Pewaris Kembar

Zayan pergi ke taman belekang. Ia menemui Zidan di sana. Wajahnya tampak serius sekali.

"Apa kau sengaja ingin menghancurkan hidupku? Apa ini balas dendam, hah?!" timpal Zayan.

Zidan tersenyum tipis. "Balas dendam padamu tidak pernah masuk daftarku. Aku hanya melakukan hal yang seharusnya. Ibumu juga adalah ibuku. Kita saudara kembar. Harusnya hubungan kita lebih rukun dari pada yang lain," pungkasnya.

"Cuh! Kau itu seperti bayanganku yang nggak guna," cibir Zayan sambil meludah ke tanah.

"Mungkin sekarang kau menganggapku begitu. Tapi aku ingin kau tahu. Tanganku selalu terbuka untuk membantu. Kalau kau butuh bantuanku, datanglah padaku," sahut Zidan.

"Kau benar-benar menjijikan. Rasanya aku pengin muntah mendengar orang bersikap baik begitu!" balas Zayan. Ia yang benar-benar tak tahan, beranjak dari hadapan Zidan. Namun saat di depan pintu, dia berhenti. "Oh iya, aku lupa. Tolong menjauh dari Niken!" tegasnya.

"Aku bahkan tak mengenalnya, Zay!" sahut Zidan.

Zayan kini benar-benar pergi. Ia pergi dengan mobil sportnya. Ponselnya berdering, dia mendapat telepon dari orang dekatnya bernama Fendy.

"Bagaimana?" tanya Zayan.

"Zidan bekerja di perusahaan ayahmu. Tapi dia jadi karyawan biasa. Aku rasa dia menyamar deh," jawab Fendy dari seberang telepon.

"Apa? Menyamar?" Zayan mengerutkan dahi. Dia memang menyuruh Fendy untuk mencari tahu kegiatan Zidan akhir-akhir ini. Zayan takut, Zidan selangkah lebih dekat untuk menjadi pewaris selanjutnya.

Dan benar saja dugaan Zayan, Zidan memang selangkah lebih dekat dibanding dirinya. Zayan harus segera bertindak. Ia berniat ingin fokus pada acara pernikahan terlebih dahulu.

...***...

Hari pernikahan Zayan dan Zoya akhirnya tiba. Sejak pagi, halaman hotel mewah tempat acara digelar dipenuhi aroma bunga segar. Pagar tinggi dibalut pita putih dan emas, sementara para tamu berdatangan dengan pakaian terbaik mereka. Di panggung pelaminan, berdiri tulisan besar bertuliskan Zayan & Zoya Forever.

Zayan berdiri di depan cermin ruang rias, mengenakan jas putih bersih. Ia tampak gagah, tapi matanya menyimpan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. “Hari ini... semuanya harus sempurna,” gumamnya pelan. Ia tak ingin ada gangguan sedikit pun.

Namun di luar sana, seseorang memang tengah datang dengan niat yang berbeda, bukan untuk mengacau, tapi untuk menyaksikan diam-diam.

Zidan. Ia melangkah masuk ke area pesta dengan mengenakan jas hitam elegan. Di wajahnya terpasang masker hitam, menutupi sebagian ekspresi tenangnya. Di balik jas, tangan kirinya, yang dulu cacat sejak lahir, kini digantikan oleh tangan prostetik canggih yang tampak hampir seperti asli. Gerakannya luwes, jarinya bisa menekuk alami. Tak ada satu pun tamu yang menyadari keanehan itu.

“Aku hanya ingin melihat dari jauh... tak lebih,” ucapnya pelan.

Nova, yang membantu panitia acara, sempat melihat sosok itu dari balik kerumunan. Ia mengenali postur dan tatapan Zidan dengan mudah. Tapi Zidan hanya menatap sekilas lalu menggeleng, memberi tanda agar Nova tak mendekat.

Musik berubah lembut ketika Zayan dan Zoya berjalan beriringan menuju pelaminan. Para tamu bertepuk tangan, kilatan kamera memantul dari jas putih Zayan. Senyum terpaksa terpampang di wajahnya, sementara Zoya di sampingnya menunduk malu.

