu benar, kamu ibu mereka. Tapi jangan lupa, aku juga nenek mereka. Dan selama mereka berada di bawah atap rumah ini, aku akan memastikan mereka diperlakukan dengan baik. Kalau caramu hanya bisa membentak dan memaksa, maka jangan harap aku akan membiarkanmu menyeret cucu-cucuku keluar dari sini.”
Ruangan seketika hening. Nadya menggertakkan gigi, tangannya mengepal, tapi ia tahu Maria bukan sosok yang mudah digertak.
Alesya menunduk, lalu berkata dengan suara pelan namun menusuk, “Aku lebih nyaman tinggal di sini Ma, karena selama ini Mama nggak pernah benar-benar ada buat aku sama Andrew.”
Nadya terdiam sejenak, lalu buru-buru membela diri. “Alesya! Jangan bicara sembarangan begitu. Mama kan sibuk, Mama kerja juga buat kalian. Kalau Mama nggak cari uang, kalian nggak bisa hidup enak sampai sekarang.”
Alesya menoleh ke arah neneknya, wajahnya penuh kecewa. Maria hanya mengelus rambut cucunya, mencoba menenangkan.
Maria tersenyum sinis. "Sibuk bekerja ? Yang benar saja, keluargamu saja hidupnya bergantung pada Adrian, lalu kamu bekerja untuk siapa ? Mana hasil kerja kamu ? Selama ini kamu hanya bersenang-senang sendiri di luar sana." kata Maria semakin pedas, membuat Nadya terdiam tak bisa membela karena yang diucapkan Ibu Mertuanya itu benar adanya.
Saat suasana semakin panas, langkah berat terdengar dari arah belakang. Gerald muncul, dengan wajah tegas dan sorot mata yang membuat Nadya otomatis tambah gelisah, ia menelan ludah.
“Sudah cukup.” suara Gerald dalam dan penuh wibawa.
Maria menoleh ke arah suaminya, langsung menyahut. “Nadya ingin memaksa membawa Alesya pulang, padahal anaknya sendiri menolak karena ingin istirahat.”
Gerald menatap tajam Nadya. “Aku sudah dengar cukup banyak dari luar. Nadya, kalau kamu memang ingin diakui sebagai ibu yang baik, maka tunjukkan itu dengan sikap. Jangan paksa anak yang lelah hanya demi keinginanmu. Mereka bukan alat untuk memenuhi egomu.”
Nadya tercekat, bibirnya bergetar. Jika dengan Maria ia masih bisa membantah, kini ia benar-benar kehilangan kata. Aura Gerald terlalu kuat untuk ia lawan.
Gerald melangkah lebih dekat, suaranya semakin tegas, “Selama anak-anak berada di rumah ini, kamu harus menghormati aturan kami. Kalau kamu ingin membawa mereka, bicarakan baik-baik dengan Adrian, jangan malah membuat keributan, jangan membentak, dan jangan memaksa anak-anak dengan cara yang membuat mereka takut.”
Nadya menunduk dalam, wajahnya memerah menahan malu sekaligus amarah. Tapi tak ada sepatah kata pun yang bisa keluar dari mulutnya.
Gerald berdiri tegak, menatap Nadya dengan sorot mata yang dingin namun penuh wibawa. Suaranya tegas, setiap kata seperti palu yang menghantam harga diri Nadya.
“Aku beri peringatan terakhir padamu, Nadya,” ucap Gerald. “Kalau kamu benar-benar masih ingin menjadi bagian dari keluarga ini, berhentilah menyakiti anak-anakmu sendiri. Jangan datang hanya untuk meminta, apalagi memaksa. Kalau kamu terus seperti ini… jangan salahkan aku kalau suatu hari nanti pintu rumah ini benar-benar tertutup untukmu.”
Ruangan itu hening. Alesya bersembunyi di pelukan neneknya, menatap ibunya dengan mata yang berkaca-kaca. Maria hanya mengusap lembut punggung cucunya, sementara menahan diri untuk tidak ikut menambahkan kata-kata yang bisa memperburuk keadaan.
Nadya terdiam, wajahnya pucat, jantungnya berdegup kencang. Ingin sekali ia membalas, ingin sekali ia melawan, tapi kata-kata Gerald terlalu menusuk. Apalagi tatapan mata mertua yang selama ini ia segani itu, membuat nyalinya benar-benar menciut.
Dengan langkah kaku, Nadya meraih tasnya yang sejak tadi tergeletak di kursi. Ia menghela napas panjang, lalu mencoba menyembunyikan rasa malunya dengan senyum tipis yang dipaksakan.
