Winda Happy Azhari, seorang penulis novel yang memakai nama pena Happy terjerumus masuk bertransmigrasi ke dalam novel yang dia tulis sendiri. Di sana, dia menjadi tokoh antagonis atau penjahat dalam novel nya yang ditakdirkan mati di tangan pengawal pribadinya.
Tak mampu lepas dari kehidupan barunya, Happy hanya bisa menerimanya dan memutuskan untuk mengubah takdir yang telah dia tulis dalam novelnya itu dengan harapan dia tidak akan dibunuh oleh pengawal pribadinya. Tak peduli jika hidupnya menjadi sulit atau berantakan, selama ia masih hidup, dia akan berusaha melewatinya agar bisa kembali ke dunianya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon La-Rayya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sikap Alex
"Selamat datang kembali, Nona," ucap Alex sambil membungkuk padanya dengan kantong-kantong makanan masih di tangannya.
"Terima kasih, Alex," kata Elizabeth.
"Mengapa Anda membeli begitu banyak makanan, Nona?" tanya Alex lagi sambil menggelengkan kepalanya.
Elizabeth tertawa, "Aku berencana memberikannya kepada semua orang. Ada festival yang diadakan di ibu kota hari ini!" Ujarnya.
Alex mengangguk, menunjukkan bahwa dia masih mendengarkan Elizabeth sambil mengikutinya. Elizabeth kemudian mengambil beberapa makanan dan menyerahkannya kepada para pekerja yang ditemuinya sambil berjalan. Setiap pekerja menunjukkan ekspresi bersyukur saat mereka menikmati makanan darinya.
"Festival apa Nona?" Tanya Alex.
Elizabeth mengangguk bersemangat sambil terus membagikan makanan, "Itu adalah festival tentang seorang raja yang melindungi kerajaan beberapa dekade lalu, Lewis yang menceritakannya kepadaku." Ujarnya.
Alex menoleh padanya, alisnya berkerut, "Kapan Anda mulai memanggil Yang Mulia dengan namanya?" Tanya Alex.
"Hari ini saat kami berada di festival. Dia terus-terusan memaksaku memanggilnya seperti itu, jadi akhirnya aku melakukannya. Lebih mudah daripada memanggilnya, Yang Mulia Pangeran juga." Ucap Elizabeth.
Alex tidak bicara lagi setelah itu. Elizabeth terus bercerita tentang waktu yang dia habiskannya di festival sambil terus selesai membagikan makanan.
"Sepertinya akan ada kembang api nanti malam," ujar Elizabeth saat mereka tiba kembali di kamarnya.
"Yah, aku selalu bisa melihat kembang api itu lain kali," ucap Alex menepisnya.
Elizabeth tiba-tiba punya teringat sesuatu dan menjentikkan jarinya.
"Lagipula, Pangeran Lewis itu tidak akan berhenti membayar untukku meskipun aku sudah bilang dia tidak perlu melakukannya. Lalu dia bahkan mengatakan kami memiliki hubungan yang manis satu sama lain," ucap Elizabeth dengan nada mengejek dengan keras sambil menggelengkan kepalanya.
"Hubungan apaan sih! Dia benar-benar memaksaku pergi ke festival bersamanya." Elizabeth mendengus 'hmph' sambil terus mengeluh kepada Alex yang diam-diam mendengarkannya.
"Apakah Nona membencinya?" Tanya Alex.
"Hah? Bukan begitu,," jawab Elizabeth cepat, "Aku cuma tidak suka dia menggodaku. Aku juga tidak tahu harus berbuat apa jika dia memaksaku menghabiskan waktu bersamanya lagi." Elizabeth akhirnya mengakhiri keluhannya.
"Sekarang setelah Nona selesai mengeluh, bak mandi Nona sudah siap sejak tadi," kata Alex.
"Apa? Kapan kamu pergi dan menyiapkannya?" Tanya Elizabeth.
"Saat Anda mengeluh, Nona." Jawab Alex.
Elizabeth cemberut, "Tega sekali, kau pergi saat aku sedang mengeluh." Ucapnya.
"Ya, ya. Maaf, Nona. Sekarang silakan mandi. Matahari sudah terbenam." Alex menjawab dengan tenang, tetapi wajahnya tidak menunjukkan penyesalan.