Semuanya berjalan lancar, sampai Jefri, ayah mereka, berdiri dan naik ke atas panggung. Ia tampak gagah dalam setelan abu-abu gelap, memegang mikrofon dengan ekspresi serius.

“Bapak, Ibu, dan hadirin sekalian,” ucapnya dengan suara lantang. “Terima kasih telah datang untuk merayakan hari bahagia putra kami, Zayan Adi Nugroho, bersama Zoya Revalina.”

Para tamu menatap dengan senyum ramah. Namun suasana berubah ketika Jefri melanjutkan, “Ada satu hal yang ingin saya sampaikan. Satu kebenaran yang selama ini keluarga kami sembunyikan.”

Leony menatap suaminya dari kursinya, ekspresi tegang. Zayan di pelaminan tampak heran, tidak tahu apa yang akan dikatakan ayahnya.

“Putra kami tidak hanya satu,” lanjut Jefri. “Hari ini, saya ingin memperkenalkan seseorang yang seharusnya sejak dulu berdiri di sisi keluarga ini.”

Ia menatap ke arah tamu. “Zidan, tolong naik ke atas panggung!”

Kerumunan langsung berbisik-bisik. Siapa Zidan? Mengapa namanya terdengar begitu asing?

Zidan terdiam sejenak di tempatnya. Jantungnya berdetak keras. Nova, dari kejauhan, memberi isyarat semangat dengan tatapan lembut. Akhirnya Zidan melangkah pelan menuju panggung.

Langkahnya mantap, meski banyak mata menatap. Begitu ia tiba di depan Jefri, suasana menjadi hening.

“Lepas maskermu, Nak,” kata Jefri pelan namun jelas.

Zidan menatap ayahnya dalam diam, lalu menurut. Ia melepas masker hitam itu perlahan. Seketika, suara desahan kagum dan keterkejutan bergema di seluruh ruangan.

“Oh, Tuhan…”

“Mirip sekali dengan Zayan!”

“Itu kembar, ya?”

Zidan berdiri tegak di sisi Jefri. Wajahnya benar-benar menyerupai Zayan, hanya tatapannya yang lebih lembut dan dewasa. Tangannya yang prostetik tampak begitu alami, hingga tak seorang pun menyadari bahwa itu bukan tangan asli.

“Inilah Zidan Ali Nugroho,” kata Jefri lantang. “Saudara kembar Zayan. Putra kami yang selama ini kami sembunyikan karena kebodohan kami sendiri. Ia lahir dengan tangan kiri yang cacat, dan kami... terlalu takut akan pandangan orang. Tapi Zidan telah tumbuh menjadi pria kuat dan berhati baik. Dan hari ini, saya ingin dunia tahu bahwa saya bangga padanya.”

Ruangan hening sesaat, sebelum beberapa tamu mulai bertepuk tangan. Ada yang meneteskan air mata haru.

Namun, tidak dengan Zayan. Ia berdiri dengan wajah pucat dan rahang mengeras. "Papah… apa yang Papah lakukan?” katanya nyaris berteriak.

Leony berdiri mencoba menenangkan, tapi Jefri tetap tenang. “Kebenaran tak bisa disembunyikan selamanya, Zayan.”

“Tapi ini pernikahanku! Hari pentingku! Dan Papah malah--”

"Zayan! Hentikan! Kita dilihat orang banyak!" potong Jefri dengan berbisik.

Zayan sontak tak punya pilihan selain diam. Ia hanya bisa menahan sesak didadanya.

Tamu-tamu kembali berbisik panik, sementara Zidan hanya berdiri diam dengan tatapan sedikit tegang. Jujur saja dia kaget. Untuk pertama kalinya, dunia tahu siapa dia. Ia bukan lagi bayangan yang disembunyikan di balik nama besar keluarga Nugroho. Tapi saat itulah dia teringat dengan penyamarannya.

'Tunggu dulu. Kalau begini, apa sekarang penyamaranku sudah berakhir?' batinnya. Zidan bergegas berbisik pada Jefri.