“Baiklah… aku pulang,” katanya pelan, suaranya nyaris bergetar.
Tanpa menatap lagi ke arah Alesya maupun Maria, Nadya berjalan cepat menuju pintu keluar. Tumit sepatunya beradu dengan lantai marmer, terdengar jelas di tengah suasana hening rumah itu.
Gerald menggeleng pelan sambil menatap punggung menantunya yang menjauh. “Perempuan itu… masih belum juga sadar,” gumamnya lirih.
Maria menimpali, “Dia hanya peduli pada dirinya sendiri. Biarlah, asal jangan sampai menyakiti anak-anak lagi.”
Alesya mendongak menatap kakeknya, bertanya polos, “Opa… aku lelah berhadapan dengan Mama, sampai kapan kita kayak gini terus.?”
Gerald menghela napas, lalu tersenyum menenangkan cucunya. “Tenang Lesya, kamu jangan pikirkan masalah Mama mu. Biarkan saja dia. Sekarang kamu cukup tahu, di sini… ada Opa dan Oma yang selalu sayang sama kamu dan Andrew.”
Alesya mengangguk pelan, lalu kembali memeluk neneknya erat-erat.
...⚘️...
Revana melangkah keluar kamar dengan langkah ringan. Wajahnya tampak segar, kulitnya berkilau lembap, dan rambut hitamnya yang masih basah menjuntai ke bahu, meninggalkan aroma wangi sampo yang lembut. Ia mengenakan dress santai berwarna pastel, sederhana namun membuat auranya semakin anggun.
Di ruang tengah, Revana melihat Alesya duduk diam di sofa, memeluk bantal dengan wajah murung. Ada bekas air mata yang masih terlihat di sudut matanya. Hati Revana seketika terenyuh.
Pelan-pelan ia mendekat, lalu duduk di samping Alesya.
“Alesya…” panggilnya lembut. “Kenapa wajahnya murung begitu? Tadi ada apa?”
Alesya menoleh sekilas, lalu buru-buru menunduk lagi. Suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.
“Mama marah sama aku… katanya aku harus ikut pulang. Tapi aku lagi capek, aku cuma mau istirahat. Mama langsung bentak aku…”
Revana menarik napas dalam, mencoba menahan emosinya sendiri. Ia tahu betapa beratnya perasaan seorang anak yang justru mendapat bentakan dari ibunya. Dengan lembut, ia mengusap rambut Alesya yang masih kusut karena baru bangun tidur.
“Kamu yang sabar ya, Sayang,” ucap Revana pelan. “Kalau kamu capek, istirahat itu wajar. Kamu juga berhak bilang apa yang kamu mau. Jangan sedih, ya? Kamu di sini aman kok… ada opa, ada oma, ada juga tante yang bakal selalu nemenin kamu.”
Alesya menatap Revana untuk pertama kalinya sejak tadi, matanya yang besar itu berkaca-kaca.
“Tante Revana beneran mau nemenin aku sama Andrew terus?”
Revana tersenyum hangat, menepuk lembut pipi Alesya.
“Iya, Sayang. Tante janji.”
Tanpa pikir panjang, Alesya langsung memeluk Revana erat-erat. Seolah ia menemukan pelukan hangat seorang ibu yang selama ini dirindukannya. Revana terkejut sesaat, tapi kemudian ia balas memeluk anak yang beranjak remaja itu dengan penuh kasih sayang, menutup matanya agar tidak terlihat air matanya yang ikut menetes.
Langkah kaki Adrian terdengar mendekat dari arah koridor. Revana dan Alesya sama-sama menoleh ketika sosok pria itu muncul. Sama dengan Revana, Adrian keluar dengan aroma wangi khas orang sehabis mandi, rambutnya juga masih terlihat basah, meski ia terlihat santai, namun ada kelembutan di wajahnya saat melihat putrinya dan Revana duduk berdampingan.
Ia melangkah lebih dekat, lalu menaruh tangannya di bahu Revana, menatap Alesya dengan tatapan penuh keyakinan.
“Alesya…” ucap Adrian tegas namun hangat,
“kamu nggak perlu takut lagi. Mulai sekarang, Tante Revana akan selalu ada bersama kita. Dia nggak cuma nemenin kamu dan Andrew, tapi dia juga bagian dari kita.”
Alesya menatap ayahnya, lalu menoleh ke arah Revana. Tatapan polosnya penuh tanda tanya.
“Maksud Papi… Tante Revana bakalan tinggal di sini terus?” tanyanya ragu.
Adrian tersenyum kecil, lalu duduk di sofa sebelah putrinya.
