Kiki seorang gadis desa yang sederhana memiliki kemauan untuk merubah hidupnya. Ia memutuskan pergi ke ibu kota dengan hanya berbekal tekadnya yang kuat.
Ibu kota dalam bayangannya adalah sebuah tempat yang mampu mengabulkan mimpi setiap orang nyatanya membuatnya harus berkali-kali menelan kekecewaan apalagi semenjak ia dipertemukan dengan seorang lelaki bernama Rio.
Apa yang terjadi dengan kehidupan Kiki dan Rio? apakah keinginginan Kiki akan terwujud?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sephta Syani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 34
Udara malam terasa lembap, menyusup masuk lewat celah jendela kamar kos Kiki yang sederhana. Lampu belajar menyala redup, menemani secangkir teh hangat yang belum disentuh. Kiki memandanginya dalam diam. Matanya kosong, tapi pikirannya penuh.
Sudah dua bulan ia bekerja di Cafe. Dan dalam waktu sesingkat itu, hidupnya seolah diputar balik. Ia yang hanya ingin bekerja tenang, kini harus berhadapan dengan dua perempuan yang selalu menganggapnya seperti musuh. Kiki tak tahu apa yang akan ia hadapi setelah ini. Kiki menghela napas.
"Kali ini, aku akan bertahan. Bukan untuk membuktikan siapa-siapa. Tapi untuk diriku sendiri."
***
pagi itu, Rio datang lebih awal dari biasanya. Ia memeriksa semua laporan, ia duduk di ruangannya sambil menatap kosong ke arah bar melalui kaca jendela. Sudah beberapa hari ini ia dilanda rasa bersalah, ia mulai merasa kehilangan arah.
Dian tampak semakin menjauh. Tina makin melekat. Dan Kiki... Kiki tetap seperti biasa. Tenang, rapi, dan diam. Tapi justru karena itu, Rio makin sulit membaca hatinya.
Saat Kiki datang pagi itu, Rio segera menghampirinya.
“Kiki... bisa kita bicara sebentar”
Kiki menghentikan langkah, menoleh. “Ya, Mas?”
“Maaf soal kemarin. Soal Tina… Aku terlalu cepat percaya. Kamu nggak perlu menjawab. Aku cuma ingin kamu tahu,aku perhatikan semua. Dan aku belum mengambil keputusan apa pun.”
Kiki mengangguk pelan. “Terima kasih, Mas. Aku hanya ingin bekerja seperti biasa.”
Rio mengangguk, tapi matanya belum beranjak dari wajah Kiki saat gadis itu kembali melangkah menuju ruang karyawan .
setelah Dian selesai dengan pekerjaannya, ia menghampiri Tina yang sejak tadi sudah menunggunya. Mereka terlihat sangat akrab. Namun jika ada yang memperhatikan, keakraban mereka seperti bom yang sewaktu waktu bisa meledak.
“Aku yakin Rio mulai goyah,” Tina menyeruput minumannya dan memandang Dian.
“Kalau begitu, kita percepat saja,” sahut Dian. “Kalau kamu bisa bikin Rio percaya kalau Kiki bawa masalah dari luar, kita bisa tekan dia biar mundur.”
Tina tertawa kecil. “Kamu nggak penasaran? Aku punya informasi soal masa lalu Kiki.”
Dian terkejut. “Kamu serius?”
Tina mengangguk. “Aku sudah mengamatinya selama ini. ”
tanpa sengaja rupanya Kiki mendengar semuanya. Jantungnya berdegup pelan, tapi matanya tak berkedip. Ada getir di hatinya. Bukan dirinya yang ia pikirkan melainkan ibunya yang selalu menunggu di rumah. Hatinya bergetar.
Namun entah apa yang merasuki Kiki. Sejurus kemudian senyumnya muncul. Bukan senyum pahit. Tapi senyum siap tempur.
***
"Aku butuh orang yang bisa bikin masalah," kata Tina saat mereka bertemu diam dian di sebuah coffe shop. "Bukan yang sok cerdas. Tapi yang bisa jatuhin nama orang tanpa kelihatan siapa pelakunya." tambahnya sambil menatap tajam pria didepannya
Jafar menyeringai. “Yang seperti itu gampang. Siapa targetnya?”
“Kiki.”
jafar tersentak. Nama itu tak asing baginya. namun ia tak mau jika Tina tahu siapa dia sebenarnya.
" apa yang ingin kau perbuat padanya? Apa aku harus sampai membunuhnya atau hanya membuat dia keluar dari pekerjaannya? " tanya Jafar.
" buat Rio membencinya dan dia tak bisa lagi ada di hidup Rio. Terserah apapun yang kau lakukan, aku tak mau tahu."
" oke."
Tidak butuh waktu lama untuk Jafar menyusun langkah. Baginya pekerjaan ini ibarat pepatah sekali dayung dua pulau terlampaui. Ia bisa bekerja dengan Tina sekaligus tetap menjalankan perintah juragan Marta karrna misi mereka sama.
Siang itu Jafar Berpakaian rapi, sopan, dan bertingkah ramah. Tapi matanya tajam, penuh perhitungan. Ia duduk di cafe tempat Kiki bekerja.
Ia mulai merekam, Mengamati ritme kerja Kiki, mencatat kapan ia melayani, kapan ia ke dapur, kapan ia sendirian di bar. Semua Jafar perhatikan Detail. Ia tak mau salah langkah dan membuyarkan rencananya.
Jafar nampaknya mulai menemukan cara. Ia nampak tertawa kecil.
“Kita akan mulai hari ini. tunggu dan lihatlah apa yang akan terjadi besok.”