NovelToon NovelToon
Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Cinta Pertama Sang Mafia Iblis

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Mafia
Popularitas:3.4k
Nilai: 5
Nama Author: Violetta Queenzya

kisah seorang gadis desa yang dicintai sang mafia iblis..

berawal dari menolong seorang pria yang terluka parah.

hmm penasarankan kisahnya..ikutin terus ceritanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Queenzya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kabar bahagia...

    Di luar kamar, kecemasan terasa menggantung di udara.

  Maya, dengan segelas air jahe hangat di tangan, melangkah hati-hati menuju kamar Rara. Ia mengetuk pintu perlahan, memberi tahu kehadirannya.

   "Permisi, Tuan, ini air jahenya," ucap Maya pelan saat Axel menoleh. Ia melangkah masuk, meletakkan gelas beraroma jahe itu dengan hati-hati di meja samping ranjang, pandangannya sesekali melirik Rara yang masih terbaring lemah.

   Belum sempat Maya berbalik, terdengar ketukan lain dari luar. Kali ini, Rico yang datang. Wajahnya tegang, namun ia berusaha menjaga ketenangannya.

     "Permisi, Tuan, ini obatnya," kata Rico, menyerahkan sebuah kantong kecil berwarna putih kepada Axel. Di dalamnya, Axel tahu, ada tespek yang sangat dinanti.

    Axel menerima kantong itu dengan tangan gemetar yang tak bisa ia sembunyikan. Jantungnya berdebar kencang, antara harapan dan kecemasan.

   Ia segera mengeluarkan tespek dari dalam kantong, membaca dengan teliti setiap petunjuk penggunaan yang tertera di kemasannya.

   Setiap kata seolah menjadi mantra yang harus ia pahami, sembari menahan napas, menunggu Rara sadar.

    Perlahan, kelopak mata Rara mulai bergetar. Sebuah erangan kecil terdengar dari bibirnya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali, mencoba fokus pada sosok Axel yang setia menunggunya.

    "Maz... haus..." ucap Rara, suaranya parau dan sangat pelan, tenggorokannya terasa kering.

    Axel tersenyum lega,muka kekhawatirannya sedikit melunak. Tanpa membuang waktu, ia dengan sigap mengambil gelas berisi air jahe hangat yang baru saja dibawa Maya.

   Ia mengangkat kepala Rara perlahan, membantunya minum sedikit demi sedikit. Aroma jahe yang hangat mulai mengisi indra penciuman Rara, memberikan sensasi nyaman.

   "Terima kasih, Maz," ucap Rara, suaranya sedikit lebih jelas setelah minum. Tubuhnya masih terasa lemas, namun sensasi mual sudah berkurang.

    Axel mengelus pipi Rara lembut. "Sudah merasa lebih kuat, sayang?" tanyanya, nada suaranya penuh perhatian. "Kalau sudah, yuk kita tes dulu, ya." Ia menunjuk tespek di tangannya, ada secercah harapan yang tak bisa ia tutupi di matanya.

   Rara melirik tespek itu, kemudian kembali menatap Axel. "Gendong..." pintanya manja, suaranya lemah namun ada keinginan yang jelas. Ia tidak sanggup berjalan sendiri.

    "Iya, sayang..." Axel tersenyum, kebahagiaan kecil memenuhi hatinya.

    Dengan sangat hati-hati, ia mengangkat tubuh Rara yang ringan, menggendongnya dalam pelukan erat.

   Ia membawa Rara masuk ke kamar mandi, memastikan Rara nyaman dan aman.

    Di luar kamar, Maya, Rico, dan Mark saling berpandangan. Ketegangan memenuhi ruangan. Mereka semua berdiri di ambang pintu, menunggu dengan pikiran masing-masing yang berkecamuk.

    Harapan, kecemasan, dan doa berbaur menjadi satu. Setiap detik terasa begitu panjang, penuh antisipasi akan hasil yang akan mengubah segalanya.

      Pintu kamar mandi akhirnya terbuka. Axel keluar dari sana, dengan sangat hati-hati memapah Rara yang terlihat lebih lemas dari sebelumnya.

   Senyum tipis, namun penuh kelegaan, tersungging di bibirnya. Ia membaringkan Rara perlahan di ranjang, menyelimutinya hingga sebatas dada, memastikan istrinya merasa nyaman dan hangat.

    Axel berbalik menghadap Mark yang menunggunya dengan cemas. Tangannya terangkat, menyerahkan tespek itu.

    "Ini, Mark," ucapnya, suaranya sedikit bergetar karena menahan emosi yang meluap.

    Mark menerima tespek itu. Matanya menyusuri garis-garis yang muncul. Seketika, senyum lebar merekah di wajahnya.

     Ada kilatan kebahagiaan dan kelegaan yang sama terpancar dari matanya.

    "Selamat ya, Axel, Rara!" seru Mark, suaranya dipenuhi kegembiraan yang tulus. "Kalian akan segera jadi orang tua!"

    Mendengar konfirmasi dari Mark, seolah ada beban ribuan ton yang terangkat dari pundak Axel.

    Sebuah gelombang kebahagiaan luar biasa melanda dirinya. Air mata haru tiba-tiba menggenang di pelupuk matanya. Tanpa pikir panjang, ia langsung memeluk Rara, menciumi seluruh wajah istrinya dengan penuh kasih sayang, dari kening, pipi, hingga bibir.

    "Terima kasih, sayang... terima kasih," bisiknya berulang kali, suaranya bergetar menahan tangis bahagia.

    Rara, meskipun masih sangat lemah dan tak berdaya, merasakan setiap sentuhan Axel. Sebuah senyum tipis terukir di bibirnya.

    Ia hanya bisa membalas dengan anggukan kecil, namun matanya memancarkan kebahagiaan dan rasa syukur yang sama.

    Di luar kamar, Maya yang melihat reaksi Mark dan Axel, reflek memeluk Rico dengan erat, melupakan sejenak keberadaan Mark. Wajahnya berseri-seri, ikut merasakan kebahagiaan yang sama.

   Rico pun balas memeluk Maya, sama-sama merasakan kelegaan dan kegembiraan.

   Mark yang melihat adegan Rico berpelukan dengan Maya itu, hanya menggelengkan kepala geli.

    Sebuah senyum jenaka muncul di wajahnya. Ia meraih bungkus tespek yang tadi ia pegang dan dengan gerakan santai, melemparnya ke arah Rico, seolah ingin menggoda.

   Maya sontak melepaskan pelukannya dari Rico, pipinya merona merah karena malu ketahuan oleh Mark.

    Ia memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan senyum malunya. Rico hanya terkekeh pelan, tak terlalu peduli dengan godaan Mark.

    "Sudah, yuk kita keluar dulu biar Rara bisa istirahat total," ujar Mark, suaranya kembali serius, nada profesionalismenya muncul.

   "Oh, ya, obatnya diminum ya, Rara. Itu penguat kandungan untuk memastikan semuanya aman, dan ada juga pil pereda mualnya biar kamu nggak terlalu tersiksa." Ia menoleh ke arah Axel. "Nanti kalau Rara sudah merasa lebih sehat dan kuat, baru kita ke dokter kandungan untuk pemeriksaan lebih lanjut dan USG pertama," ucap Mark, memberikan instruksi jelas.

    Axel mengangguk paham, matanya tak lepas dari Rara. Dengan senyum lebar di wajahnya, mereka bertiga Mark,aa Rico, dan Maya pun melangkah keluar dari kamar, meninggalkan Rara yang kini bisa beristirahat dengan damai, ditemani oleh kebahagiaan yang baru saja memenuhi hati mereka.

    Begitu pintu kamar tertutup, meninggalkan Rara dan Axel dalam privasi mereka, suasana di luar langsung pecah.

   Maya, dengan senyum selebar mungkin yang tak bisa ia tahan, berlari menghampiri si kembar, Vanya dan Vanya.

   Tanpa menunggu lama, ia langsung memeluk keduanya dengan erat, meluapkan kegembiraannya.

   "Kita... kita akan jadi aunty!" seru Maya, suaranya melengking senang, nyaris seperti jeritan.

   Vanya dan Vanya terdiam sejenak begitupun dengan Bara, mata mereka membelalak, mencoba mencerna ucapan Maya.

   Ekspresi terkejut, namun perlahan berubah menjadi senyum lebar yang sama. Mereka merasakan gelombang kebahagiaan yang melanda.

   "Rara... Rara hamil, Kak May?" tanya Vanya, suaranya bergetar antara tak percaya dan gembira.

     Maya mengangguk mantap, air mata haru mulai menggenang di sudut matanya.

    "Iya, Vanya! Mulai sekarang, kita harus lebih ekstra menjaga dua orang, bukan hanya Rara, tapi juga calon keponakan kita!" katanya, kemudian cekikikan geli, membayangkan betapa serunya peran baru mereka.

    Sementara itu, Mark, yang memang tidak pernah bisa serius terlalu lama, mendekati Vanya.

    Dengan senyum nakal, ia membisikkan sesuatu di telinga Vanya. "Kapan kita nyusul, sayang?" tanyanya, nada suaranya menggoda, membuat Vanya sedikit tersipu.

    Maya yang kebetulan mendengar bisikan Mark, langsung melotot ke arahnya, tangannya bersedekap.

   "Nikah saja belum mau nyusul! Belum tentu juga diterima, kan?" ejek Maya, suaranya penuh kemenangan, membalas godaan Mark dengan sindiran tajam yang telak.

Bara langsung ketawa terbahak bahak,layu sebelum berkembang".celetuknya

    Mark hanya mendengus, menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

    Ia melirik Rico, yang sejak tadi hanya tersenyum geli melihat tingkah mereka.

   "Gak Rico, gak ceweknya, sama saja!" gerutu Mark, ditambah "si kadal renyah banget ketawanya,tapi ada senyum tipis di bibirnya, menunjukkan bahwa ia sebenarnya menikmati interaksi itu.

Ia tahu Maya hanya bercanda, dan godaan seperti ini adalah bagian dari keakraban mereka.

    Pagi di salah satu apartemen elit di jantung kota Jakarta.

    Cahaya matahari menembus jendela kaca besar, membanjiri kamar tidur mewah Letta dengan bias keemasan.

    Letta, yang baru saja terbangun dari lelapnya, mengeliat malas di balik selimut sutra. Rambutnya yang panjang tergerai acak, namun wajahnya sudah menunjukkan aura kecantikan yang dingin.

    Tangannya terulur, meraih ponsel yang tergeletak di nakas. Tanpa membuang waktu, ia langsung membuka aplikasi pesan dan mengetik sesuatu, senyum tipis tersungging di bibirnya.

     "Gimana, Tomy? Mau kan kita ketemuan?"

   Di tempat lain, di sebuah pusat kebugaran pribadi, Tomy sedang berkeringat. Otot-ototnya bergerak dinamis saat ia mengangkat beban.

fokusnya penuh pada setiap repetisi.

   Namun, getaran kecil dari ponselnya yang tergeletak di samping treadmill menghentikan aktivitasnya.

   Ia mengambil ponsel itu, melihat nama pengirim pesan yang tak asing lagi baginya. Sejenak, ia menimbang-nimbang, lalu dengan cepat mengetik balasan.

"Ya."

      Letta, yang sudah menunggu dengan tidak sabar, langsung membuka pesan balasan dari Tomy. Matanya membaca balasan singkat itu, dan bibirnya mencebik sebal.

  "Pelit amat ini orang balas pesan ku," gerutu Letta, melempar ponselnya ke samping dengan sedikit kesal. Meskipun begitu, senyumnya kembali merekah, kali ini lebih sinis.

  "Lihat saja, Tom. Bentar lagi kamu akan tunduk di hadapanku," monolog Letta dalam hati, suaranya terdengar seperti bisikan racun yang penuh ambisi. Ada kilatan licik di matanya, membayangkan bagaimana ia akan memanipulasi Tomy.

   Tak lama kemudian, ponsel Rico berdering. Nama Tomy tertera di layar. Rico segera mengangkat panggilan itu. "Halo" sapa Rico.

   "Nanti siang saya akan ada pertemuan dengan Letta di restoran XX," lapor Tomy, nadanya lugas.

Suara Rico di seberang telepon terdengar sangat serius, penuh peringatan.

    "Jangan lupa, siapkan penyadap. Dan yang paling penting, tempatkan anak buahmu untuk mengantisipasi dari jauh," instruksi Rico dengan tegas.

   "Aku tidak ingin kamu lengah. Ingat, dia itu ular. Takutnya nanti kamu dijebak atau dicelakai sama dia." Ada kekhawatiran yang jelas dalam suaranya, ia tahu betul reputasi Letta yang licik.