“Bukan cuma tinggal, Sayang. Papi mau kamu belajar panggil dia Mommy. Karena dia yang akan jagain kamu sama Andrew, sayangin kalian, kayak yang seharusnya dilakukan seorang ibu.”
Revana terperanjat mendengarnya. Wajahnya memanas, jantungnya berdetak tak karuan.
“Papi..…” bisiknya pelan, berusaha memberi kode kalau pernyataan itu terlalu tiba-tiba.
Alesya terdiam, keningnya berkerut bingung. “Mommy? Tapi kan… Tante Revana bukan Mamaku…” katanya lirih, ragu-ragu sambil menggenggam ujung bantal yang tadi dipeluknya.
Adrian menghela napas, lalu mengusap rambut putrinya dengan lembut.
“Papi tahu. Mama kamu tetap mama kamu. Tapi Mommy Revana ini juga sayang banget sama kamu. Kamu bisa punya dua orang yang menyayangi kamu. Nggak apa-apa, kan?”
Revana yang mendengar itu merasa hatinya campur aduk. Terharu, tapi juga gugup. Ia menatap Alesya dengan tatapan penuh kasih, mencoba tersenyum walau masih ada keraguan di hatinya.
Alesya menggigit bibir, lalu memandang Revana lama sekali. Akhirnya, dengan suara lirih ia berkata,
“Kalau aku panggil Tante Revana ‘Mommy’… beneran nggak apa-apa?”
Adrian tersenyum lega. “Bukan nggak apa-apa lagi, Sayang. Itu yang bikin Papi bahagia.”
Revana tercekat, hatinya bergetar hebat. Ia tak sanggup berkata apa-apa, hanya bisa menatap Alesya dengan mata berkaca-kaca.
Andrew keluar dari kamarnya dengan langkah pelan, masih mengusap mata karena baru bangun tidur. Ia melihat Papi, Kak Alesya, dan Tante Revana duduk bersama. Wajah kecilnya tampak kebingungan.
“Ada apa sih?” tanyanya polos. “Kok Aku denger Kak Alesya mau panggil Tante Revana ‘Mommy’?”
Alesya buru-buru menoleh ke adiknya. “Iya… Papi yang suruh. Katanya mulai sekarang kita harus panggil Tante Revana ‘Mommy.’”
Andrew mengerutkan dahi, menatap Revana dengan bingung. “Kenapa harus panggil Tante Revana Mommy, emang Tante Revana juga Mama aku?” tanyanya polos.
Revana langsung merasa canggung. Ia membuka mulut, hendak menjawab, tapi Adrian lebih dulu menepuk pundak putranya dengan lembut.
“Andrew, dengerin Papi. Mama kalian tetap Mama kalian. Tapi Mommy Revana juga akan jadi bagian penting di hidup kalian. Dia sayang sama kamu dan Kak Alesya, sama besarnya dengan rasa sayang Papi ke kalian. Jadi nggak salah kan kalau kalian punya dua Mommy?”
Andrew masih terlihat ragu. Ia menoleh ke arah Alesya, seolah meminta persetujuan. “Kak…kita punya dua Mama sekarang.?”
Alesya menggigit bibirnya, lalu menunduk sebentar. Ia masih bingung, tapi tatapan lembut Revana membuat hatinya agak tenang. Perlahan ia mengangguk.
“Tapi memang selama ini Tante Revana udah kayak mama kita ndrew..jadi kita panggil Tante Revana mommy aja sekarang..”
Andrew terdiam. Matanya berpindah ke Revana, yang kini menatapnya penuh harap namun tetap kalem.
Revana tersenyum tipis, berusaha menenangkan perasaan kedua anak itu. Suaranya pelan dan lembut, “Kalian nggak harus panggil Mommy kok. Jangan dipaksakan, panggil Tante apa aja juga nggak apa-apa. Tante tetap sayang sama kalian, panggilan itu nggak akan mengubah apa-apa.”
Adrian tersenyum mendengar kalimat itu, namun ia tetap menatap kedua anaknya dengan harap.
“Papi cuma mau kalian tau… Mommy Revana ini bukan orang lain. Dia keluarga kita sekarang.”
...⚘️...
...⚘️...
...⚘️...
...BERSAMBUNG...
DAN UTK RANI BUAT DIA SADAR DIRI KERJA JGN NGAREPIN MANTAN KAKAK IPAR UNTUK BIAYA HIDUPNYA BUAT VIRAL👌👌👌👌👌👌👌👌👌👌😈😈😈😈😈😈😈😈😈😈😈😈😈
dia jadi gembel kalau butuh uang harus kerja biar dia tau capeknya jadi adrian kayak mana
MANTAP GK THOR🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣😈