Pada tahun 2086, umat manusia berdiri di puncak kejayaan teknologi. Negara-negara besar bersatu di bawah Proyek Helios — percobaan menciptakan sumber energi tak terbatas dengan memanipulasi ruang dan materi gelap.
Namun pada malam ketika Helios Reactor diaktifkan untuk pertama kalinya, sesuatu terjadi. Langit di atas Samudra Pasifik retak seperti kaca yang dilempar batu. Membentuk celah raksasa bercahaya ungu, berdenyut seperti nadi dunia yang terluka.
Seekor makhluk bersisik emas, bersayap seperti petir, mengaum di atas laut. Lalu menyusul bayangan-bayangan lain: raksasa dari batu, wanita bersayap burung gagak, binatang bertanduk dari legenda kuno.
Nuklir ditembakkan, senjata diluncurkan. Sebuah kedatangan para makhluk mitologi yang mengancam ras manusia berdatangan dan membawa pesan,
“Kalian membuka pintu tanpa izin. Dunia kami hancur karenanya. Kini, keseimbangan harus ditegakkan.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon See You Soon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Serangan Bertubi-tubi
...The Last Shinobi vs The Prince of Light from Elf Kingdom...
...#3...
Begitu lonceng ilahi terdengar, Hayama menghilang dari tempatnya. Hanya sekelebat bayangan merah melesat di bawah pancaran cahaya altar.
Dalam sepersekian detik,
Tsching
Dua shuriken meluncur menembus udara, meninggalkan jejak angin tajam menuju dada Caelendir.
Sang Pangeran Cahaya tak bergerak sedikit pun. Tatapannya tenang. Saat dua senjata itu hampir tiba, ia mencabut pedang jarum dari sarungnya dengan kilatan perak yang menyilaukan.
Ting! Ting!
Kedua shuriken terpental ke udara, terbelah menjadi pecahan logam kecil yang berputar di antara sinar kristal. Namun sekelabat bayangan sudah datang dari sisi kiri. Mata Caelendir refleks menoleh, tapi yang ia lihat hanyalah kilau bilah sabit.
“Mikazuki no Mai!”
Suara Hayama menggema, dan pedang Kusanaginya menebas melengkung, indah sekaligus mematikan, seperti bentuk bulan sabit di langit malam. Caelendir menahan serangan itu dengan satu tangan.
CLANG!
Percikan cahaya meledak di antara mereka. Tekanan angin dari benturan itu mengguncang pilar-pilar kristal di sekitar arena. Senyum Caelendir tetap terukir di wajahnya.
“Percuma!”
Hayama mundur setapak, mengangkat sebelah alis, senyum tipis terlukis di sudut bibirnya.
“Percuma?”
Dan dalam sekejap, tubuhnya lenyap dari pandangan. Sorak penonton mendadak berubah menjadi seruan bingung.
“Ke mana dia?”
“Dia menghilang!”
Tiba-tiba, dari arah atas, suara berdesing tajam memecah udara. Sebuah shuriken raksasa melayang cepat ke arah Caelendir.
Sang Pangeran Cahaya terkejut sesaat, tubuhnya langsung melompat tinggi, berputar di udara menghindari tebasan logam itu. Tapi sebelum ia mendarat, bayangan merah lain muncul di balik lintasan shuriken.
“Fūma Shuriken — Kage Fūsha!”
Hayama menangkapnya kembali dengan satu tangan dan melemparkannya lagi, lebih cepat, lebih kuat, lebih mematikan.
SWOOSH! SWOOSH! SWOOSH!
Shuriken itu melesat bagaikan bintang jatuh. Pupil Hayama membesar, nafasnya tertahan, menunggu satu suara, hantaman sempurna.
Namun Caelendir hanya tersenyum samar di udara. Tubuhnya memutar anggun, jubahnya berkibar bagai cahaya yang menari.
ZRRR! ZRRR!
Ia berputar dua kali di udara, menghindari serangan itu dengan jarak hanya sejengkal. Shuriken besar itu lewat di belakangnya, menembus pilar kristal dan menancap kuat di sana, menghasilkan bunyi berat.
DUAARRR!
Kristal altar bergetar, retakan halus muncul, namun Caelendir sudah mendarat dengan elegan di seberang arena. Ia menyapu rambut pirangnya yang menutupi mata, dan berkata dengan nada ringan namun menusuk:
“Kau cepat. Tapi masih belum cukup cepat.”
Di tribun, ribuan elf berdiri serempak, bersorak dengan penuh semangat.
“Caelendir! Caelendir! Sang Cahaya Agung!” suara mereka seperti nyanyian suci. Sebaliknya, kubu manusia membisu. Beberapa dari mereka menelan ludah, yang lain menunduk cemas.
Presiden menggenggam sandaran singgasananya erat-erat, urat di tangannya menegang.