   "Baik, Tuan," jawab Tomy, suaranya mantap, menyerap setiap peringatan Rico.

   Ia tahu Rico tidak pernah berbicara main-main, terutama jika itu menyangkut keselamatan.

   "Ingat selalu waspada menghadapi wanita ular itu, Tom," pesan Rico lagi, suaranya berat, penuh penekanan.

    "Dia tidak akan segan menggunakan segala cara licik untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Jangan sampai kamu lengah." Suaranya mengandung pengalaman pahit yang tak terucap, seolah Rico punya alasan kuat untuk begitu membenci Letta.

    Setelah sambungan telepon terputus, Tomy masih terdiam sejenak, mencerna setiap peringatan dari Rico.

   Tatapannya menjadi lebih tajam, keseriusan terpancar jelas di wajahnya. Sementara itu, Rico tidak membuang waktu. Dengan langkah cepat, ia berbalik menghadap Mark, Steven, dan yang lainnya yang sedang menunggu di ruang keluarga. Wajahnya menunjukkan ekspresi serius yang jarang terlihat.

   "May... Letta sudah mulai beraksi," adu Rico, suaranya tegang. Ia melihat ke arah Mark dan Steven.

    "Nanti siang mereka akan ketemuan di restoran XX." Ada nada urgensi dalam suaranya, seolah waktu terus berpacu.

    Mark menyilangkan kedua tangannya di dada, rahangnya mengeras. "Steven, coba kamu retas CCTV restoran itu. Kita harus tahu setiap gerak-gerik mereka," perintah Mark, suaranya rendah namun penuh otoritas.

    "Kita awasi dari sini. Setiap sudut, setiap celah, jangan sampai ada yang terlewat." Matanya menyiratkan tekad yang kuat, siap menghadapi segala kemungkinan.

   Steven mengangguk cepat, tangannya sudah bergerak meraih ponselnya. "Bentar, gue ambil laptop gue dulu," jawab Steven, suaranya penuh konsentrasi.

   Tanpa menunggu lebih lama, ia bergegas meninggalkan ruangan, langkah kakinya terdengar terburu-buru menuju kamarnya untuk mengambil peralatan tempurnya.

   Ada semangat juang yang terpancar dari aura Steven, seolah ini adalah sebuah misi penting yang harus berhasil.

   Mereka semua tahu, menghadapi Letta bukan perkara main-main. Persiapan matang adalah kunci untuk menghindari jebakan wanita berbahaya itu.

Tidak lama kemudian, Steven kembali dari kamarnya. Tangannya cekatan membawa tas laptop yang berisi "peralatan perang" canggihnya.

Matanya fokus, jari-jarinya siap menari di atas keyboard. Ia adalah ahli retas dan sistem keamanan, dan saat ini, kemampuannya sangat dibutuhkan.

Tanpa membuang waktu, ia segera duduk di depan layar, bersiap untuk meretas sistem CCTV restoran.

Waktu berlalu dengan cepat, setiap detik terasa berpacu dengan denyut jantung. Di restoran mewah yang telah disepakati, Letta telah tiba.

Aura kepercayaan diri terpancar jelas dari dirinya saat ia melangkah masuk, mencari meja yang sudah ia pesan. Penampilannya anggun, namun ada senyum misterius yang tersungging di bibirnya.

Setelah menemukan tempat duduknya, Letta segera memanggil pelayan. Dengan nada santai, ia memesan minuman kesukaannya. Ia tahu Tomy akan datang, dan ia harus bersiap. Tak lama kemudian, minuman itu tersaji di mejanya. Letta melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan, meskipun sebenarnya, setiap gerak-geriknya sudah diawasi.

Dari dalam tas tangannya, ia mengeluarkan sebuah vial kecil berisi bubuk halus yang nyaris tak terlihat. Dengan gerakan sangat cepat dan nyaris tak kasat mata, ia menuangkan bubuk itu ke dalam minumannya, mengaduknya perlahan dengan sedotan, seolah tidak terjadi apa-apa.

Bubuk perangsang itu akan segera beraksi.

Aksinya, yang ia kira luput dari pengawasan, sebenarnya sudah tertangkap jelas oleh sepasang mata tajam dari anak buah Tomy yang telah lebih dulu tiba di restoran.