Elizabeth mendengus dan pergi mandi. Saat pintu tertutup di belakang Elizabeth, mata Alex menjadi gelap. Meskipun dia pergi untuk menyiapkan air mandi Elizabeth, dia masih bisa mendengar semua yang dikatakan Elizabeth.
Satu hal yang melekat di benaknya adalah apa yang dikatakan sang pangeran kepada Elizabeth. Dia merasa tidak nyaman. Kantong kertas kosong yang ada di tangannya menjadi kusut karena kekuatan remasannya. Dia bisa membayangkan raut wajah Pangeran Lewis saat mengucapkan kata-kata bodoh itu kepada Elizabeth.
Rasa jijik merayapi hatinya, tetapi sebelum dia sempat mengatasinya, seorang pelayan mengetuk pintu.
"Alex?" panggil pelayan itu sambil membuka pintu kamar Elizabeth.
Alex menoleh padanya dan kembali bersikap profesional. Dia mengangguk dan berjalan menghampiri pelayan itu, membantunya dengan apa pun yang dibutuhkannya.
"Apa warna gorden yang akan kita gunakan untuk kamar-kamar ini?" Tanya pelayan itu.
Alex adalah kepala pelayan eksklusif Elizabeth, tetapi dia juga memiliki posisi yang sangat tinggi di antara para pelayan, sehingga jika ada pertanyaan, para pelayan lainnya akan bertanya kepadanya.
Meskipun usia Alex baru 16 tahun, hasil kerjanya selalu memukau orang-orang dan membuatnya sangat dihormati. Banyak yang meremehkannya karena usianya, tetapi tidak demikian halnya di keluarga Elizabeth.
"Mungkin warna gelap..." Ucapan Alex terhenti saat dia teringat pada Elizabeth. Alex lalu menggelengkan kepalanya, "Mungkin warna yang lebih hangat atau lebih terang akan lebih bagus untuk perubahan," lanjutnya.
Pelayan itu mengangguk dan tersenyum, "Ya, itu akan menyenangkan. Terima kasih." Ucap pelayan itu lalu membungkuk dan meninggalkan ruangan.
Sebelum Alex sempat kembali termenung, Elizabeth kembali masuk, pipinya memerah karena panas. Seperti biasa, dia mengenakan jubah mandinya dengan rambut terbungkus handuk. Alex memulai rutinitasnya, mengeringkan rambut Elizabeth dengan handuk.
"Hai Alex, bisakah kamu mengambilkan beberapa kue untukku?" Ucap Elizabeth.
Tanpa menghentikan gerakan tangannya, Alex balas berkata, "Nona belum makan, jadi tidak ada kue."
"Kenapa tidak?" Rengek Elizabeth, pipinya sedikit menggembung.
"Kue bisa dimakan kapan saja! Tak peduli waktu dan tempatnya." Ucap Elizabeth.
"Siapa yang menyatakan itu?" Tanya Alex sambil mengangkat sebelah alisnya.
"Tentu saja aku!" jawab Elizabeth penuh percaya diri dengan mata berbinar.
Alex hanya mendesah, menggelengkan kepala karena tidak melanjutkan menghiburnya. Dia selesai mengeringkan rambut Elizabeth sebelum gadis itu pergi berganti pakaian untuk makan malam bersama keluarga.
Saat mereka menuju ruang makan, Alex terus menatap punggung Elizabeth.
Ketika mereka tiba, Alex berdiri diam di dekat dinding sementara Elizabeth duduk di samping keluarganya. Dia mengobrol dengan riang dan bersemangat bersama keluarganya.
Sambil terus mengawasinya, Alex mencatat dalam hati makanan apa yang Elizabeth suka dan tidak suka, bagaimana dia makan, dan apa yang akan dia makan pertama kali di piringnya. Ekspresi dan gestur-gestur kecil yang dia buat tanpa disadari.
Alex ingin tahu lebih banyak tentangnya. Lebih dari yang bisa diketahui siapa pun. Lebih dari yang bisa disadarinya sendiri. Setiap detailnya. Dia ingin mencari tahu dan menyimpannya untuk dirinya sendiri. Tangannya yang berada di belakang punggungnya, mencengkeram erat.
Elizabeth tiba-tiba berbalik menatapnya, tangannya mengendur. Alex menunjukkan senyum khas kerjanya. Elizabeth segera membalas senyumnya sebelum kembali menatap Robert dan terus berbicara kepadanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Tanpa disadari, mata Alex semakin gelap saat dia terus menatap Elizabeth.
Bersambung...