“Dia... bertarung di tempat tanpa bayangan... Bagaimana dia bisa menandingi refleks seorang Elf di cahaya penuh?”
Johan masih memandang arena, wajahnya datar tapi matanya tajam seperti sedang membaca sesuatu yang tak terlihat.
“Justru itu, Pak. Ia bukan sedang melawan Elf... tapi melawan cahaya itu sendiri.”
Sementara itu Sang Virgo menatap timbangannya yang berayun pelan. Timbangan emasnya seolah belum menentukan arah atau belum condong pada cahaya, belum pula pada bayangan.
Sedangkan Ancient One bersandar santai, kedua matanya berkilat penuh kesombongan.
“Manusia itu menari di bawah matahari. Hanya waktu yang memisahkan antara keberanian... dan kebodohan.”
Hayama menatap tajam ke arah Caelendir, napasnya perlahan, ritmis, seperti sedang menakar peluang dalam permainan maut.
“Sepertinya serangan biasa tak akan berpengaruh padanya…” gumamnya lirih, nyaris seperti bicara pada dirinya sendiri.
Ia menunduk sedikit, jemarinya meraih satu shuriken besar terakhir di pinggangnya. Dengan satu gerakan halus namun cepat, ia memutarnya di ujung jarinya dan menciptakan desiran udara berdesing yang memantul di dinding-dinding kristal arena.
Kilau bilah itu beradu dengan cahaya altar, menciptakan pantulan cahaya yang berkelip di mata Caelendir. Elf itu mengangkat sebelah alisnya dengan sikap meremehkan.
“Serangan yang sama?” ujarnya datar, suaranya jernih dan angkuh, seperti gema di ruang suci.
Caelendir bergeser setengah langkah, menurunkan pusat gravitasinya. Tubuhnya kini dalam posisi seperti atlet anggar yang bersiap untuk menghunus. Cahaya dari pedang jarumnya memanjang, bergetar lembut seperti serpihan kristal.
Dalam hitungan detik, Hayama melemparkan shuriken itu cepat sekali, hingga tak satupun mata sempat menangkap arah lintasannya. Caelendir mengayunkan pedangnya dalam waktu yang nyaris bersamaan.
“Halo Revertis!” Suara dentingan logam bertemu cahaya terdengar melengking.
Shuriken itu terpental ke udara, berputar cepat, menebar pantulan cahaya ke sekeliling seperti ribuan kunang-kunang perak.
Namun dari bawah, seberkas cahaya samar tampak mengikuti gerakan shuriken itu.
Benang halus yang nyaris tak terlihat menghubungkan Hayama dengan senjata mautnya.
Dari tribun, manusia menahan napas.
Presiden memajukan tubuhnya di singgasana, sementara Ancient One hanya tersenyum tipis, menilai tak lebih dari usaha sia-sia.
“Kena kau!” seru Hayama.
Ia menarik benang itu kuat-kuat. Shuriken berputar cepat kembali kepadanya, dan di tengah lintasan baliknya, Hayama memutar pergelangan tangan, menciptakan momentum tambahan.
Shuriken itu pecah di udara. Pecahan-pecahan logam tajam menebar ke segala arah, mengelilingi Caelendir dalam hujan bilah mematikan.
Elf itu menutup satu matanya karena silau, tapi bibirnya masih tersenyum.
“Ahh… trik baru?”
Dengan satu gerakan elegan, ia memutar tubuhnya setengah lingkaran. Pedang jarum di tangannya meninggalkan jejak cahaya berputar mengelilinginya.
“Lux Crescentia!”
Kilatan emas meledak di sekelilingnya.
Serpihan shuriken itu menabrak dinding cahaya yang terbentuk dari gerakan pedangnya. Menyala, lalu lenyap menjadi debu perak. Saat cahaya mereda, Caelendir berdiri tanpa gores sedikit pun. Rambut pirangnya berayun lembut di bawah sinar altar.
Sorak penonton dari kubu mitologi kembali bergema, memuji sang pangeran cahaya mereka.
Dari sisi manusia, hanya keheningan dan raut wajah tegang.
Hayama menarik napas panjang. Jemarinya menegang di gagang pedang Kusanagi.
“Serangan ini juga gagal, ya…” bisiknya pelan.
Namun mata itu, mata seorang pembunuh bayangan sejati, terlihat masih tenang. Tak ada tanda putus asa, hanya perhitungan baru yang mulai berputar di benaknya.
Ni mungkin lebih alami dan baik kalo dirimu gak maksa make gpt buat proofreading paksa
Jangan dipaksa, manual aja, suruh dia koreksi/nyari typo, habis tuh benerin sendiri manual, kelihatan entar kemampuanmu yang asli ama kagak
mampir nih .
peperangan di abad serba canggih yah !