Mereka menyamar sebagai pengunjung biasa, duduk di sudut yang strategis, mengamati setiap gerak-gerik Letta.

Mereka segera mengirimkan laporan singkat dan cepat kepada Tomy.

Di sisi lain restoran, Tomy telah tiba. Ia memilih meja di sudut yang tidak terlalu mencolok, dari mana ia bisa melihat Letta.

Tomy membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Mata Tomy menajam. Pesan itu hanya terdiri dari beberapa kata, namun cukup untuk memicu alarm di kepalanya"melarang minum minuman yang sudah dipesan Letta."

Tomy menatap Letta yang kini terlihat asyik memainkan ponselnya, tidak menyadari bahwa ia baru saja gagal.

Dalam hati, Tomy berbisik, ada seringai tipis di bibirnya, "Lihat saja, Letta. Bentar lagi kamu akan tunduk kepadaku, bukan sebaliknya.

Kali ini, permainan ada di tanganku." Sebuah senyum tipis, penuh kemenangan, muncul di wajah Tomy.

Beberapa saat kemudian, pesan kedua masuk dari anak buahnya yang lain:

"Lapor, Tuan. Minuman Nona Letta sudah dimasuki bubuk."

Tomy membaca pesan itu, seringainya semakin lebar. Ia menghela napas panjang, bersiap menghadapi babak selanjutnya dari drama ini. Letta tidak tahu dengan siapa ia berhadapan.

1
LISA
Ssipp banget Tomy udh tau kelicikannya Letta..
LISA
Kabar yg menggembirakan nih..sehat selalu y buat Rara & babynya
partini
happy kalau hamil,tapi kawatir karena ada uler yg siap mematuk benar benar bangke si letta
semua anak buah good Banggt menurut ku kaya di film badabest Banggt 👍
lanjut Thor
LISA
Ya bener Kak..Letta ini sepertinya udh terlatih..penasaran nih siapa y yg ada di belakang misinya ini.
partini
wah ni letta bukan sembarang orang ,dia sangat pintar plz kalau kalian kecolongan semua bwehhh ga lucu deh
partini
lanjut penasaran apa yg akan mereka lakukan selanjutnya setelah tau rencana. busuk leta
Weh Weh obat perangsang dah ga laku lah let lagu lama itu
LISA
Moga liburan ini menyenangkan utk Rara & Axel tanpa gangguan..
partini
👍👍👍👍 dah laa baca cerita mafia ini beda sedia payung sebelum hujan biasanya basah dulu baru cari payung keren 👍
mampir say~ AGREEMENT: hallo kak, boleh mampir bentar enggak ke karya aku yang judulnya AGREEMENT, tolong bantu dukung yahh, aku Author yg baru balik setelah Hiatus agak lama, entah ceritaku style kakak atau bukan, sku akan sangat berterimakasih jika kakak ingin mampir dan meninggalkan jejak, terimakasih!!!
total 1 replies
LISA
Untung aj 2 pengawal dan Maya mempunyai insting yg tajam..
partini
aihhh kenapa peran wanita semua bego yah gampang di tipu,, pelihara ular berbisa tapi ga tau 🤦🤦🤦 untung yg lain smart coba kalau stupid semua
LISA
Ceritanya bagus & menarik
LISA
Ya moga aj Axel bisa memahami kondisinya Letta dan mengijinkan tinggal di mansionnya.
Zainuri Zaira
aneh sikit ceritX emng orng ngk ad jantung bisa hidup kh😄😁
LISA
Wah ke 3 sahabat Axel akhirnya bertemu dgn jodohnya nih 😊 sehat terus y buat Rara..bahagia selalu bersama Axel.
LISA
Puji Tuhan..Rara udh sadar dari komanya..pulihkan keadaan Rara ya Tuhan..
LISA
Sedih sekali baca cerita ini..pengorbanan Rara utk Axel..ya Tuhan berikan donor juga utk Rara agar mereka dpt hidup bahagia
LISA
Dua musibah sekaligus..moga Axel bisa selamat dgn donor jantungnya Oma..
LISA
Bahagia selalu y buat Rara & Axel
LISA
Syukurlah Rara selamat..moga Maya jg cpt sadar dr komanya..
LISA
Ya Tuhan selamatkan Rara..cepat Axel tolong Rara..
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!